EDISI.CO, BATAM– Tanggal 7 dan 11 September 2023 silam, masih meninggalakan luka mendalam bagi warga Rempang. Pada dua tanggal yang sama setahun lalu, warga menjadi korban refresif aparat, saat mempertahankan tanah leluhur mereka dari Proyek Strategis Nasional (PSN) Rempang Eco City.
Meski sudah berlalu setahun, ketidakadilan yang mereka alami belum terselesaikan, dan perjuangan warga masih terus berlanjut.
Dewan Penasihat Pusat Studi Agraria Institut Pertanian Bogor University, Rina Mardiana, menyebut, penolakan warga Rempang terhadap proyek ini bukan tanpa alasan. Ada sejumlah faktor yang membuat warga menolak proyek Rempang Eco City, yang mengancam tidak hanya keberadaan tanah mereka, tetapi juga penghidupan dan hak-hak asasi mereka.
“Bagi masyarakat adat Melayu di Pulau Rempang, tanah bukan hanya tempat tinggal, tetapi juga bagian dari identitas budaya mereka yang diwariskan turun-temurun,” kata Rina, Kamis, 12 September 2024.
Relokasi paksa yang diusulkan oleh proyek ini akan memutus hubungan warga dengan tanah leluhur yang selama ini menjadi bagian dari warisan budaya mereka.
Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Zenzi Suhadi, juga menyoroti pentingnya hubungan spiritual masyarakat Melayu dengan tanah kelahiran mereka. “Bagi masyarakat Melayu, tanah air adalah tempat tali pusar mereka dikuburkan. Ini bukan hanya soal tempat tinggal, tetapi panggilan spiritual,” jelas Zenzi.
Menurutnya, masyarakat Melayu Pulau Rempang mewarisi semangat perlawanan dari leluhur mereka, yang menolak tunduk kepada penjajah. Karena itu, ketika pemerintah memaksa mereka meninggalkan tanah kelahiran, penolakan adalah sikap yang alami.
Zenzi juga mengkritik pengembangan Pulau Batam sebagai kawasan pelabuhan bebas sejak 1978, yang kemudian diperluas hingga ke Rempang dan Galang pada 1993. Ia menilai, kawasan pelabuhan bebas tersebut lebih menguntungkan negara tetangga, Singapura, terutama melalui praktik penyelundupan yang merugikan perekonomian Indonesia.
Zenzi menegaskan bahwa pemerintah harus mengambil tindakan korektif dengan membatalkan PSN Rempang Eco City, serta mempertimbangkan pembubaran Otorita Batam (Badan Pengusahaan Batam) demi mengembalikan pengelolaan wilayah tersebut ke tangan pemerintah daerah.
Baca juga: Ragam Aksi Peringati Setahun Tragedi Kemanusiaan Penggusuran Paksa Masyarakat Rempang
Sementara itu, Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur, menilai, perjuangan warga Rempang bukan sekadar mempertahankan tanah, tetapi juga menegakkan prinsip dasar negara Indonesia. Menurutnya, negara seharusnya melindungi warganya dengan menjamin hak dasar seperti tempat tinggal yang layak dan lingkungan yang sehat. Namun, proyek PSN Rempang Eco City justru mencerminkan pelanggaran terhadap prinsip-prinsip tersebut.
“Ketika masyarakat Rempang berjuang, mereka juga menjaga prinsip dasar negara ini. Mereka adalah penjaga konstitusi, sementara pemerintah justru membuat hukum yang membuka jalan menuju otoritarianisme,” kata Isnur.
Alasan lain warga memilih bertahan, karena sebagian besar warga Rempang menggantungkan hidup dari sumber daya alam, terutama laut dan pertanian.
Pembangunan pabrik kaca serta fasilitas industri di kawasan Rempang Eco City mengancam keberlanjutan ekosistem laut dan lahan pertanian produktif. “Ini secara langsung berdampak pada penurunan pendapatan dan kesejahteraan ekonomi warga,” kata Rina.
