EDISI.CO, CATATAN EDISIAN– Beberapa bulan sebelum pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024, latar belakang pendidikan dua pasangan calon presiden dan wakil presiden (capres-cawapres), yaitu Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD, yang semuanya merupakan alumni Universitas Gadjah Mada (UGM) ramai dibicarakan di media sosial.
Mahfud MD merupakan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, sementara Anies Baswedan adalah mantan Rektor Universitas Paramadina sekaligus mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Latar belakang akademik tersebut dianggap mampu menarik minat pemilih terdidik, yaitu pemilih dengan tingkat pendidikan tinggi, mengenyam bangku perkuliahan atau bahkan sudah lulus S3.
Namun, exit polls yang dilakukan Litbang Kompas pada hari pencoblosan, 14 Februari 2024, menunjukkan sebaliknya. Pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka justru lebih unggul dan mampu menarik 44% pemilih dengan latar belakang pendidikan tinggi, disusul Anies-Muhaimin sebesar 33,4% dan Ganjar-Mahfud sebesar 12,5%.
Padahal, Prabowo-Gibran bukan dari kalangan akademisi. Prabowo merupakan alumni Akademi Militer (dulu AKABRI) Magelang, sementara Gibran adalah lulusan dari Management Development Institute Singapura. Di luar dunia politik, Prabowo dan Gibran lebih dikenal sebagai pengusaha.
Perlu dicatat bahwa menjelang hari pencoblosan, sejumlah guru besar UGM mengeluarkan pernyataan sikap terkait keresahan para akademisi atas dugaan pelanggaran etika dan nilai-nilai demokrasi yang terjadi selama perhelatan Pemilu 2024-yang diyakini menguntungkan Prabowo-Gibran. Pernyataan sikap serupa juga disampaikan oleh para guru besar kampus-kampus lainnya di seluruh Indonesia.
Tapi tampaknya, isu pelanggaran etika dan pengingkaran atas nilai-nilai demokrasi tidak semudah itu mengubah preferensi politik. Terbukti, mayoritas pemilih berpendidikan tinggi tetap memilih Prabowo-Gibran.
Kelompok berpendidikan tinggi pernah menjadi tulang punggung perjuangan kemerdekaan karena kesadaran politik mereka. Karena itu, menarik untuk ditelisik bagaimana kesadaran tersebut perlahan hilang setelah Indonesia merdeka.
Untuk memahami perilaku pemilih berpendidikan tinggi di Indonesia ini, saya menggunakan pendekatan hyper-individualisme (individualisme berlebih) di Amerika Serikat (AS) yang didefiniskan oleh Zachary A. Casey, associate professor dan Ketua Studi Pendidikan di Rhodes College, AS, sebagai kecenderungan aktor-aktor sosial untuk memandang dirinya sebagai entitas yang terpisah dari kelompok dan lembaga yang lebih besar di sekitarnya.
‘Hyper-individualisme’ dan misi individu
Dalam konteks pendidikan di AS, sikap hyper-individualisme ini sejalan dengan neoliberalisme yang menempatkan pendidikan sebagai ladang pencapaian pribadi, terutama dalam konteks ekonomi.
Hal ini pada gilirannya menciptakan krisis kesepian dan kesehatan mental, yang diakibatkan oleh hilangnya keterkaitan individu dengan komunitas.
Di AS, dengan hyper-individualisme, individu dianggap memiliki kebebasan penuh untuk memenuhi hajat hidupnya sendiri. Ini menjelaskan sulitnya upaya pembatasan kepemilikan senjata api di AS dengan dalih kebebasan individu.
Di sisi lain, hyper-individualisme juga telah berkontribusi pada kemenangan Donald Trump. Trump adalah simbol populisme yang mengabaikan bukti-bukti ilmiah selama penanganan pandemik. Gagasan America First yang digaungkan Trump juga telah melemahkan multikulturalisme yang berbasis komunitas dan melahirkan kebijakan-kebijakan antiimigran yang memperkuat individualisme.
‘Hyper-individualisme’ di Indonesia: terlalu sibuk untuk berpolitik
Kecenderungan hyper-individualisme di Indonesia bisa dilacak melalui kebijakan ekonomi pada awal Orde Baru yang diinisasi oleh para ekonom alumni University of California, Berkeley, AS: Widjojo Nitisastro, Mohammad Sadli, Emil Salim, J.B. Sumarlin, Ali Wardhana, dan Dorodjatun Kuntjoro-Jakti.
Terkenal sebagai mafia Berkeley, para ekonom ini bertujuan meniru pola pembangunan AS di Indonesia di era 1960-an yang fokus ke pembangunan ekonomi kapitalis berbasis pasar bebas.
1. Memaksa individu fokus kuliah saja
Pola pembangunan berbasis pasar bebas yang dibawa oleh para mafia Berkeley kemudian diikuti oleh normalisasi kehidupan kampus (NKK) pada tahun 1977-1978 yang bertujuan untuk melumpuhkan organisasi kemahasiswaan.
Praktis, selama era 1980an, pola pembangunan ini telah melahirkan kaum terdidik yang sejahtera dan efektif bekerja, tetapi abai terhadap ketimpangan dan masalah-masalah sosial di sekitarnya.
