EDISI.CO, CATATAN EDISIAN- Guna mencapai kondisi bebas emisi atau Net Zero Emission (NZE) 2060, salah satu upaya yang ditempuh pemerintah adalah memperpendek masa operasional pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) melalui kebijakan pensiun dini.
Namun, berbagai studi justru menyatakan kebijakan pensiun dini tergesa-gesa. Indonesia memang memiliki komitmen terhadap penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dengan dukungan Just Energy Transition Partnership (JETP) bersama negara-negara maju. Namun, pelaksanaan komitmen dalam kerangka pengakhiran PLTU seharusnya tidak mengabaikan aspek ekonomi dan sosial.
Sebagai peneliti kebijakan publik, kami menganggap aturan pensiun dini dalam Perpres Nomor 112 Tahun 2022 masih terbatas di industri energi, belum mempertimbangkan aktivitas ekonomi yang mungkin terimbas dan dampaknya ke masyarakat. Pasal 3 regulasi ini memang mengatur pembuatan peta jalan percepatan pengakhiran masa operasional PLTU. Namun, pengaturannya cenderung eksklusif karena hanya melibatkan lembaga kementerian tanpa ada kejelasan mengenai partisipasi bermakna dari aktor lokal.
Jika pengaturan yang sempit dan eksklusif ini dibiarkan, usaha pemensiunan dini PLTU justru memicu berbagai persoalan ekonomi dan sosial baru.
Pemerintah perlu mempertimbangkan langkah pemensiunan dini PLTU lebih seksama dan mengenali risiko-risiko yang mungkin muncul. Kami mencatat setidaknya ada tiga dampak ekonomi dan sosial yang perlu pemerintah antisipasi dalam kebijakan pensiun dini PLTU.
1. Macetnya ekonomi daerah
Pertama, kebijakan pensiun dini PLTU berpotensi memukul aktor-aktor dalam rantai pasok batu bara, khususnya daerah penghasil.
Pulau Kalimantan, misalnya, menyimpan 62,1% sumber daya batu bara. Studi Institute for Essential Services Reform (IESR) menyebutkan bahwa sektor batu bara di Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Utara berkontribusi signifikan terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) masing-masing provinsi. Ini menunjukkan peran penting batu bara dalam perekonomian daerah tersebut.
Pemanfaataan sumber daya batu bara Indonesia umumnya bergantung pada operasional pembangkit listrik. Karena itulah, jika PLTU mulai pensiun dini, permintaan batu bara domestik kemungkinan besar menurun sehingga dapat menyebabkan macetnya perekonomian daerah penghasil.
Perekonomian yang macet menyebabkan beragam permasalahan ekonomi sosial yang pelik, seperti kemiskinan dan pengangguran. Ini menghantui masyarakat lokal yang menggantungkan hidupnya di penambangan batu bara. Akibatnya, transisi energi justru berkontribusi terhadap perburukan kesenjangan ekonomi masyarakat lokal.
2. Rawan pelanggaran hak-hak pekerja
Pensiun dini PLTU juga akan berdampak pada kesepakatan PLN dengan pihak-pihak kedua dalam proses produksi maupun distribusi energi listrik—misalnya pemasok batubara, perusahaan logistik, dan pihak lainnya—akibat masa operasi yang diperpendek.
Sayangnya, Perpres No. 112 Tahun 2022 hanya mengatur kontrak PLN dan pihak kedua. Aturan belum melindungi kontrak-kontrak turunan yang tercipta karena perjanjian PLN-pihak kedua, seperti kontrak dengan pekerja lokal yang turut terlibat. Perpres ini tidak mengatur mekanisme kompensasi dalam bentuk ganti rugi untuk mengakomodasi hak-hak pekerja tersebut.
Masalah lain yang muncul adalah keberagaman struktur tenaga kerja dalam rantai pasok batu bara, yang meliputi pekerja kasar hingga tenaga ahli dengan keterampilan khusus. Setiap kelompok pekerja akan terkena dampak transisi energi sesuai dengan kedalaman partisipasi mereka.
Sayangnya, perpres juga belum mengatur transisi pekerja di rantai pasok batu bara maupun PLTU ke sektor pekerjaan lainnya, seperti pekerjaan hijau atau green jobs. Padahal, tenaga kerja di Indonesia belum banyak menguasai green skills yang dibutuhkan, misalnya analis energi ataupun manajer berkelanjutan, sekalipun tren permintaan pekerja dengan keahilan ini meningkat.
