EDISI.CO, JAKARTA– Masyarakat Pulau Rempang terus berjuang mempertahankan kampung mereka dari ancaman penggusuran. Warga melawan keinginan negara membangun Proyek Strategis Nasional (PSN) Rempang Eco City. Proyek ini diyakini akan mengorbankan eksistensi ruang hidup mereka.
Bersama Tim Advokasi Solidaritas Nasional untuk Rempang, upaya mempertahankan kampung yang mereka yakini sebagai hak ini, tetap berjalan. Meskipun mereka berhadapan dengan beragam bujuk rayu. Termasuk merasakan tekanan dan intimidasi dari berbagai pihak, sampai saat ini.
Warga sampai bertandang ke Jakarta. Membangun komunikasi dengan kementerian dan lembaga. Juga menggelar aksi damai di Kedutaan Besar Tiongkok dan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, sebagai sikap tegas masyarakat Pulau Rempang menolak PSN Rempang Eco City.
Mereka meyakini PSN Rempang Eco City tidak ditujukan untuk kesejahteraan masyarakat di Pulau Rempang. Sebaliknya akan menyengsarakan, merusak tataran budaya dan ruang hidup Masyarakat Melayu di pesisir yang telah terbangun berabad-abad lamanya.
“Jangan pindahkan kami dari kampung kami. Bukan kami tidak mendukung pembangunan, tapi pembangunan yang wajar. Ini (PSN Rempang Eco City) mendukung perekonomian kaum elit. Yang kaya tambah kaya, yang miskin tambah mati,” kata Muhammad Aris, warga Pulau Rempang dalam konferensi pers di Kantor Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) pada Jumat (16/8/2024).
Untuk diketahui, warga Bersama Tim Advokasi Solidaritas Nasional untuk Rempang mendatangi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK); Ombudsman RI; Komnas HAM; Komnas Perempuan dan bertandang ke Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) sebagai ikhtiar mereka memperjuangkan tetap lestarinya kampung mereka.
Mereka juga mengunjungi organinasi-organisasi yang tergabung dalam Tim Advokasi Solidaritas Nasional untuk Rempang. Diantaranya Walhi; Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI); Trend Asia; KontraS; TII; Walhi Jakarta dan lembaga pendukung perjuangan Masyarakat Rempang lainnya.
Aksi Kamisan edisi 827 di depan Istana Negara pada Kamis (15/8/2024) pun diikuti warga Rempang.
Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur, menyampaikan apa yang terlihat dari perjuangan Masyarakat Pulau Rempang, adalah gambaran bahwa masyarakat Pulau Rempang tengah berjuang menegakkan prinsip dasar negara Indonesia.
Mereka menunjukkan dimana posisi negara saat ini. Negara yang seharusnya menjamin hak dasar bagi masyarakatnya, justru berbuat sebaliknya di Pulau Rempang. Dengan dalih pembangunan ekonomi untuk kesejahteraan negara.
Sejak kemerdekaan, kata dia, negara berkewajiban melindungi warganya. Kewajiban itu tercermin dalam usaha menghadirkan tempat tinggalnya yang layak, lingkungannya yang sehat dan seluruh perangkat perlindungan lainnya.
PSN Rempang Eco City dan proyek serupa di banyak daerah Indonesia, justru memperlihatkan adanya upaya melanggar tatanan hukum dasar ini. Melalui kekuatan modal dan kuasaan, kata Isnur, pemerintahan Jokowi yang mengedepankan investasi, sejak awal menyalahi hukum dasar negara Indonesia.
“Ketika masyarakat Rempang berjuang, selain memperjuangkan tanah air, masa depan, juga menjaga prinsip dasar negara ini. Masyarakat Rempang penjaga konstitusi negara ini. Sementara mereka (Pemerintah) membuat hukum sebagai jalan menuju otoritarian.”
Direktur Eksekutif Nasional Walhi, Zenzi Suhadi, mengatakan sikap masyarakat Melayu Pulau Rempang yang terus berjuang, adalah warisan dari leluhur mereka yang memang tidak tunduk dari penjajah. Sehingga, ketika mereka dipaksa pemerintah pindah dari kampung halaman dan tanah airnya, mereka pasti akan menolak.
“Masyarakat Melayu di Pulau Rempang akan mengambil keputusan ia akan bertahan di sana,” kata Zenzi.
Lebih lanjut, Zenzi menjelaskan bahwa Orang Melayu memaknai tanah air adalah tempat dimana tali pusarnya dikuburkan atau tempat kelahirannya. Sehingga bertahan di tempat ia dilahirkan adalah panggilan spiritual bagi mereka. Tempat dimana tulang, darah dan dagingnya tumbuh besar berasal dari tanah air di sana.
“Karena kampung itu identitas masyarakat Melayu. Dimana tanah airnya, dimana tali pusarnya dikubur, dia akan berkubur di sana. Dia akan memilih mati di sana daripada diusir mentah-mentah,” kata Zenzi.
Urgensi Pembatalan Rempang Eco City dan Pembubaran BP Batam
Zenzi mengatakan apa yang terjadi di Pulau Rempang dan Pulau Batam adalah sinyal nyata kerugian perekonomian Indonesia. Sehingga Pemerintah harus mengambil tindakan korektif dengan membatalkan proyek Rempang Eco City.
Pengembangan Pulau Batam sebagai kawasan pelabuhan bebas sejak 1978, kemudian diperluas sampai ke Rempang dan Galang pada 1993, kata Zenzi, justru memperkaya negara tetangga Singapura. Zenzi melihat gambaran sebenarnya pelabuhan bebas Batam, Bintan dan Karimun, adalah bentuk legalisasi terhadap maraknya penyelundupan yang sangat menguntungkan negara tetangga tersebut.
