EDISI.CO, CATATAN EDISIAN– Media sosial (medsos) merupakan laman atau aplikasi yang memungkinkan penggunanya membuat dan berbagi isi atau terlibat dalam jaringan sosial. Di Indonesia, 10 platform medsos yang paling banyak digunakan adalah: WhatsApp, Instagram, Facebook, TikTok, Telegram, X (dulunya Twitter), Facebook Messenger, Pinterest, Kuaishou, dan LinkedIn.
Popularitas medsos juga merambah dunia pendidikan. Selain siswa, banyak guru juga aktif membuat konten di media sosial. Baru-baru ini, misalnya, warganet Indonesia memperbincangkan sosok Melan Achmad, seorang pensiunan guru yang secara konsisten mengajar matematika melalui siaran langsung di TikTok.
Ini merupakan langkah positif karena media sosial dapat menjadi ruang bagi guru untuk mengoreksi informasi yang tidak akurat, mengembangkan metode belajar yang lebih interaktif dan mengembangkan diri melalui jejaring.
Kontribusi kehadiran guru di media sosial
Ada tiga alasan utama mengapa guru perlu hadir di media sosial, yaitu:
1. Sebagai mekanisme koreksi dan konfirmasi
Jumlah pengguna medsos yang berusia dini di Indonesia sangatlah signifikan. Pendaftaran ke medsos memang bisa dilakukan tanpa sepengetahuan orang tua, dengan memodifikasi tanggal lahir mereka sendiri meski media sosial seperti Instagram, Facebook, Snapchat, TikTok, dan YouTube (kecuali YouTube Kids), telah sepakat melarang anak-anak di bawah usia 13 tahun mengakses platform mereka.
Realita ini mengkhawatirkan, sebab pelajar saat ini lebih suka menggunakan medsos untuk mencari tahu informasi secara cepat, termasuk untuk kepentingan studi mereka. Padahal, mayoritas pengguna internet usia muda, terutama yang berlatar belakang sosial ekonomi rendah, belum memiliki literasi yang baik.
Artinya, mereka belum memiliki keterampilan dalam menangkap dan mengolah berita dari media, seperti mengenali bias politik atau mengidentifikasi bahwa sebuah unggahan di media sosial telah disponsori oleh pihak tertentu.
Memang sudah banyak ditemukan konten berisi pengetahuan dan informasi yang bebas tersedia di media sosial. Sebut saja Bright Side, Did You Know, dan Seputar Info 21. Sayangnya, sumber daya ilmu pengetahuan umum tersebut tidak semuanya dapat diverifikasi kebenarannya karena bisa berasal dari sembarang orang tanpa latar belakang profesi atau pendidikan yang relevan.
Di sinilah peran guru di media sosial diperlukan.
Tak hanya di kelas, guru perlu mendampingi siswa-siswi dalam pembelajaran mereka melalui dunia maya, semisal dengan melakukan klarifikasi atas informasi yang keliru. Guru juga bisa hadir dengan kepakarannya masing-masing melalui akun medsosnya, untuk mengimbangi dan mengonfirmasi pengetahuan yang tersebar masif tanpa kendali di media sosial.
2. Media berbagi dan kolaborasi
Guru, secara pribadi maupun berkelompok, bisa membuat dan mengunggah konten dalam berbagai format yang berisi pemaparan materi sesuai dengan mata pelajarannya di media sosial. Konten tersebut bisa ditujukan secara terbatas kepada murid-murid yang ia ajar saja atau kepada publik luas dengan tujuan berbagi pengetahuan.
Salah satu contoh dari aktivitas ini adalah akun bernama John Pare milik seorang pengajar di salah satu lembaga kursus bahasa Inggris di Jawa Timur. Secara rutin, dia membagikan pengetahuannya tentang bahasa asing yang ia ajarkan melalui akun medsosnya Mr.Johnhid.
Contoh lainnya adalah kanal The Crash Course yang dipandu kakak beradik John Green dan Hank Green. Saluran YouTube ini menyajikan berbagai bahasan pelajaran, mulai dari sejarah, biologi, kimia, dan bahkan sastra, dengan sering berkolaborasi dengan beragam guru atau pakar pada bidangnya masing-masing.
Pada kategori serupa, mungkin kamu juga mengenal Khan Academy dan Kok Bisa. Para kreator dari ketiga kanal tersebut memberikan keleluasaan bagi guru-guru untuk menggunakan konten mereka dalam kegiatan belajar-mengajar di lingkungan sekolah.
Alih-alih mengulang materi yang sama dalam beberapa sesi berbeda, guru sebetulnya dapat membagikan tautan unggahan terkait suatu bahasan kepada siswa untuk dipelajari terlebih dahulu di rumah, sebelum akhirnya didiskusikan atau dilakukan praktikum di dalam kelas. Konsep inilah yang sebenarnya menjadi gagasan dalam pembelajaran terbalik (the flipped classroom) yang tengah populer diadopsi oleh sekolah-sekolah di kawasan Eropa, Amerika Utara, Cina, dan Australia, setelah diperkenalkannya video sebagai media pembelajaran beberapa tahun silam.