3. Bantuan masyarakat lokal
Operasi PLTU memang seringkali tidak luput dari persoalan sosial akibat dampak lingkungan yang ditimbulkan. Namun, dalam operasionalnya, masyarakat turut memperoleh bantuan dari pengelola pembangkit melalui skema tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) di sektor ekonomi, kesehatan, maupun sosial.
Baca juga: Kabar Baik Realisasi Pajak Daerah Batam jelang Tengah Tahun 2024
Selain itu, tidak jarang juga masyarakat lokal yang menggunakan lahan di sekitar PLTU untuk sekadar berdagang, menyediakan warung makan, bahkan menjadikannya sebagai objek wisata.
Nah, Perpres No.112 Tahun 2022 belum melindungi aspek-aspek perlindungan masyarakat di tingkat mikro ini. Jika tidak diantisipasi, pensiun dini PLTU justru menghilangkan kesempatan pemberdayaan masyarakat secara langsung oleh mereka sendiri, ataupun melalui program perusahaan. Pemerintah pusat maupun daerah juga tidak mengatur skema bantuan sosial khusus masyarakat terdampak.
Perpres pun belum memuat strategi alih fungsi lahan pascapemensiunan PLTU dalam dokumen Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) bagi pemerintah daerah. Khususnya, seperti apa proyeksi pemanfaatan ruang yang mampu mempertahankan sirkulasi ekonomi lokal secara berkelanjutan apabila suatu bidang lahan tidak lagi diperuntukkan bagi PLTU.
Tiga rekomendasi
Berangkat dari kekhawatiran tersebut, kami menganggap pemerintah perlu merevisi aturan pensiun dini dalam Perpres nomor 112 tahun 2022. Atau, setidaknya, pemerintah perlu merumuskan dokumen peta jalan (roadmap) pensiun dini PLTU secara inklusif yang memuat ketentuan pemulihan pasca-pemensiunan PLTU dengan lebih komprehensif.
Menurut kami, ada tiga rekomendasi yang dapat membantu pemerintah mengatasi dampak ekonomi dan sosial dari pemensiunan dini PLTU.
Pertama, pemerintah perlu melakukan kajian yang melibatkan perspektif lokal dalam formulasi peta jalan pensiun dini PLTU. Hingga saat ini, aktor yang berwenang dalam pembuatan peta jalan tersebut masih terbatas pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Keuangan, dan Kementerian Badan Usaha Milik Negara. Oleh karena itu, diskusi pembangunan cenderung bersifat top-down alias dari perintah pusat ke daerah.
Pemerintah perlu juga melibatkan pemerintah daerah kabupaten/kota dan provinsi, perwakilan masyarakat terdampak, dan organisasi pekerja terkait, untuk memperkaya informasi terkait kebutuhan masyarakat lokal.
Kedua, pemerintah perlu memperkuat aturan pensiun dini PLTU dengan ketentuan khusus yang melindungi kepentingan pekerja lokal yang terkait langsung maupun dalam rantai bisnis pembangkit listrik.
Ketentuan perlu mencakup kompensasi pengakhiran kontrak dan peningkatan kapasitas pekerja agar mereka memiliki keahlian di lapangan kerja ramah lingkungan (green skills). Dengan demikian, masyarakat yang menggantungkan hidupnya dari pengerukan batu bara turut bertransisi untuk memenuhi permintaan green jobs.
Ketiga, pemerintah perlu membuat pedoman khusus yang mengatur mengenai alih fungsi lahan pascapemensiunan PLTU. Tujuannya untuk membantu pemerintah daerah dalam merancang RTRW. Harapannya, kebijakan pensiun dini PLTU tidak memotong arus sirkulasi ekonomi masyarakat setempat, melainkan memberi napas baru dalam kehidupan pasca-PLTU.
Pemerintah perlu memperhatikan tiga rekomendasi ini agar kebijakan pensiun dini PLTU dan transisi energi terbarukan selaras dengan tujuannya memperbaiki lingkungan secara berkeadilan.
Penulis: Theofillius Baratova Axellino Kristanto, Junior Researcher, Universitas Gadjah Mada ; Ayu Aishya Putri, Junior Researcher, Universitas Gadjah Mada , dan R. Derajad Sulistyo Widhyharto, S.Sos., M.Si., Lecturer, Universitas Gadjah Mada
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.