EDISI.CO, BATAM– Proyek Strategis Nasional (PSN) Rempang Eco-City terus mendapat penolakan dari warga Pulau Rempang. Warga tidak ingin PSN Rempang Eco-City mengubur ruang hidup yang telah ratusan tahun mereka tempati.
Rupa penolakan Rempang Eco-City disampaikan warga dengan tidak ingin direlokasi dari kampung-kampung mereka. Pesan itu tersalurkan melalui tulisan di spanduk dan pernyataan langsung yang divideokan dalam banyak kegiatan di Pulau Rempang.
Saat ini, di tengah penolakan dari sebagian besar masyarakat yang terdampak, pemerintah terus bergerak dengan membangun rumah relokasi untuk warga di Kampug Tanjung Banon, Kelurahan Sembulang, Kecamatan Galang. Rencananya akan dibangun 100 rumah relokasi sampai September 2024 mendatang.
Menteri Koordinator bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, seusai menggelar Rapat Koordinasi (Rakor) Perkembangan Penyelesaian dan Penanganan PSN Rempang Eco-City di Ruang Balairungsari, BP Batam pada Kamis (12/7/2024), menuturkan berbagai hal telah dibahas. Terutamanya untuk ketersediaan anggaran, guna pembangunan rumah, infrastruktur dan juga rencana investasi ke depan.
Airlangga juga menyampaikan bahwa ia mengingatkan pada Forkopimda dan kementerian terkait untuk mendukung PSN.
Terkait dengan banyaknya warga yang menolak direlokasi sebagai akibat dari PSN Rempang Eco-City, Airlangga menuturkan pemerintah akan melakukan upaya relokasi secara bertahap, mulai tahun 2024 ini dan tahun 2025 mendatang.
“Ada dua tahapan, diselesaikan tahun ini dan tahun depan. Tadi saya minta supaya segera disosialisasikan saja,” kata dia.
Pada Prosesnya, baru ada 138 KK yang pindah sementara dari 961 KK yang akan direlokasi pada tahap pertama rencana pengembangan Rempang Eco City.
Rencana Investasi Xinyi International Investments Limited
Terkait rencana investasi Xinyi International Investments Limited asal Tiongkok, Airlangga meyakini Xinyi akan menanamkan inevastasinya di PSN Rempang Eco-City. Xinyi rencananya rencana akan menanamkan investasi senilai USD11,6 miliar yang meliputi pengembangan ekosistem rantai pasok industri kaca dan industri kaca panel surya di Kawasan Rempang.
“Saya ketemu Xinyi di Gresik juga mereka sudah investasi. Mereka akan melanjutkan investasi,” kata Airlangga.
Meskipun demikian, Airlangga menuturkan Indonesia terikat persaingan dengan negara lain dalam upaya mendatangkan investasi. Jika perizinan investasi tidak diselesaikan, maka ada banyak wilayah yang bersedia menampung, salah satu yang paling dekat adalah di Johor, Malaysia.
“Maka kita perlu melakukan harmonisasi, situasi dan kondisi. Dan investasi bisa masuk mumpung Indonesia ini lagi diminati.”
Sementara itu, Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Riau, Even Sembiring, menilai PSN Rempang Eco-City tidak transparan. Rencana investasi pembangunan pabrik kaca dan solar panel di Pulau Rempang oleh Xinyi Group pada tahun 2025 juga tidak ditemukan.
Untuk itu, Even mendorong pemerintah untuk membuka isi Memorandum of Understanding (MoU) terkait rencana investasi di PSN Rempang Eco-City tersebut.
“Pemerintah harus terbuka sebenarnya isi MoU apa saja. Kalau kita bicara keterbukaan informasi, apalagi soal keterbukaan informasi sebagai hak dasar asasi manusia, pemerintah harus terbuka terkait dengan desain proyek itu,” kata dia.
Sekertaris Majelis Pakar Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Iwan Nurdin, menuturkan PSN Rempang Eco-City menjadi contoh nyata bagaimana proses perampasan tanah hanya untuk kepentingan segelintir orang. Proses itu justru mengancam eksistensi masyarakat yang telah ratusan tahun mendiami ruang hidupnya.
Meskipun PSN Rempang Eco-City menggunakan varian argumentasi, seperti untuk kepentingan umum, membawa konsep ramah lingkungan, hilirisasi dan sebagainya, hal itu tidak dapat menegasikan kenyataan perlakukan represif terhadap masyarakat Pulau Rempang dalam perjalanannya.
Mmunculnya praktek perampasan tanah di Pulau Rempang dan berbagai daerah di Indonesia atas nama PSN, lahir dari menguatnya oligarki politik dan oligarki ekonomi. Menguatnya oligarki politik dan oligarki ekonomi ini menghasilkan aturan yang akan membatasi proses demokrasi.
“Itulah makna hadirnya UUCK (Undang-undang Cipta Kerja) dan instrumen-instrumen hukum lainnya yang sebenarnya memperkuat SDA kita hanya untuk segelintir orang. Menguatnya oligarki politik dan ekonomi sehingga ruang demokrasi bagi rakyat semakin sempit,” tuturnya dalam kegiatan Peluncuran hasil kajian mereka soal kasus agraria yang terjadi di Pulau Rempang pada Senin (8/7/2024).
Proses dirasa tidak ideal ini, menempatkan masyarakat yang seharusnya menjadi penerima manfaat atas kebijakan yang mengemuka, justru merugi dan terganggu. Mereka terancam kehilangan ruang hidup, juga menjadi korban represif ketika berjuang mempertahankan hak mereka.
Jejak pelanggaran HAM yang membersamai PSN Rempang Eco-City ini, lanjut Nurdin, menjadi cela yang seharusnya dievaluasi segera. Karena produk-produk yang nantinya dihasilkan, berpotensi tidak akan diterima mekanisme pasar global.
Baca juga: Rekomendasi Walhi Riau dari Hasil Kajian Kasus Rempang
“Dalam ekonomi pasar, dimana relokasi yang sangat kasar dan merampas tanah masyarakat itu, menjadikan produk-produk itu kelak akan rentan diboikot.”