Baca juga: Suara Rempang di Mahkamah Rakyat Luar Biasa
Platform media sosial juga bisa digunakan sebagai alat pembelajaran-terbuka (open-learning tool), sehingga idealnya, mampu menciptakan iklim belajar interaktif. Hal tersebut dapat ditandai dengan adanya diskusi-diskusi di kalangan siswa. Aktivitas inilah yang kemudian mampu mengarahkan mereka pada kegiatan pembelajaran kolaboratif ketimbang kompetisi tidak sehat demi mencapai nilai tertentu.
3. Mengembangkan diri dan berjejaring
Media sosial juga memberi kesempatan bagi guru untuk memperluas pengetahuan dan membangun koneksi profesional. Dengan bergabung dalam sebuah komunitas, guru dapat berdiskusi tentang topik-topik yang menarik dan relevan, seperti metode dan teknik pengajaran, atau evaluasi. Partisipasi di forum seperti ini tidak hanya memperkaya informasi, tetapi juga meningkatkan reputasi profesional dan prospek karier.
Dengan membuat branding personal dan menunjukkan ketertarikan secara positif pada dunia pendidikan melalui medsos, guru dapat membantu mempromosikan sekolah mereka kepada calon siswa baru, menarik minat calon guru untuk melamar, dan bahkan memperbaiki citra profesi guru di masyarakat.
Selain itu, keterbukaan dan kelancaran komunikasi antara guru dan orang tua siswa juga dapat terfasilitasi di media sosial. Melalui medsos, orang tua bisa turut memantau bahkan terlibat secara aktif dalam kegiatan belajar anak-anak mereka, tentunya dengan tetap menjaga keseimbangan antara penggunaan medsos dengan aspek-aspek dalam kehidupan lainnya, seperti peran sosial, etika, tata krama, dan sebagainya.
Hal-hal yang perlu diperhatikan
1. Pisahkan akun personal dan profesional
Seperti halnya dalam kehidupan nyata, penting bagi guru untuk membuat batasan yang jelas antara kehidupan pribadi dan profesional di dunia maya. Membuat dua akun medsos terpisah adalah salah satu solusinya. Untuk itu, guru perlu mengamati sejumlah risiko yang mungkin ditimbulkan dari penggunaan jejaring sosial, baik untuk kepentingan pribadi maupun dalam kerangka pengajaran.
Pada penggunaan personal, jika diperlukan, guru dapat mengunci profil media sosialnya. Hal lain yang bisa dilakukan adalah meminimalisir informasi pribadi yang dibagikan, membatasi jumlah teman, dan membagikan ke grup kecil (contohnya closed friends di Instagram) saja. Jika tidak, pelecehan di jejaring maya yang dilakukan oleh oknum murid terhadap gurunya bisa kembali terjadi.
2. Gunakan kerangka acuan kerja dan lembar persetujuan
Pada penggunaan media sosial dalam konteks belajar-mengajar, guru sebaiknya bertanggung jawab penuh atas konten yang menampilkan siswanya. Artinya, guru perlu menyusun sebuah kerangka acuan kerja sebelum merealisasikan proyeknya di media sosial.
Baca juga: Aktivis dan Akademisi Bicara Lantang di Kasus Rempang
Dokumen ini, salah satunya, harus memuat persetujuan secara tertulis soal penggunaan hak cipta atas gambar, menyebutkan bahwa guru tersebut akan menggunakan akun dan medsos tertentu, serta meminta izin kepada orang tua atau wali murid yang terlibat, sehingga dapat menghindari konflik dan penyalahgunaan.
3. Perkuat etika digital
Literasi digital sesungguhnya memegang peranan krusial untuk membantu masyarakat menjadi pengguna yang cerdas, kritis, dan bertanggung jawab. Pemanfaatan media sosial di dunia pendidikan juga harus diiringi dengan pemahaman yang baik tentang etika digital.
Guru hendaknya menjadi teladan dalam bermedsos. Guru perlu mengarahkan siswa untuk menggunakan media sosial secara tepat dan bijak. Sebagai filter utama, guru dituntut untuk menghindari penyebaran informasi yang sesat (hoaks) serta peredaran konten kebencian. Selain itu, guru perlu beradaptasi terhadap budaya digital dengan mengikuti penggunaan bahasa dan tren yang diminati siswa.
Dengan demikian, penggunaan media sosial oleh guru haruslah dipikirkan dan diawasi dengan cermat. Guru perlu menjaga integritas dan nama baik profesinya. Bagaimanapun, produk-produk teknologi—termasuk media sosial—hanya boleh digunakan dalam konteks pendidikan jika ia dapat mendukung hasil pembelajaran.
Penulis: Elga Ahmad Prayoga, Doctorant, Université de Genève
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.