EDISI.CO, CATATAN EDISIAN- Pelaporan ESG (environmental, social, dan governance) atau laporan dampak aktivitas perusahaan terhadap ekonomi, lingkungan, sosial, dan tata kelola perusahaan tengah jadi perbincangan hangat di Indonesia maupun dunia beberapa tahun ke belakang. Tak sulit bagi publik untuk menemukan lowongan pekerjaan terkait laporan tersebut di situs pencarian kerja, termasuk di platform media sosial LinkedIn.
Di tengah pemanasan global dan tuntutan investor, para pembuat kebijakan di berbagai negara memang mewajibkan perusahaan untuk merilis laporan yang juga dikenal sebagai laporan keberlanjutan.
Dalam laporan keberlanjutan, perusahaan menyertakan strategi dan target ESG yang akan dicapai dalam jangka waktu tertentu. Perusahaan juga menjelaskan mengapa laporan mereka menekankan topik-topik seperti energi, emisi, limbah, atau kesetaraan gender—dikenal sebagai topik material.
Kewajiban pelaporan keberlanjutan mengundang para peneliti untuk membangun kajian dan teori untuk memahami mengapa dunia bisnis semakin memperhatikan dan melaporkan isu ESG kepada publik. Kajian ini juga berguna untuk memantau dan menilai peningkatan kualitas pelaporan ESG dari waktu ke waktu.
Setidaknya, ada tiga teori yang umum menjadi landasan argumen para peneliti dalam memandang komitmen pengungkapan dan pelaksanaan inisiatif keberlanjutan suatu perusahaan, yaitu teori institusional (institutional theory), teori legitimasi (legitimacy theory), dan teori pemangku kepentingan (stakeholder theory).
Ketiga teori ini yang muncul dalam bidang akuntansi menempatkan perusahaan sebagai sebuah entitas yang umumnya selalu responsif terhadap para pemangku kepentingan, mulai dari investor, karyawan, pemerintah hingga masyarakat. Sayangnya, pandangan ini luput menganalisis dinamika internal perusahaan yang berimplikasi terhadap kualitas laporan dan topik ESG yang disajikan kepada publik.
Teori institusional: regulasi tak menjamin kualitas
Teori institusional memandang bahwa regulasi adalah cikal bakal proses institusionalisasi laporan keberlanjutan dan sehingga menjadi norma dalam dunia bisnis, yang kemudian mendorong perusahaan untuk mengikutinya.
Selain didorong regulasi, teori ini berargumen bahwa pelaku bisnis tak selalu menggunakan pertimbangan yang sepenuhnya rasional. Justru, yang memengaruhi bisnis untuk berlomba-lomba menyusun laporan keberlanjutan adalah para perusahaan sejawatnya. Dengan kata lain, perusahaan cenderung meniru aksi sejawat agar tidak ‘ketinggalan’ atau ‘kalah’ dari kompetitornya. Mereka juga menginginkan keselarasan dengan praktik umum yang menjadi norma karena dilaksanakan oleh institusi lain.
Sayangnya, teori yang menekankan pada regulasi dan pembentukan norma ini luput mempertimbangkan persepsi perusahaan terhadap pentingnya laporan keberlanjutan. Padahal, persepsi turut menentukan sejauh mana mereka akan berupaya meningkatkan kualitas laporan dan memantau praktik keberlanjutan oleh perusahaan sejawat.
Ketika perusahaan memosisikan laporan keberlanjutan untuk ‘sekadar menjadi patuh’ (box-ticking), data yang disajikan bisa jadi kurang berkualitas. Sebuah survei investor global menunjukkan bahwa 94% investor mempercayai laporan keberlanjutan mengandung informasi yang tidak selalu akurat. Konten pelaporan cenderung meragukan, meskipun popularitas dan kewajiban pelaporan keberlanjutan semakin tinggi.
Regulasi yang tak memberikan sanksi dan insentif yang konkret dan tegas ini bisa jadi turut melanggengkan pelaporan ‘yang-penting-ada’. Pemahaman perusahaan seputar manfaat praktik keberlanjutan bagi keberlangsungan bisnis bisa jadi masih terbatas. Apalagi, saat ini pemerintah belum mewajibkan audit laporan kebelanjutan oleh pihak independen, meskipun regulasi pelaporan keberlanjutan di Indonesia telah mengharuskan penyertaan sejumlah topik ESG seperti emisi, energi, dan kesetaraan kesempatan bekerja, untuk dilaporkan.
Teori legitimasi: norma sosial bisa jadi penghalang
Teori legitimasi memosisikan perusahaan sebagai aktor yang senantiasa aktif membangun legitimasi di hadapan publik dengan cara memenuhi harapan masyarakat di sekelilingnya.
Tanpa dukungan masyarakat, perusahaan tak dapat menjalankan operasinya dengan lancar. Namun, bagaimana bila topik ESG tertentu tidak selalu sejalan dengan norma dominan yang berlaku dalam masyarakat?
