EDISI.CO, CATATAN EDISIAN– Pendidikan energi (energy education) atau pendidikan hemat energi dalam konteks global telah berkembang pesat di berbagai negara, misalnya di Amerika Serikat (AS), Eropa, dan Jepang. Riset-riset pendidikan energi pun semakin banyak menawarkan berbagai perspektif, seperti pembelajaran pendididikan energi terintegrasi di sekolah dan rumah,pembelajaran dengan penyampaian pesan norma sosial hemat energi, dan pembelajaran kurikulum geospasial terintegrasi dengan topik energi.
Sayangnya, dari riset-riset yang ada, belum banyak yang melihat hemat energi dari sudut pandang nilai etika agama. Alhasil, internalisasi nilai etika hemat energi yang dipraktikkan hanya berpusat pada ilmu pengetahuan alam, sosial, dan humaniora.
Riset yang kami lakukan di Bandung, Jawa Barat, menunjukan bahwa dengan menyertakan nilai-nilai etika agama dalam pendidikan energi, orientasi dan tujuan dari hemat energi dapat lebih terinternalisasi dalam sikap dan perilaku karena langsung terkait dengan ajaran agama yang menjadi keyakinan siswa.
Riset ini juga mengembangkan kerangka kerja konseptual untuk mengintegrasikan pendidikan hemat energi dengan nilai-nilai etika Islam di sekolah menengah Islam atau madrasah yang terintegrasi dengan sistem pondok pesantren (boarding school).
Secara empiris, pesantren sebagai lembaga pendidikan tradisional yang khas telah banyak berkontribusi dalam menyelesaikan persoalan di masyarakat, tidak terkecuali dalam hal konservasi energi dan lingkungan hidup. Pesantren mampu menguatkan peran nilai-nilai agama di lembaga pendidikan dan lingkungan masyarakat, untuk merumuskan solusi permasalahan lingkungan secara teoritis dan praktis. Misalnya, pesantren berbasis lingkungan hidup (ekopesantren) Al Ittifaq yang menjadi model pemberdayaan ekonomi agribisnis.
Literasi energi dalam pelajaran agama
Pendidikan hemat energi, ketika diturunkan ke dalam kerangka kerja literasi energi, mencakup setidaknya pemahaman konsep dasar energi, penambahan sikap positif terhadap konsumsi energi, dan pembinaan kebiasaan hemat energi.
1. Memahami konsep dasar energi dengan etika
Dalam tradisi pendidikan pesantren dan madrasah, kitab pedoman etika Ta’lim al-Muta’allim karya Imam al-Zarnuji menjadi bagian dari kurikulum tidak terpisahkan dalam proses belajar dan mengajar. Kitab ini banyak menjelaskan pedoman etika yang berdimensi horizontal (hubungan antarmanusia dan makhluk lainnya) dan vertikal (hubungan manusia dengan Allah) untuk mencapai keberkahan dan manfaat setelah mendapatkan ilmu yang dipelajarinya.
Berdasarkan temuan riset kami, sekolah mengajarkan beberapa nilai etika Islam yang dapat diinternalisasikan dengan perilaku hemat energi. Beberapa di antaranya adalah gaya hidup sederhana, mengungkapkan rasa syukur, bersungguh-sungguh (man jadda wajada), menjaga keseimbangan (tawazun), menghindari melampaui batas (tatharuf), dan mencegah pemborosan (isyraf dan tabzir).
Nilai tawazun, misalnya, berkaitan dengan perilaku hemat atau iqtishad. Perilaku ini secara umum dimaknai sebagai penggunaan segala sesuatu yang tersedia—harta benda, waktu, dan tenaga—sesuai keperluan. Iqtishad adalah jalan tengah antara perilaku boros dan kikir.
2. Konsumsi energi yang positif
Nilai etika agama bisa juga menjadi sumber inspirasi penggunaan energi secara positif—tidak boros atau sia-sia.
Kerusakan lingkungan sebagai dampak dari boros energi, misalnya, dapat dijelaskan menggunakan kutipan Al-Qur’an surah Al-Rum ayat 41 yang menyebutkan bahwa manusia akan merasakan akibat dari perbuatannya sendiri pada lingkungan.
Materi bersuci dalam pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) juga dapat diajarkan dengan memberikan kesadaran pada peserta didik tentang pentingnya efisiensi penggunaan air. Ketika berwudhu, siswa selalu diingatkan untuk menghindari pemborosan. Sebab, berwudhu membutuhkan setidaknya dua sumber energi yang dapat habis, yaitu air dan listrik—yang banyak digunakan untuk menghidupkan mesin pompanya. Dengan begitu, internalisasi konsumsi energi yang positif akan tercapai.
Selain itu, guru juga dapat menginternalisasikan nilai etika Islam hemat energi ketika membahas materi hemat energi yang banyak ditemukan pada mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam sehingga agama dan sains saling menguatkan.
3. Hemat energi sebagai kebiasaan
Kesadaran penggunaan energi secara bijak pada peralatan yang digunakan (device energy literacy) mesti ditanamkan sejak dini melalui usaha pendidikan dengan pembiasaan dan peneladanan.
Pembiasaan ini dapat dimulai dari hal-hal kecil, seperti mematikan lampu, mencabut colokan listrik, dan mengatur suhu pendingin ruangan. Jika perilaku ini telah terbentuk menjadi kebiasaan, maka pendidikan energi bisa dikatakan sudah berhasil.
Penerapan yang lebih luas
Riset kami memang berfokus pada sekolah Islam atau madrasah di pesantren. Walau begitu, model ini dapat diterapkan juga di sekolah agama dengan sistem lain bahkan di sekolah umum. Sebab, nilai etika hemat energi merupakan nilai universal yang dapat digali dari tradisi dan ajaran agama lainnya.
Pembelajaran integratif-tematik hemat energi yang kami bangun juga dapat dikembangkan lebih lanjut menggunakan model pembelajaran inter-religius. Artinya, nilai etika hemat energi yang menjadi tema sentral pembelajaran tidak hanya bersumber dari satu perspektif agama tertentu saja. Ada dialog nilai-nilai dan pandangan agama-agama terkait ekologi dan energi. Dengan demikian, konsep ini menjadi model yang bersifat universal dalam penerapannya.
Penulis: Rohmatulloh, Lecturer BPSDM ESDM, Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.