CATATAN EDISIAN– Seorang pria memegang erat beberapa helai kertas yang tampak lusuh. Di atas kertas itu, tercatat rapi daftar nama-nama warga yang meninggalkan kampung halaman mereka di Pulau Rempang. Dalam daftar itu, tak semua warga yang pindah berasal dari lima kampung tahap awal pengembangan Rempang Eco-City. Beberapa di antaranya berasal dari Dapur Enam; Tanjung Banun; Sungai Buluh; dan beberapa pendatang.
“Kalau data yang sudah kami dapat seperti 22 kepala keluarga [KK] terima relokasi di Sungai Buluh, sudah pindah 14 KK ke hunian sementara. Dapur Enam, ada tiga KK yang terima dan sudah pindah,” kata Wadi sambil memegang kertas catatannya, Kamis, 25 Juli 2024.
Kertas-kertas itu juga mencatat dengan cermat, siapa saja di antara mereka yang memiliki rumah atau tanah dan siapa yang tak memiliki apa-apa.
“Kita nak adu [data] itu,” kata Wadi lantang.
Sebagai salah satu warga Rempang yang gigih menolak rencana penggusuran, Wadi menyuarakan kekhawatiran banyak warga. Mereka ingin kepastian bahwa data yang disampaikan oleh BP Batam benar adanya, terutama karena data yang dimiliki warga kerap bertentangan dengan klaim dari BP Batam.
Dalam rilis terakhir BP Batam, 14 Agustus 2024, mereka mencatat 166 KK telah menempati hunian sementara. Namun, dalam setiap rilis data kepindahan warga, BP Batam tak pernah merinci secara detail. Warga Rempang ingin data-data kepindahan tersebut diungkapkan secara rinci ke publik agar mereka juga mengetahuinya.
“Harusnya dari data yang dirilis, jangan masukkan yang bukan lima kampung tahap awal. Jadi masyarakat tidak berasumsi buruk ke BP Batam. Transparan lah,” kata Wadi.
Dari data yang mereka temukan juga, beberapa yang pindah merupakan pegawai negeri sipil (PNS), sehingga penting untuk membuka data terkait warga tersebut. Warga ingin jika data yang dikeluarkan bisa dipertanggungjawabkan.
***
Permintaan terkait keterbukaan data sebenarnya tak hanya datang dari warga Rempang. Ombudsman RI juga pernah meminta data warga yang bersedia pindah kepada BP Batam, tapi data tersebut tak kunjung mereka dapatkan.
“Sampai hari ini kami tidak diberikan data. Itu satu hal yang kami sudah lama minta,” ujar Anggota Ombudsman RI, Johanes Widijantoro, saat berkunjung ke Batam pada Rabu, 22 Mei 2024. Bahkan hingga 14 Agustus 2024 lalu saat kembali dikonfirmasi, data tersebut masih belum mereka terima.
Data tersebut rencananya akan digunakan Ombudsman untuk memverifikasi warga yang pindah berdasarkan nama dan alamat secara detail. Widijantoro menyesalkan kurangnya transparansi dari BP Batam.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Riau juga menemukan data yang berbeda terkait jumlah KK di Rempang. Dari data yang mereka temukan, terdapat 625 KK di lima kampung tahap awal. Sementara Ombudsman menemukan 855 KK dan BP Batam menyebutkan ada 900 KK.
Data WALHI Riau tersebut diidentifikasi sebelum pecahnya bentrokan di Jembatan IV Barelang, pada Kamis 7 September 2023. Mereka kemudian mengidentifikasi ulang nama satu persatu masyarakat asli yang mempunyai tanah dan rumah pada Mei hingga Juni 2024.
Baca juga: Ragam Aksi Peringati Setahun Tragedi Kemanusiaan Penggusuran Paksa Masyarakat Rempang
Hasilnya, kurang dari 21 persen atau sekitar 129 dari 625 KK, yang memutuskan untuk pindah. Dari 129 KK tersebut, WALHI Riau meminta agar dicek lebih lanjut siapa saja mereka. Dalam proses identifikasi, mereka menemukan hampir 50 persen dari 129 KK ternyata adalah ASN, pegawai BP Batam, dan karyawan PT Makmur Elok Graha (MEG).
“Sangat kecil masyarakat yang rela pindah, kecuali memiliki relasi dengan yang tiga tadi,” kata Direktur Eksekutif WALHI Riau, Boy Even Sembiring, pada 8 Juli 2024, saat meluncurkan kajian dengan judul “Kronik PSN Rempang Eco-City, Kontroversi Investasi Tiongkok, dan Resistensi Masyarakat Rempang.”
Dalam identifikasi KK, WALHI Riau hanya mencatat KK induk dan menolak pencatatan jika KK tersebut sudah dipecah. “Kami menolak pencatatan jika dalam satu KK hanya ada satu orang. Misalnya, jika ada ayah dan ibu, lalu anaknya membuat KK baru, kami tidak catat,” tegas Boy. Mereka juga mengabaikan KK yang tidak dikenal oleh warga atau merupakan KK baru.