Isu keberlanjutan bukan hanya terkait lingkungan hidup, tetapi juga isu sosial seperti kesetaraan gender dan hak asasi manusia. Bisa jadi keduanya bertentangan dengan norma dominan yang berlaku di masyarakat.
Misalnya, pengungkapan perusahaan tentang dukungan dan perlakuan non-diskriminatif terhadap minoritas gender dan seksual bisa jadi menuai kontroversi di ruang publik. Ini dapat berdampak pada reputasi bisnis.
Baca juga: Mengapa Minum Obat Flu bisa membuat Tes Narkoba kita Positif?
Di sinilah, teori legitimasi menemukan keterbatasan. Keharusan perusahaan untuk mempertahankan relasi dan dukungan dari masyarakat mendorongnya waspada terhadap risiko yang dapat menggerus legitimasi tersebut bila mereka salah ambil langkah.
Pertimbangan semacam ini tentunya berpengaruh pada topik-topik yang menjadi fokus pelaporan keberlanjutan perusahaan. Akibatnya, gerak perusahaan bisa jadi terbatas dalam membuat perubahan yang sesuai dengan tuntutan global.
Alih-alih menciptakan transformasi, perusahaan bisa jadi lebih memilih untuk mematuhi norma dominan masyarakat.
Singkat kata, harapan dan norma sosial-budaya yang berlaku dalam masyarakat tidak selalu berdampak positif bagi topik ESG tertentu yang cenderung ‘sensitif’.
Teori pemangku kepentingan: politik ‘memilih’ untuk hasil terbaik
Sesuai dengan namanya, teori ini memosisikan tekanan pemangku kepentingan sebagai pendorong perusahaan untuk melaporkan inisiatif keberlanjutan sebagai bentuk tanggung jawab korporasi.
Ada beragam pemangku kepentingan, mulai dari dari investor, pemerintah, karyawan, pemasok, hingga masyarakat lokal. Namun, tidak semua pemangku kepentingan ini dianggap penting oleh perusahaan. Ada kemungkinan perusahaan memprioritaskan harapan dari aktor yang dapat menentukan hidup-matinya korporasi, misalnya investor. Konsekuensinya, perusahaan akan mengutamakan topik ESG yang paling relevan untuk memenuhi harapan investor atau aktor-aktor lain dengan sumber daya mumpuni ini.
Beberapa riset pun telah membuktikan bahwa tuntutan investor ini bisa berujung pada strategi jangka pendek, beban berat yang membuat perusahaan melapor ‘ala kadarnya’, hingga potensi greenwashing (klaim ramah lingkungan yang tak sesuai fakta).
Pendekatan ini bertentangan dengan semangat pelaporan keberlanjutan itu sendiri. Dalam standar pelaporan Global Reporting Initiatives (GRI)yang merupakan standar internasional yang paling banyak digunakan di dunia untuk melaporkan dampak ESG, pelibatan pemangku kepentingan seharusnya mempertimbangkan kelompok rentan atau yang paling terdampak oleh aktivitas perusahaan. Harapannya, mereka dapat memberikan informasi lengkap untuk membantu perusahaan merumuskan fokus dan strategi keberlanjutan yang tepat dan efektif dalam mengatasi dampak negatif yang telah atau berpotensi terjadi.
Namun, bagaimana bila kelompok rentan ini tidak dianggap sama pentingnya dengan investor? Bagaimana bila sebuah kelompok tidak selalu monolitik dan memiliki isu perhatian yang sama? Misalnya, karyawan sebagai pemangku kepentingan bisa jadi punya perbedaan pandangan dan kepentingan antar anggotanya.
Inilah dimensi politis di balik topik dan data ESG yang diungkapkan dalam laporan keberlanjutan. Pemilihan pemangku kepentingan dan pemilihan ‘suara mana’ yang akan diprioritaskan mempengaruhi topik ESG yang menjadi fokus dan akan dilaporkan oleh suatu perusahaan.
Butuh analisis proses
Ketiga teori tersebut luput mempertimbangkan proses di balik penyusunan laporan keberlanjutan. Dalam proses inilah, peneliti berpotensi menemukan pertimbangan risiko, motivasi, dan pemilihan pemangku kepentingan tertentu yang berperan penting dalam menentukan konten laporan keberlanjutan.
Pendekatan semacam ini dimungkinkan bila peneliti tidak sekadar melihat konten laporan secara apa adanya (at face value). Karenanya, teori-teori ini dapat dilengkapi dengan kajian organisasi untuk melihat lebih lanjut konteks dan dinamika internal perusahaan yang mendorong mereka melaporkan, sekaligus tidak melaporkan topik ESG tertentu.
Laporan keberlanjutan bukanlah sekadar dokumen tertulis semata. Di baliknya, terdapat dinamika organisasi yang tak kasat mata untuk merumuskan apa yang dapat, sekaligus tidak dapat diungkapkan.
Penulis: Hendri Yulius Wijaya, PhD Student in Political Science (Joint Supervision with Business School), The University of Melbourne
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.