Minimnya Transparansi
Warga juga mengkritik minimnya transparansi pemerintah dalam proses pelaksanaan proyek ini. Mereka tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan, serta dokumen penting seperti Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) tidak dibuka secara publik. Hal ini menimbulkan ketidakpercayaan terhadap pemerintah.
Menurut laporan Ombudsman RI, proyek ini juga memunculkan sejumlah pelanggaran hak asasi manusia, termasuk relokasi paksa dan maladministrasi dalam pengadaan tanah.
“Jika proyek ini terus berlanjut tanpa mempertimbangkan dampak ekologis, akan terjadi gangguan pasokan pangan yang berpotensi menimbulkan krisis pangan local,” kata Rina.
Dalam konteks PSN Rempang Eco City, konsep land grabbing dan green grabbing sangat relevan untuk memahami dinamika pengambilalihan tanah yang terjadi. Land grabbing merujuk pada pengambilalihan lahan oleh pemerintah atau korporasi besar tanpa persetujuan masyarakat lokal.
“Dalam kasus Rempang, tanah-tanah adat diambil alih tanpa melalui konsultasi yang memadai dengan masyarakat yang tinggal di sana selama berabad-abad,” kata dia.
Baca juga: Warga Rempang Peringati Setahun Bentrokan di BP Batam
Selain itu, green grabbing, yaitu pengambilalihan tanah atas nama proyek lingkungan atau pembangunan hijau, juga tampak dalam proyek ini. Pembangunan pabrik kaca dan proyek energi surya di Rempang Eco City sering diklaim sebagai bagian dari agenda pembangunan berkelanjutan. Namun, meskipun menggunakan narasi pelestarian lingkungan, proyek ini justru mengancam ekosistem lokal dan sumber daya alam yang menjadi sandaran hidup masyarakat.
“Dampak kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh proyek industri besar ini akan langsung dirasakan oleh warga yang hidup dari laut dan lahan pertanian,”
kata dia.
Sistem Nafkah Berkelanjutan
Penolakan warga Rempang dapat dipahami lebih luas merujuk pada konsep sistem nafkah berkelanjutan. De Haan (2000) dalam “Globalization, Localization, and Sustainable Livelihood,” menunjukkan penghidupan masyarakat lokal sangat bergantung pada akses mereka terhadap sumber daya alam. Hilangnya tanah dan laut sebagai sumber penghidupan utama berarti meningkatkan kerentanan sosial dan ekonomi mereka.
Konsep sistem nafkah berkelanjutan menyoroti bahwa keberlanjutan penghidupan masyarakat ditentukan oleh akses terhadap lima modal vital, yakni modal alam, modal manusia, modal sosial, modal fisik, dan modal keuangan. Proyek besar seperti Rempang Eco City yang menggusur lahan tanpa memperhitungkan dampak terhadap penghidupan warga lokal berisiko memperburuk kondisi ketidakadilan sosial dan ekonomi.
Rina menegaskan, evaluasi menyeluruh harus dilakukan untuk memastikan bahwa pembangunan di Pulau Rempang berjalan dengan adil. Pemerintah harus menghormati hak asasi manusia, menjaga keseimbangan ekologis, serta menempatkan kesejahteraan rakyat sebagai prioritas.
Tragedi Rempang mencerminkan dinamika ketidakadilan dalam pembangunan. Relokasi paksa bukanlah solusi, dan pembangunan yang sejati harus didasarkan pada dialog, musyawarah, dan penghormatan terhadap hak-hak masyarakat. Proyek seperti PSN Rempang Eco City harus dievaluasi secara kritis agar tidak menimbulkan dampak negatif terhadap kehidupan masyarakat lokal dan lingkungan.
“Perjuangan warga Rempang adalah cermin dari perlawanan terhadap ketidakadilan, dan perjuangan ini adalah perjuangan kita semua untuk mewujudkan pembangunan inklusif yang berkeadilan bagi semua pihak,” kata dia.