Boy menegaskan kesediaannya untuk membuka data jika BP Batam bersedia melakukan hal yang sama. “Bukan hanya soal data, kami juga siap membuka identifikasi pribadi-pribadi yang kami punya,” katanya.
Boy juga mendesak BP Batam untuk mempublikasikan secara detail data warga yang diklaim bersedia pindah. Ia menekankan pentingnya klarifikasi apakah data tersebut berasal dari lima kampung tahap awal atau 16 kampung yang ada di Rempang.
“Mereka harus memperjelas, apakah data yang digunakan berasal dari lima kampung tua atau 16 kampung. Itu harus dipertegas,” tegas Boy.
Bangunan Tak Layak Huni Didaftarkan
Selain data yang simpang siur, warga menemukan kejanggalan lain yang menggiring pada keraguan. Di Sembulang Camping, Kelurahan Sembulang, Kecamatan Galang, terdapat dua bangunan yang kondisinya tak layak huni, namun didaftarkan ke BP Batam sebagai rumah.
Bangunan itu tampak usang. Lalang hijau tumbuh liar di halaman yang sepi. Hampir semua dindingnya dipenuhi lumut, sementara atapnya berkarat dan berlubang. Jendela-jendela tak berkaca, dan pintu yang mestinya ada, entah sejak kapan sudah tak terlihat. Warga sekitar mengenang bangunan ini sebagai bekas Taman Pendidikan Alquran (TPA), tempat anak-anak kampung dulu belajar mengaji. Namun, fungsinya hilang seiring waktu dan bangunan ini pun dibiarkan terlantar.
“Bangunan itu dulu tempat anak-anak belajar mengaji, tanahnya sudah diwakafkan,” ungkap Raimah, seorang warga setempat. Namun, ketika konflik Rempang mulai bergulir, surat wakaf tersebut diubah menjadi hibah oleh pemilik tanah, hanya untuk didaftarkan ke BP Batam sebagai aset yang bisa memperoleh ganti rugi.
“Mereka berambisi untuk mendapatkan kompensasi. Apakah benar bangunan yang tak layak ini bisa menerima ganti rugi? Itu yang kita pertanyakan,” ujar Raimah dengan nada prihatin. Kejanggalan ini hanya menambah kegelisahan di antara warga. Mereka khawatir bahwa bangunan tak layak huni seperti ini hanya akan meningkatkan data kepindahan warga, seolah-olah menambah jumlah mereka yang setuju dengan relokasi.
“Menambah jumlah data, berarti mengurangi jumlah penduduk yang menolak relokasi,” tegasnya.
Raimah juga menegaskan bahwa di kampungnya masih banyak warga asli yang memilih bertahan, sementara sebagian besar dari mereka yang menerima relokasi adalah pendatang yang hanya menumpang tinggal selama satu atau dua tahun dan tidak memiliki rumah sendiri.
Sekitar 500 meter dari bangunan tersebut, warga menemukan sebuah gubuk tempat penjagaan ikan budidaya yang juga didaftarkan. Gubuk berdinding triplek dan papan ini awalnya tidak digunakan sebagai tempat tinggal, hanya sebagai tempat berteduh bagi penjaga ikan. Namun, sebelum didaftarkan, gubuk itu diperbaiki agar layak disebut rumah—dilengkapi dengan kompor minyak tanah, peralatan dapur, dan beberapa baju lusuh untuk menambah kesan bahwa bangunan itu dihuni.
“Aneh juga, sampai malam-malam mereka kerja bikin rumah ini. Ternyata, dia mendaftar,” kata Umar, warga setempat, sambil menggelengkan kepala.
Desas-desus lain yang beredar di kalangan warga adalah rencana pendaftaran gubuk di tempat pembuangan sementara yang biasa digunakan untuk menyimpan drum-drum bekas. Tempat yang biasa tampak kumuh itu telah dibersihkan dan hampir diklaim sebagai rumah, namun rencana ini dibatalkan setelah diketahui warga.
“Warga melarang. Dia memang KTP sini, tapi bukan warga asli, dan tidak punya rumah,” kata Raimah.
Upaya konfirmasi kepada BP Batam, terkait temuan di lapangan ini tak pernah membuahkan hasil. Pesan-pesan singkat yang dikirim kepada Kepala Biro Humas Promosi dan Protokol BP Batam, Ariastuty Sirait, tak berbalas.
Bahaya Rumah Ganti Rugi Tak Beramdal
Pembangunan rumah ganti rugi warga terdampak Rempang Eco-City dinilai tak memiliki analisis dampak lingkungan (Amdal). Upaya konfirmasi terkait amdal rumah ganti rugi juga sudah dilayangkan ke Ariastuty Sirait. Namun, pesan tersebut juga tak kunjung berbalas.
