EDISI.CO, CATATAN EDISIAN– Hidrogen hijau menjadi primadona energi bersih untuk mempercepat transisi energi terbarukan. Seluruh dunia berlomba-lomba memproduksi sumber energi ramah lingkungan ini.
Badan Energi Internasional (IEA) mencatat ada sekitar 1.894 proyek pengembangan hidrogen di dunia hingga 2030 mendatang, termasuk di Indonesia. Sejumlah produsen kendaraan terkemuka seperti Toyota dan BMW bahkan sudah merilis mobil berbahan bakar hidrogen.
Di Indonesia, perusahaan energi pelat merah, Pertamina dan PLN, juga mengembangkan energi hidrogen dari hulu (produksi) ke hilir (isi ulang daya).
Sebenarnya, apa yang membuat hidrogen hijau begitu diminati? Apa saja perannya untuk mendukung pelestarian Bumi? Berikut ini rangkuman kami atas beragam analisis ahli yang telah terbit di The Conversation.
Warna-warni sumber hidrogen
Pakar teknik produksi hidrogen University of North Dakota di Amerika Serikat, Hannes van der Watt, mengemukakan hidrogen adalah sumber energi potensial karena setiap molekulnya adalah agen pembawa energi yang sangat efektif. Hidrogen umumnya berupa gas tapi bisa menjadi cair apabila didinginkan dalam suhu tertentu.
Nah, seberapa ramah hidrogen ini terhadap lingkungan amat tergantung dengan dari mana elemen tersebut berasal.
Hidrogen hijau, kata Hannes dalam analisisnya, adalah jenis hidrogen yang paling bersih karena diproduksi dari listrik energi terbarukan seperti angin, matahari, maupun air melalui proses elektrolisis. Hidrogen hijau sama sekali tidak melepaskan emisi gas rumah kaca.
“Hidrogen sering digambarkan dengan warna untuk menunjukkan seberapa bersih, atau bebas CO₂nya. Yang paling bersih adalah hidrogen hijau,” tulis Hannes.
Ada juga hidrogen kelabu (grey hydrogen) yang diproduksi dari gas bumi. Jika proses produksi hidrogen kelabu diikuti dengan penangkapan karbon yang terlepas, maka sebutannya akan berbeda lagi: hidrogen biru.
Awal 2024, profesor bidang geofisika dari Royal Holloway University of London, David Waltham, mengemukakan jenis hidrogen baru yang muncul yaitu hidrogen emas. Hidrogen ini terpendam di bawah tanah dalam bentuk gas dan tersebar di banyak negara, meski kita membutuhkan banyak penelitian untuk melihat seberapa jauh hidrogen emas bisa digunakan.
Salah satu cadangan hidrogen emas terbesar yang baru ditemukan berlokasi di timur laut Perancis. “Cadangan tersebut mungkin mengandung 250 juta ton hidrogen alami,” tutur David dalam analisisnya.
Aneka manfaat hidrogen
Hidrogen sebenarnya sudah jamak dipakai untuk beberapa proses produksi pupuk ataupun pengolahan minyak bumi. Namun, hidrogen ini masih berasal dari sumber fosil sehingga tidak ramah lingkungan. Karena itulah, transisi energi terbarukan menjadi peluang besar untuk bersih-bersih jejak emisi hidrogen.
1. Pembuatan pupuk
Pengajar senior bidang teknik kimia dari University of Aberdeen di Inggris, Tom Baxter, mengemukakan bahwa hidrogen adalah salah satu elemen kunci untuk pembuatan bahan kimia bermanfaat bagi manusia. Salah satunya adalah pembuatan pupuk.
Dalam industri pupuk, hidrogen digunakan sebagai bahan baku pembuatan amonia. Walhasil selain sumber energi, secara tidak langsung hidrogen adalah tulang punggung ketahanan pangan global.
Tom mengatakan, hidrogen hijau potensial betul untuk mengurangi jejak karbon industri pupuk. “Tindakan hidrogen pertama yang harus kita lakukan adalah mendekarbonisasi produksi hidrogen yang menghasilkan CO₂,” paparnya.
