EDISI.CO, CATATAN EDISIAN– Artificial intelligence (AI) telah memberikan akses informasi tanpa batas dalam waktu singkat, sehingga memberikan kemudahan dalam hal pendidikan. Dengan adanya AI, mahasiswa dapat mengumpulkan berbagai informasi sekunder yang dibutuhkan untuk pengerjaan tugas dalam waktu lebih cepat daripada pencarian artikel manual.
Namun, AI juga dapat menimbulkan beberapa persoalan, seperti bocornya data pribadi, bias teknologi dalam penanganan mentalitas manusia, serta kurangnya tingkat keaslian karya apabila mahasiswa bergantung penuh terhadap AI dalam pengerjaan tugas.
Kondisi ini memerlukan penguatan etika untuk mencegah penyalahgunaan AI yang berakibat fatal bagi psikis maupun pertumbuhan intelektualitas mahasiswa. Penguatan etika ini sebaiknya tidak hanya menitikberatkan pada teknologi, tetapi juga mengasah moral akan pentingnya nilai humanisme dalam penggunaan teknologi.
AI dan kebocoran data
Mahasiswa pengguna AI rentan mengalami kebocoran data, karena mereka memiliki literasi yang berbeda-beda dalam melindungi data pribadinya. Mahasiswa yang mempunyai literasi dan kepedulian tinggi terhadap perlindungan data tentunya akan membaca lebih detail terkait data yang disebarkan dan dirahasiakan dalam platform AI tertentu.
Namun, mereka yang mempunyai literasi rendah akan rentan menjadi korban penyalahgunaan data oleh pihak yang tidak bertanggungjawab. Secara umum, Indonesia menduduki peringkat 3 terbesar dari kebocoran data dari seluruh negara di kawasan Asia Pasifik selama 2021 dan 2022.
AI sebagai konsultan kesehatan mental
Selain itu, banyak remaja usia sekolah ataupun mahasiswa yang menggunakan chatbot AI untuk memberikan solusi atas masalah psikologis yang sedang mereka hadapi.
Masalahnya, reliabilitas jawaban AI atas masalah psikologis masih dipertanyakan. Dalam penelitian kejiwaan, AI mengganti peran manusia (dehumanisasi) dalam memberikan konsultasi psikologi. Artinya, ada komponen manusiawi yang hilang yakni empati dan juga pengertian akan perasaan pasien. Ini menyebabkan adanya bias terhadap respon dari masalah psikologi manusia.
Data dari Global Online Safety Survey 2024 menunjukkan, ketergantungan yang tinggi akan AI membawa masalah keyakinan yang salah (false belief) serta mengganggu mental dan kondisi psikologi siswa seperti halusinasi (AI hallucination) dan kepribadian palsu (deepfakes).
AI kurangi keaslian karya
Ketergantungan yang tinggi terhadap AI juga dapat menurunkan keaslian karya karena tidak mendorong siswa untuk berpikir kritis terhadap suatu permasalahan. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Universitas Columbia di Amerika Serikat (AS), salah satu kemampuan manusia yang tidak bisa ditiru AI adalah empati manusia, kreativitas dan motivasi.
Di dalam pengajaran di kelas, tugas akhir berupa presentasi, pembuatan video observasi lapangan hingga pembuatan makalah, adalah salah satu capaian untuk mendorong motivasi, kemampuan berpikir kritis dan juga kreativitas mahasiswa. Pasalnya, presentasi kelompok dapat menumbuhkan nilai kerja sama, kreativitas dan juga kemampuan berpikir kritis.
Namun, dengan bergantung penuh terhadap AI, kemampuan berkolaborasi dan berpikir kritis mereka dapat berkurang. Bagaimanapun, AI memiliki keterbatasan dalam mendukung proses pembelajaran yang proporsional untuk melatih berpikir kritis. Pengguna bisa saja memerintahkan AI untuk menyusun dan membuat presentasi yang mereka inginkan, tetapi keaslian pemikiran dan kolaborasi mereka hanya sedikit.
Baca juga: Pos Angkutan Sekolah Dipakai jadi Posko Terpadu, Warga Rempang Protes
Hal yang sama juga terjadi dalam pembuatan makalah. Model pembelajaran ini diharapkan dapat melatih kemampuan riset, mengolah informasi dan juga kemampuan berpikir kritis (critical thinking). Namun, dengan adanya chatbot berbasis AI, mahasiswa dapat membuat makalah hanya dalam beberapa menit.
Cara menguatkan aspek etika dalam penggunaan AI
Dengan adanya berbagai risiko di atas, penguatan aspek etika dalam penggunaan AI menjadi substansial dalam pengajaran perguruan tinggi di Indonesia. Pertama, terkait dengan proteksi data, perguruan tinggi perlu melakukan edukasi dan penyadaran sedini mungkin untuk mencegah kebocoran data dari penggunaan AI.
Ini bisa dilakukan melalui pembuatan video, buku panduan, hingga kampanye lisan terkait perlindungan data pribadi di dunia digital. Di Jerman dan Afrika Selatan, contohnya, perguruan tinggi telah mewajibkan perlindungan data pribadi bagi para mahasiswanya apabila si pengajar menguji mereka dengan teknologi berbasis Ai.
Perguruan tinggi juga perlu menyadari bahwa robot mempunyai keterbatasan dalam mengatasi permasalahan mental para mahasiswanya. Dalam dunia kesehatan, masalah mental tetap memerlukan penanganan dari manusia (contoh: psikolog), karena ada isu empati dan emosi yang lebih optimal apabila ditangani oleh manusia.
Alih-alih memberikan diagnosis, AI dapat membantu mengerjakan tugas administratif seperti pencatatan medis pasien. Hal ini dapat membantu akurasi administrasi dan pencatatan rekam medis pasiennya.
Terkait keaslian karya, integritas akademis harus menjadi nilai utama. Setiap mahasiswa yang menggunakan AI untuk pengerjaan tugas perlu menyebutkan hal tersebut di dalam tugasnya (disclaimer). Selain itu, pengguna AI tetap perlu membaca dan mencantumkan referensi penulis artikel dari kalimat yang dikutip oleh AI. Sehingga, AI hanya menjadi alat bantu, bukan pelaku utama dalam mengerjakan tugas.
Albert Hasudungan, Dosen, Universitas Prasetiya Mulya
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.