Dalam Identity and Pleasure: the Politics of Indonesian Screen Culture, Ariel Heryanto menggambarkan bagaimana penghilangan atau penghapusan kegiatan politik (depolitisasi) juga dilakukan dengan menayangkan film dan serial AS di bioskop dan televisi, sebagai upaya untuk memperkuat nilai individualisme anak muda di era Orde Baru.
2. Harus cepat lulus karena kuliah mahal
Gerakan mahasiswa memang sempat menguat kembali pada dekade 1990-an. Krisis ekonomi di Asia tahun 1997 memunculkan kesadaran mengenai kesenjangan sosial yang terjadi selama tiga dekade Orde Baru berkuasa. Gerakan mahasiswa di kampus menjadi tulang punggung lahirnya era reformasi pada tahun 1998.
Baca juga: Dari Pujasera hingga Kampung Otak-Otak, akan Percantik Wajah Kijang
Lalu muncul tantangan baru, yaitu arus komersialisasi pendidikan melalui pembentukan Badan Hukum Milik Negara (BHMN) pada tahun 2000. Empat Perguruan Tinggi Negeri (PTN), yakni UI, UGM, ITB, dan IPB diberikan kewenangan penuh pengelolaan keuangan.
Pembentukan BHMN ini menempatkan pendidikan tinggi sebagai lembaga yang ditentukan oleh pasar, tidak lagi sepenuhnya didanai oleh negara, sehingga biaya kuliah menjadi semakin mahal.
3. Harus cepat lulus supaya bisa segera bekerja
Pemerintah cenderung menjadikan perguruan tinggi sebagai tempat untuk mendapatkan kualifikasi pendidikan yang dibutuhkan di lapangan kerja.
Pengangkatan Nadiem Makarim, co-founder GoJek lulusan kampus bergengsi AS yang dikenal dengan sebutan Ivy League, sebagai Menteri Pendidikan pada tahun 2019 mengindikasikan keinginan pemerintah untuk menjadikan ekonomi digital sebagai tulang punggung pembangunan bangsa.
Sayangnya, program Kampus Merdeka yang dicanangkan Nadiem pada 2020 hanya fokus menyiapkan sarjana yang siap kerja, mengabaikan penguatan keilmuan dan kesadaran politik yang semestinya dimiliki oleh kaum terdidik. Pragmatisme pendidikan semacam ini sangat mirip dengan fenomena hyper-individualisme yang menggerogoti pendidikan tinggi di AS.
4. Krisis lapangan kerja membuat individu enggan berpolitik
Sebelum pandemi COVID-19, digitalisasi dianggap sebagai penggerak ekonomi yang utama, terutama dengan munculnya berbagai start-up bergaya Amerika di Indonesia. Faktanya, kesenjangan sosial dan keterbatasan akses pendidikan tinggi, menyebabkan ekonomi digital hanya menguntungkan segelintir kalangan kaum terdidik.
Selain itu, sektor ini juga dinilai tidak bisa memberikan kepastian hukum bagi pekerja. Terdapat kesenjangan antara kualifikasi pendidikan dan kepuasan di tempat kerja. Krisis kesehatan mental yang terjadi di AS juga membayangi pekerja terdidik di Indonesia.
Hal ini diperburuk oleh tren Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) selama pandemi yang tidak hanya menyasar pekerja kerah biru, tetapi juga mereka dengan kualifikasi pendidikan tinggi. Bagi kaum terdidik, krisis lapangan kerja semakin menggerus kemampuan mereka untuk berserikat dan berkesadaran politik.
Apa solusinya?
Harus diakui, Pemilu 2024 telah mengantarkan kita kepada babak baru demokrasi di Indonesia. Forum-forum kampanye seperti “Desak Anies” dan “Demokreasi” menunjukkan kematangan para kandidat politik dalam berdemokrasi.
Di luar dinamika paslon, platform seperti Bijak Memilih dan Kawal Pemilu menunjukkan tingginya partisipasi publik pada Pemilu 2024.
Sayangnya, kecenderungan antiintelektualisme, pengaruh media sosial TikTok, dan disinformasi dengan penggunaan kecerdasan buatan dalam Pemilu 2024, menjadi tantangan terbesar bagi demokrasi di Indonesia saat ini.
Untuk mengembalikan kesadaran politik kaum terdidik, perlu dilakukan langkah sistematis untuk menghentikan komersialisasi pendidikan tinggi.
Krisis Uang Kuliah Tunggal (UKT) di Institut Teknologi Bandung (ITB) menunjukkan darurat penanganan keuangan perguruan tinggi. Gagasan student loan yang sangat Amerika-sentris harus ditolak karena akan semakin memperkuat kecenderungan hyper-individualisme.
Di sisi lain, pemerintah melalui Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP), mengelola dana abadi sebesar Rp136 triliun, untuk pendidikan pascasarjana dalam dan luar negeri. Alih-alih memperkaya kampus di luar negeri, pemerintah perlu memikirkan opsi untuk mengalokasikan dana abadi sebesar itu untuk memperbaiki pendidikan tinggi di dalam negeri.
Dengan demikian, kita bisa bersama-sama mengembalikan fungsi universitas sebagai tempat untuk memupuk semangat berkumpul, berserikat, dan mengemukakan pendapat di kalangan kaum terdidik.
Asep Muizudin Muhamad Darmini, Lecturer in Media and Communication, Binus University
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.