EDISI.CO, CATATAN EDISIAN– Pukul 10:36 tanggal 26 Januari 2024, sebuah pengumuman dari salah satu manajer klub sepak bola paling dihormati mengguncang penggemar di seluruh dunia. Jürgen Klopp memutuskan untuk meninggalkan klub sepak bola Inggris, Liverpool FC.
Sebagai penggemar Liverpool FC, saya terkejut sekaligus merasa kehilangan ketika menerima pemberitahuan berita tersebut di ponsel. Klopp memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap sepak bola. Tampaknya, warisan Klopp akan terus terasa bahkan setelah dia lama meninggalkan Anfield.
Pengumuman Klopp disertai dengan wawancara 25 menit, yang menjelaskan alasan kepergiannya. “Sumber energi saya bukan tidak terbatas”, jelasnya, menyiratkan bahwa wellbeing-nya secara umum telah berkurang seiring berjalannya waktu. https://www.youtube.com/embed/mHYsAgAx5I4?wmode=transparent&start=0 Jürgen Klopp menjelaskan mengapa dia memutuskan untuk meninggalkan Liverpool FC.
‘Wellbeing’ dan pelatih sepak bola
Wellbeing (kebahagiaan) adalah konsep yang rumit lantaran mencakup perasaan dan fungsi seseorang—hal ini menunjukkan seberapa puas seseorang dengan seluruh hidup mereka.
Namun, penelitian menunjukkan bahwa harus ada lebih banyak perbincangan mengenai kerentanan dalam olahraga performa tinggi. Atlet dan manajer berisiko lebih besar untuk diserang, disakiti, atau terluka, baik secara fisik maupun emosional.
Penelitian saya berfokus pada bagaimana pengalaman dan pemahaman pelatih sepak bola profesional tentang wellbeing. Saya mewawancarai para pelatih untuk menanyakan pendapat mereka tentang wellbeing dan bagaimana mereka merasakannya. Mereka mengemukakan bagaimana energi fisik dan mental mereka dipengaruhi oleh kombinasi beberapa faktor, termasuk kehidupan rumah dan pekerjaan serta hubungan dengan rekan kerja dan keluarga.
Fokus mereka terhadap energi sejalan dengan refleksi Klopp sendiri. Selama penelitian saya, beberapa pelatih juga mengakui bahwa ini adalah kesempatan pertama mereka untuk berbicara secara terbuka tentang wellbeing.
Ini mungkin tidak mengherankan. Pelatih dengan performa tinggi memang jarang berbicara terbuka tentang wellbeing mereka. Karena itu, Klopp telah menjadi contoh bagi pelatih sepak bola lainnya. Hasil wawancaranya dapat menjadi warisan abadi bagi olahraga ini.
Kerentanan dan penyalahgunaan
Lingkungan olahraga performa tinggi tidak selalu aman bagi atlet dan manajer untuk membicarakan perasaan rentan atau meminta dukungan. Sebab, hal tersebut dapat dianggap sebagai kelemahan. https://www.youtube.com/embed/U564I_IRUvw?wmode=transparent&start=0 Pesepakbola Liga Inggris dilecehkan setiap empat menit di media sosial.
Ada banyak contoh selama beberapa tahun terakhir, termasuk penyerangan terhadap manajer Newcastle, Eddie Howe, oleh seorang penggemar pada 2023.
Beberapa pesepakbola juga melaporkan pelecehan yang mereka terima baik di dalam maupun di luar lapangan.
Bukan hanya pemain dan manajer yang terkena dampaknya: wasit Liga Inggris, Mike Dean, mundur pada Februari 2021 setelah dia dan keluarganya menerima ancaman pembunuhan.
Penelitian saya menunjukkan bahwa pelecehan verbal dan pemicu stres yang dialami oleh manajer Liga Inggris tidak hanya memengaruhi kesejahteraan mereka tetapi juga keluarga mereka. Pada tahun 2021, misalnya, Manajer Arsenal Mikel Arteta mengungkapkan bahwa keluarganya telah menerima ancaman melalui media sosial.
Salah satu faktor utama yang berkontribusi terhadap pelecehan yang tiada henti dan kurangnya dukungan dalam sepak bola adalah adanya budaya maskulin.
Menang dengan segala cara
Budaya sepak bola pria identik dengan maskulinitas agresif. Ada mentalitas menang dengan segala cara dan harapan untuk menyesuaikan diri dengan norma dan perilaku gender yang diinginkan secara sosial, Misalnya, ikut serta dalam olok-olok atau perilaku kasar—sehingga mengorbankan mereka yang menunjukkan kerentanan.
Baca juga: Dua KAL Buatan Batam akan Jaga Laut Banyuwangi dan Nias
Dalam penelitian saya, salah satu pelatih menyampaikan kejadian ketika mereka meminta dukungan terkait wellbeing dan justru disuruh “pergi” oleh manajer mereka. Tidak mengherankan jika banyak yang merasa tidak cukup aman untuk menunjukkan tanda-tanda kerentanan, terkadang karena takut kehilangan pekerjaan. Akibatnya, mencari dukungan untuk kesehatan mental sering kali mendapat stigma dalam sepak bola pria. https://www.youtube.com/embed/oTzLoOPx3W8?wmode=transparent&start=0 Masalah kesehatan mental dapat distigmatisasi dalam sepak bola.
Dari sisi pemain, sudah mulai muncul pemain sepak bola seperti Dele dan Jadon Sancho yang menentang budaya diam hipermaskulin dengan menyuarakan perjuangan wellbeing mereka.
Namun, pelatih sepak bola profesional belum begitu terbuka hingga saat ini.
Efek Klopp
Kejujuran Klopp tentang keadaannya dapat membuka jalan bagi para pelatih untuk lebih terbuka tentang wellbeing mereka dan menghilangkan stigma terhadap kerentanan.
Efek dari wawancara Klopp tampaknya langsung terasa. Dalam waktu 24 jam, manajer klub sepakbola Spanyol, Barcelona, Xavi Hernandez, menyuarakan perjuangannya atas wellbeing-nya dan mengumumkan bahwa ia juga akan mengundurkan diri. “Saya telah menjadi anggota klub. Saya telah memprioritaskannya di atas diri saya sendiri. Saya telah memberikan semua yang saya miliki,” katanya. “Dari tingkat kesehatan mental, ini sulit… tingkat baterai terus habis.”
Pernyataannya tersebut mencerminkan sentimen Klopp dan para pelatih yang berpartisipasi dalam penelitian kami.
Pengumuman seperti ini semoga menjadi indikasi hal-hal yang akan datang—lebih banyak pelatih olahraga berperforma tinggi yang membantu membentuk kembali budaya sepak bola pria menjadi lebih baik.
Penulis: Andrew Higham, Doctoral Researcher, Sheffield Hallam University
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.