EDISI.CO, CATATAN EDISIAN– Indonesia, negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, akan melaksanakan Pemilihan Umum (Pemilu) pada 14 Februari 2024.
Banyak spekulasi bahwa mantan jenderal Prabowo Subianto dan pasangannya, Gibran Rakabuming Raka, putra Presiden Joko “Jokowi” Widodo, akan mendapatkan suara terbanyak dalam pemilihan presiden (pilpres), meskipun sangat mungkin terjadi putaran kedua.
Prabowo bersaing dengan dua calon presiden (capres) lainnya, Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo, untuk memperebutkan kursi presiden. Dengan adanya kontroversi pencalonan Gibran sebagai cawapres Prabowo, termasuk tuduhan bahwa Jokowi menyalahgunakan kekuasaannya, Prabowo diperkirakan akan bersaing sengit dengan Anies yang didukung oleh kelompok Muslim konservatif dan Ganjar yang didukung oleh partai politik terbesar di negara ini, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).
Terlepas dari hasil Pemilu 2024 nanti, sebagai ahli hubungan diplomasi Indonesia-Cina, kami percaya bahwa sikap Indonesia terhadap Cina kemungkinan besar akan tetap stabil, meskipun dengan beberapa variasi kecil, tergantung siapa presiden yang terpilih.
Mengapa Cina akan tetap menjadi mitra penting
Secara ekonomi, Cina merupakan mitra dagang dan sumber investasi yang signifikan bagi Indonesia. Cina kerap menawarkan dana pembangunan dan peluang ekonomi yang cukup besar.
Pada tahun 2022, investasi Cina di Indonesia melonjak menjadi US$5,18 miliar (Rp80,8 triliun), naik 64% dibanding 2021.
Nilai ini adalah yang tertinggi dalam satu dekade terakhir, meskipun secara jumlah, proyek yang disponsori oleh Cina di Indonesia menurun dari 1.800 proyek pada 2021 menjadi sekitar 1.580 proyek pada 2022.
Proyek infrastruktur utama Cina, Belt and Road Initiative (BRI), juga selaras dengan tujuan pembangunan Indonesia. Ini membuka peluang untuk pembangunan infrastruktur dan kerja sama ekonomi. Menurut laporan terbaru, Indonesia adalah salah satu negara yang menerima pendanaan BRI terbesar dibandingkan negara-negara lain, dengan total utang Indonesia ke Cina mencapai $54,8 miliar (Rp885 triliun).
Jadi, siapapun yang memenangkan Pemilu mendatang tidak akan secara drastis menggeser kebijakan luar negeri Indonesia saat ini. Melanjutkan hubungan persahabatan Indonesia dengan Cina adalah hal yang masuk akal dan strategis.
Beragam pendekatan para kandidat
Laporan terbaru kami memberikan gambaran tentang kemungkinan pendekatan masing-masing kandidat terhadap Cina jika terpilih. Ini dilihat berdasarkan keterlibatan mereka dengan para pejabat Cina di masa lalu.
Prabowo secara khusus telah terlibat secara intens dengan Cina. Ia bertemu beberapa kali dengan Xiao Qian, mantan duta besar Cina untuk Indonesia, antara tahun 2018 dan 2022.
Prabowo berencana melanjutkan hubungan diplomasi ini dan mencoba mencari investasi dari Cina di sektor infrastruktur dan ketahanan pangan.
Pasangannya, Gibran, memiliki interaksi yang terbatas dengan Cina. Namun, ia kerap dikaitkan dengan hubungan dekat ayahnya dengan Cina selama masa jabatannya.
Sejak Jokowi menjadi presiden, Cina telah menjadi mitra dagang dan investor terbesar di Indonesia. Nilai ekspor Cina ke Indonesia melonjak menjadi $71,32 miliar (Rp1.114 triliun) pada tahun 2022. Pada 2014, nilai ekspor tersebut tak mencapai $40 miliar (Rp625 triliun).