Baca juga: Mengadu ke Leluhur, Gerak awal Warga Melayu Peringati Setahun Tragedi Rempang
BP Batam saat ini tengah membangun 100 rumah ganti rugi warga bersedia relokasi, yang ditargetkan selesai pada September 2024. Setiap rumah dibangun tipe 45 di atas lahan 500 meter persegi.
“Pengerjaan rumah ini kita gesa agar warga Rempang yang telah bergeser ke hunian sementara dapat segera menempatinya dan memulai hidup baru lebih baik di sana,” kata Ariastuty, dalam keterangan pers tertulis pada Sabtu, 24 Agustus 2024.
***
Rina Mardiana, Akademisi Institut Pertanian Bogor (IPB) yang juga tergabung di Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA), menilai Amdal merupakan suatu yang penting dalam pembangunan. Menurutnya sebelum terbitnya Undang Undang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) setiap kegiatan usaha diwajibkan untuk melakukan Amdal. Namun usai sahnya UU Cipta Kerja aturan tersebut diubah dengan klasterisasi, di mana hanya proyek dengan dampak yang sangat tinggi yang wajib melakukan Amdal.
“Dampak dari pabrik kaca ini sangat besar,” ungkap Rina Mardiana. Proses penggalian pasir sebagai bahan baku akan merusak ekosistem laut, seperti padang lamun dan terumbu karang, yang merupakan habitat penting bagi berbagai spesies laut. Sementara selama ini, laut menjadi sumber penghidupan bagi masyarakat nelayan di Rempang.
Di rumah ganti rugi yang sedang dibangun ini nantinya, lebih dari 900 keluarga yang akan tinggal di sana. Sebagian besar dari mereka menggantungkan hidup pada laut sebagai nelayan. Area tangkap yang terbatas dan akan terfokus pada satu area saja bisa memicu “tragedy of the commons” – di mana sumber daya alam yang terbatas harus diperebutkan oleh banyak pihak. “Ini adalah bencana yang tidak bisa dihindari jika proyek ini terus berjalan,” lanjut Rina.
Ketika ekosistem laut terganggu, dan akses ke laut menjadi terbatas, nelayan tidak hanya harus bersaing dengan sesama nelayan, tetapi juga menghadapi perubahan kondisi laut yang drastis. Dalam situasi seperti ini, konflik sosial bisa saja meledak, terutama jika tidak ada alternatif sumber penghidupan yang memadai.
Isu lain yang tak kalah penting adalah minimnya persiapan masyarakat lokal dalam menghadapi perubahan besar ini. Menurut Rina, belum ada rencana jelas untuk melibatkan masyarakat lokal dalam pengembangan ekonomi di sekitar proyek ini. “Apakah masyarakat Rempang sudah disiapkan untuk memenuhi kapasitas lapangan pekerjaan yang akan tersedia? Atau apakah mereka hanya akan menjadi penonton di tanah mereka sendiri?” tanyanya.
Keterampilan yang dibutuhkan untuk bekerja di pabrik kaca atau pelabuhan mungkin tidak dimiliki oleh masyarakat setempat, sehingga peluang kerja lebih banyak diambil oleh pendatang. Ini menimbulkan pertanyaan: siapa sebenarnya yang akan mendapatkan “kue ekonomi” dari proyek ini?
Selain itu, ada pula kekhawatiran mengenai transparansi dan proses konsultasi yang dilakukan selama perencanaan proyek ini. “Amdal bukan hanya sekadar formalitas atau sosialisasi belaka,” tegas Rina. “Konsultasi harus dilakukan secara bermakna, dengan melibatkan masyarakat secara aktif dalam proses pengambilan keputusan.”
Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa mekanisme penanganan keluhan sering kali diwarnai dengan tekanan dan intimidasi. Ini menimbulkan ketidakpercayaan di kalangan masyarakat, yang merasa bahwa suara mereka tidak didengar.
Di tengah semua ini, Rempang kini berada di ambang perubahan besar. Pembangunan pabrik kaca dan pelabuhan yang seharusnya membawa kemajuan, justru menyisakan banyak tanda tanya dan kekhawatiran. Jika tidak ada upaya yang serius untuk memastikan bahwa proyek ini berjalan dengan mempertimbangkan aspek lingkungan, sosial, dan ekonomi secara holistik, maka masa depan Rempang bisa menjadi suram.
“Jika kita tidak berhati-hati, kita tidak hanya akan kehilangan keanekaragaman hayati dan ekosistem laut yang berharga, tetapi juga akan menghadapi krisis sosial yang berkepanjangan. Rempang harus dilindungi, dan suara masyarakatnya harus didengar,” kata Rina.
Penulis: Muhammad Ishlahuddin
Editor: Bobi