Baca juga: Pentingnya Menyendiri: Mengapa Waktu Sendirian Terkadang Baik untuk Diri Kita
Di Indonesia, hidrogen hijau juga direncanakan menjadi bahan baku pembuatan amonia hijau sebagai bahan baku pupuk. Proyek tersebut diinisiasi oleh Augustus Global Investment, PT Pupuk Indonesia (Persero), dan PT PLN (Persero) untuk menghidupkan kembali sentra ekonomi di Lhokseumawe, Aceh, pada 2023.
2. Transportasi
Sebagai sumber energi, hidrogen sangat unggul karena memiliki kerapatan energi (energy density) sekitar 33,33 kilowatt jam per kilogram. Semakin tinggi kerapatan energi, maka semakin banyak energi yang tersimpan dalam volume tertentu sehingga produksi energi bisa lebih besar.
Menurut peneliti dari Centre for the Global Hydrogen Economy, Particles and Catalysis Research Laboratory, UNSW Sydney di Australia, Denny Gunawan, angka tersebut jauh lebih tinggi dari baterai kendaraan listrik.
Kendaraan dengan bahan bakar hidrogen pun, kata Denny, hanya membutuhkan waktu 3-5 menit untuk proses isi ulang hingga penuh. Ini jauh lebih cepat dari isi ulang daya baterai pada kendaraan listrik yang memakan waktu 20 menit – 1 jam untuk DC fast charging atau 4-10 jam untuk home charging.
Walau begitu, Denny menganggap hidrogen akan jauh lebih bermanfaat meredam emisi dari bus, truk, dan kapal. Ketiga moda transportasi ini yang memiliki beban kerja dan jarak tempuh lebih besar. “Sehingga lebih layak menggunakan hidrogen yang lebih ringan dengan waktu isi ulang lebih cepat,” tulis dia.
3. Listrik dan penyimpanan energi
Profesor bidang katalis dan material penyimpanan energi dari Utrecht University Belanda, Petra de Jongh, mengatakan hidrogen dapat diandalkan untuk menjadi penyimpan kelebihan energi listrik tenaga surya maupun angin. Sebaliknya, saat angin melemah ataupun awan mendung, penyimpanan energi hidrogen dapat bekerja menopang produksi listrik yang berkurang.
“Dibandingkan dengan baterai, kapasitas penyimpanan hidrogen tidak terbatas—elektroliser yang memproduksinya dari air tidak pernah terisi penuh. Hidrogen juga dapat diubah kembali menjadi listrik menggunakan sel tunam (fuel cell), meskipun cukup banyak energi yang hilang dalam prosesnya,” ujar Petra dalam analisisnya.
4. Industri berat
Pengajar bidang fisika energi dari University of South Wales, Stephen Carr, mengatakan hidrogen adalah energi yang menjanjikan untuk membuat sektor industri lebih ramah lingkungan. Dia mencontohkan industri keramik yang membutuhkan energi panas untuk menyalakan tungku.
Saat ini, pelaku industri keramik masih menggunakan gas alam untuk menyalakan tungku tersebut. Ke depannya, gas ini bisa digantikan hidrogen supaya proses produksi keramik lebih ramah lingkungan.
“Mengganti gas alam dengan hidrogen dalam tungku bakar secara keseluruhan bisa lebih murah, dan hanya memerlukan sedikit perubahan pada peralatan,” tulis Stephen..
Mengembangkan ekosistem hidrogen nasional
Sebagai negara dengan potensi energi terbarukan yang besar, Indonesia memiliki modal kuat untuk memproduksi lebih banyak hidrogen hijau.
Langkah ini sudah dimulai oleh PT Pertamina (Persero) yang membangun fasilitas produksi hidrogen hijau berbasis panas bumi di Ulubelu, Lampung dan prastudi di Sulawesi Utara.
Berdasarkan pemetaan perseroan, ada 17 wilayah kerja panas bumi yang bisa dimanfaatkan sebagai sarana produksi hidrogen hijau. https://www.youtube.com/embed/YF2mqZyB4-g?wmode=transparent&start=0 Pertamina bekerja sama dengan Toyota untuk membangun stasiun pengisian hidrogen di Jakarta.