Ganjar, ketika masih menjabat Gubernur Jawa Tengah, juga telah banyak membahas kerja sama investasi, khususnya di wilayahnya, dengan para pejabat Cina.
Sementara itu, pasangannya, Mahfud MD, sebagai mantan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan di kabinet Jokowi, telah berfokus pada isu-isu geopolitik, termasuk hukum dan hak asasi manusia (HAM). Namun, ia juga sempat bersikap kritis terhadap kebijakan-kebijakan Cina.
Meskipun investasi Cina berpeluang mengungkit pembangunan, muncul juga kekhawatiran di antara beberapa komunitas tentang degradasi lingkungan, pembengkakan biaya, dan masalah ketenagakerjaan.
.
Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung senilai $8 miliar (Rp125 triliun) di ibukota Jakarta, misalnya, menimbulkan kekhawatiran akan meningkatnya risiko tanah longsor dan dampaknya terhadap pasokan air di Jawa Barat.
Beberapa proyek pertambangan nikel Cina di Sulawesi Tengah juga telah banyak ditentang karena dampak buruknya terhadap lingkungan dan masyarakat setempat.
Kekhawatiran juga muncul mengenai proyek pembangkit listrik tenaga air Batang Toru di Sumatra Utara, yang makin mengancam habitat orangutan Tapanuli—spesies endemik terancam punah.
Sebaliknya, Anies lebih banyak berinteraksi dengan negara-negara Barat. Keterlibatannya dengan Cina terlihat cukup terbatas.
Calon wakil presidennya, Muhaimin Iskandar, hanya baru-baru ini saja menunjukkan lebih banyak interaksi dengan para pejabat Cina. Ini kemungkinan bertujuan untuk “melengkapi” kurangnya Anies.
Pemimpin seperti Anies atau Ganjar sebaiknya mampu membuktikan bahwa mereka dapat lebih melibatkan masyarakat dalam proyek-proyek pembangunan berkelanjutan yang didanai oleh Cina, yang bertujuan untuk menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi dengan perlindungan lingkungan dan kesejahteraan sosial.
Modifikasi kebijakan yang ramah Cina
Peningkatan status kekuatan global Cina dan eksistensinya di Asia Tenggara, membuat Indonesia menyadari betapa pentingnya hubungan strategis dengan Cina.
Namun, Indonesia harus menjaga keseimbangan antara hubungannya dengan Cina dan aliansinya dengan negara-negara besar lainnya, seperti Amerika Serikat (AS) dan mitra regional seperti Jepang dan Australia.
Dengan menjalin hubungan dengan Cina, Indonesia tampak berusaha menavigasi kerumitan geopolitik regional sembari menjaga kedaulatan dan kepentingan nasionalnya. Mencapai keseimbangan antara pembangunan ekonomi dan praktik-praktik berkelanjutan juga akan menjadi hal yang penting dalam membentuk hubungan masa depannya dengan Cina.
Siapapun presiden yang terpilih harus mengakui kekuatan tawar-menawar Indonesia dengan Cina.
Indonesia merupakan negara dengan perekonomian terbesar di Asia Tenggara. Indonesia juga memiliki posisi yang signifikan sebagai anggota kelompok ekonomi utama G20, yang mencerminkan kepercayaan internasional terhadap kekuatan ekonominya. Selain itu, lokasi Indonesia yang strategis menjadikannya bagian penting dari ambisi BRI Cina.
Dengan memanfaatkan posisi strategisnya dan terlibat dalam dialog yang bermakna dengan Cina, Indonesia dapat membuka kerja sama yang saling menguntungkan yang mendorong pembangunan berkelanjutan dan kemakmuran bagi kedua negara.
Baca juga: Muhammad Zulfikar Rakhmat, Researcher, Center of Economic and Law Studies (CELIOS) dan Yeta Purnama, Researcher, Center of Economic and Law Studies (CELIOS)
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.