Ia contohkan penyelundupan Benih Lobster dari Indonesia ke Singapura yang terus ada. Benih itu kemudian diekspor dan menghasilkan untung besar bagi Singapura.
“Kalau kita baca pasal 15 Undang-undang Cipta Kerja, Kawasan Pelabuhan Bebas adalah Kawasan yang terpisah dari Kawasan kepabean. Artinya proses ekspor dari tiga kawasan (Batam, Bintan dan Karimun) dan impor barang tidak dipungut biaya cukainya. Lantas ekonomi apa yang mau dibangun?.”
“Menurut saya, bukan hanya PSN Rempang Eco City yang harus dibatalkan, Otorita Batam (Badan Pengusahaan) Batam juga harus segera dibubarkan, dikembalikan seperti pemerintah biasa,” tambahnya.
Senada dengan Zenzi, Research Manager Trend Asia, Zaki Amali, menuturkan pihaknya berkesimpulan bahwa PSN Rempang Eco City harus dibatalkan. Adanya hilirisasi; transisi energi berkeadilan yang tidak berjalan; ekspor listrik ke Singapura; dan transparansi perusahaan yang tidak ada, menjadi alasan kenapa PSN Rempang Eco City harus berhenti.
Zaki menjelaskan bahwa watak hilirisasi itu selalu kotor. Apalagi proses hilirisasi itu ditopang oleh Batu Bara.
“Di Rempang akan dibangun sekitar 2 gigawatt PLTU Batu Bara untuk mendukung hilirisasi di sana. Meskipun Masyarakat Rempang tetap bisa tinggal di kampung mereka di sana, kerusakan tidak akan berhenti dengan adanya PLTU Batu Bara dan ekstraksi pasir di sana.”
Memang hilirisasi ini berkaitan dengan teknologi, tetapi, kata Zaki lagi, namun ketika berbicara teknologi, hal itu tidak bisa dipisahkan dari manusia dan dari lingkungan yang da di sekitarnya.
“Cerita dari warga, pabrik kaca belum dibangun tapi warga sudah kena kacanya, apalagi pabrik ini dibangun. Ketika pabrik ini dibangun kerusakan akan lebih besar,” tambahnya.
Pemerintah sedang mendorong kemitraan transisi energi berkeadilan. Namun dalam kasus Rempang, pihaknya tidak melihat keadilan dalam implementasinya.
Zaki menjelaskan bahwa Indonesia sedang melakukan perjanjian dengan Singapura untuk mengekspor sekitar dua Gigawatt listrik yang ada di Sekitar Kepulauan Riau dan Riau. Ketika singapura akan memanen listrik dari sana, sebenarnya Singapura akan berkontribusi pada kerusakan Pulau Rempang, karena pasokan PLTS berasal dari Xinyi yang berada di Rempang.
Terakhir, terkait dengan transparansi perusahaan, penelusuran Trend Asia bersama lembaga lain dalam Tim Advokasi Solidaritas Nasional untuk Rempang, memperlihatkan PT MEG memiliki struktur yang sangat tidak transparan.
Dari hasil penelitian yang akan segera diluncurkan tersebut, diketahui struktur perusahaan itu memiliki induk di British Virgin Island.
“Ketika perusahaan mendirikan induk di sana, artinya mereka memiliki beberapa motif. Pertama, ingin menghindari pajak, kedua dia ingin mengurangi pajak, dan ketiga dia ingin menyembunyikan siapa penerima manfaat sesungguhnya.”
“Sehingga dalam hal ini saya melihat tidak ada transparansi juga PT MEG ini mendapatkan konsesi yang sangat besar sekali, dan PT ini ini juga tidak memiliki struktur yang jelas terkait dengan orang yang selalu muncul di media mewakili perusahaan ini,” tutup Zaki.
Potensi Ulangan Kriminalisasi di Kasus Rempang
Divisi hukum KontraS, Vebrina Monicha, menuturkan selama masyarakat menolak PSN Rempang Eco City, potensi hadirnya kriminalisasi itu selalu ada.
KontraS dalam catatan Hari HAM, kata Vebrina, mencatat ada 224 pelanggaran HAM yang terjadi dalam sektor sumber daya alam (SDA) dan pembangunan pada 2023. Pelanggaran ini mewujud dalam tindakan okupasi lahan, pencemaran lingkungan, dan ancaman kriminalisasi.
“Rempang adalah satu dari banyak pembangunan yang akan meraup sumber daya alam kita. Yang KontraS lihat pelanggaran ini difasilitasi sendiri oleh negara. Diberikan jalan untuk melakukan pelanggaran tersebut di Indonesia, terutama di Rempang.”
Lebih jauh, Vebrina mengatakan apabila terjadi pelanggaran HAM, maka negara dan perusahaan yang terlibat harus memberikan proses remedi pada warga yang terdampak. Tapi sayangnya sampai detik ini pihaknya belum melihat proses remedi itu pada warga Rempang.
“Paling ada polisi yg melakukan trauma healing, hanya sebatas itu. negara masih nol besar melakukan tindakan remedi pada warga yang terdampak.”
Siara Pers Tim Solidaritas Nasional untuk Rempang
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Komisi Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Dompet Dhuafa, WALHI Jakarta, LBH Pekanbaru, BEM SI Kerakyatan, Trend Asia, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Perkumpulan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PP MAN) dan Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI), WALHI Nasional, WALHI Riau.