Selain Pertamina, PLN juga berusaha memproduksi panas bumi menghasilkan hidrogen dari Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi di Kamojang, Garut. Hidrogen hijau dari Kamojang akan memasok stasiun pengisian hidrogen hijau di Senayan, Jakarta Pusat.
Denny dari UNSW Sydney mengatakan, Pertamina dan PLN perlu berkolaborasi menyusun rencana teknis agar pengembangan rantai pasok hidrogen hijau sektor transportasi lebih harmonis. Menurut dia, ada dua opsi kerja sama rantai pasok. Pertama, hidrogen hijau bisa diproduksi terpusat dekat pembangkit listrik energi terbarukan milik Pertamina atau PLN. Kemudian, hidrogen hijau didistribusikan melalui truk/trailer ke stasiun pengisian hidrogen.
“Dalam hal ini pengalaman Pertamina dalam produksi hidrogen berskala besar berperan penting,” ujar dia melalui pesan tertulis pada Kamis, 14 Maret 2024.
Kedua, hidrogen hijau bisa diproduksi langsung di stasiun pengisian kedua perseroan untuk menghemat biaya transportasi. Dalam opsi ini, peran PLN cukup penting untuk menyediakan infrastruktur distribusi listrik energi terbarukan ke stasiun pengisian hidrogen.
Tantangan dan peluang pengembangan hidrogen hijau
Hidrogen hijau memang sedang hype di seluruh dunia. Namun, laporan terbaru IEA mengatakan laju perkembangan proyek-proyeknya ternyata tidak secepat yang diharapkan.
Di banyak negara, proyek-proyek hidrogen hijau masih kekurangan dukungan kebijakan mendetail untuk mengatasi mahalnya ongkos produksi dan keterbatasan infrastruktur. Penurunan biaya rata-rata produksi energi terbarukan global yang kian murah tidak dibarengi dengan biaya produksi dan penyimpanan hidrogen hijau yang jauh lebih mahal dibandingkan hidrogen kelabu.
Hannes dari University of North Dakota mengatakan kebijakan insentif pajak hidrogen dapat membuat pasar lebih melirik hidrogen hijau. Di Amerika, insentif pajak berlaku hingga US$3 (sekitar Rp47 ribu) per kilogram hidrogen.
Cara lainnya disampaikan oleh Deputi Direktur Program Energi dan Perubahan Iklim Grattan Institute Australia, Alison Reeve. Menurut dia, usaha membuat energi fosil lebih mahal dengan menerapkan pungutan emisi juga patut dijajaki agar pasar kian meminati hidrogen hijau.
Untuk Indonesia, Denny mengatakan insentif untuk pembelian kendaraan hidrogen transportasi juga sama pentingnya dengan kendaraan listrik. Guna mengembangkan transportasi umum berbasis hidrogen, pemerintah bisa memulai proyek percontohan bersama produsen luar negeri Volvo atau Mercedes-Benz untuk bus, serta Alstom untuk kereta.
Pemerintah daerah, kata Denny, juga dapat saling bermitra menyokong pembangunan jaringan stasiun pengisian hidrogen bersama badan usaha di sepanjang jalan arteri ataupun jalan tol yang menghubungkan daerah. Contohnya sudah ada. Di Australia, negara bagian New South Wales, Victoria, dan Queensland untuk mengembangkan ekosistem stasiun pengisian hidrogen “Hume Hydrogen Highway” di pantai timur Australia. Pemerintah memberikan hibah dengan total $20 juta (Rp205 miliar) untuk mendukung inisiatif ini.
Terakhir, Denny mengingatkan ekosistem hidrogen hijau di Indonesia tak akan optimal tanpa dibarengi peningkatan produksi listrik energi terbarukan. “Bila hidrogen hijau yang digunakan masih dari gas alam atau batu bara, maka tentu upaya ini tidak menguntungkan lingkungan,” kata dia.
Penulis: Anggi M. Lubis, Business + Economy Editor, The Conversation dan Robby Irfany Maqoma, Environment Editor, The Conversation
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.