Sudah setahun sejak peristiwa berdarah di Rempang, Kepulauan Riau, ketika ribuan aparat gabungan masuk ke kampung adat dan melakukan kekerasan secara brutal kepada masyarakat yang menolak relokasi proyek eco-city Rempang, intimidasi terhadap masyarakat masih terus terjadi. Terakhir, belasan orang berpakaian preman mengintimidasi dan melakukan pemukulan terhadap warga.
EDISI.CO, NASIONAL– Trend Asia (TA) dan Transparency International Indonesia (TII) membuat publikasi terkait aktor di balik proyek eco city di Pulau Rempang. Proyek Strategis Nasional (PSN) Rempang Eco City yang sangat kental dengan pelanggaran HAM ini, juga mereka dapati dugaan korupsi, hingga upaya penyembunyian perusahaan di negara suaka pajak.
Manager Riset dan Investigasi Trend Asia, Zakki Amali, dalam keterangannya menuturkan berdasarkan temuan riset Trend Asia dan TII, Tomy Winata, bos Artha Graha group, diduga menjadi dalang dalam konflik yang terjadi di Pulau Rempang. Tomy Winata merupakan pengusaha yang dikenal kerap berkongsi dengan militer dalam berbagai usahanya.
PT Makmur Elok Graha (MEG) terafiliasi dengan Artha Graha Group, dan kemudian bekerja sama dengan Xinyi International Investment Limited untuk mengembangkan bisnis kaca panel surya. Pemilik saham PT MEG adalah Grideye Resources Limited, sebuah perusahaan yang berdiri pada 9 Mei 2013 dan terdaftar di British Virgin Island, sebuah negara suaka pajak di Karibia.
Dalam keterangan terkait riset berjudul Bayang-Bayang JETP dalam Konflik Rantai Pasok Energi Hijau Pulau Rempang
ini, dijelaskan bahwa Grideye Resources Limited memiliki anak perusahaan Banyan Solution Enterprise Pte Limited yang berbasis di Singapura. Dalam kaitannya dengan Rempang, Banyan memiliki 40 persen saham di PT Wisesa Makmur Raya, dan PT Wisesa Makmur Raya inilah yang memiliki 75 persen saham di PT MEG dan 25 persen sisanya milik PT Inti Bahana Indah Semesta.
“Keduanya terafiliasi dengan Artha Graha Group,” ujar Zakki Amali.
Baca juga: Tim Advokasi: Hentikan Intimidasi terhadap Masyarakat Rempang
Zakki menjelaskan bahwa Sekretaris Banyan Solution Enterprise, Lok Teng Teng Dorothy, merupakan salah satu nama yang pernah tersebut dalam skandal Offshore Leaks dari International Consortium of Investigative Journalist (ICIJ). Ia berperan sebagai direktur dan pemegang saham sejumlah perusahaan berbasis di Singapura dan British Virgin Island (BVI).
Lebih lanjut, dalam keterangannya itu, Zakki memaparkan pertalian antara proyek di Pulau Rempang dengan negara suaka pajak tidak hanya melalui Banyan Solution Enterprise. Dalam struktur perusahaan PT MEG yang diakses pada 23 Juli 2024, pihaknya menemukan adanya karyawan bernama Michael Wilson yang menjabat sebagai Head of Business Development and Strategic Partnership, tapi pada September 2024, nama ini hilang.
“Dalam data Grideye Resources Ltd yang diakses 2023 melalui Financial Service Commission British Virgin Islands, terdapat nama Direktur Individu tunggal bernama Michael Wilson. Kami menduga mereka adalah orang yang sama,” tutur Zakki Amali.
Kontradiksi
Peneliti Transparency International Indonesia, Bagus Pradana, dalam keterangan ini mengatakan dengan berbagai macam permasalahan yang ada dalam rencana investasi di Pulau Rempang, pihaknya melihat adanya kontradiksi. Rencana pendirian pabrik kaca oleh Xinyi Group di Pulau Rempang, dianggap sebagai salah satu solusi untuk memperkuat rantai pasok energi terbarukan dalam kerangka Just Energy Transition Partnership (JETP), tapi investasi itu jauh dari prinsip berkeadilan yang seharusnya menjadi prinsip utama JETP.
Keberadaan Xinyi termasuk salah satu rencana pemerintah untuk menggenjot investasi rantai pasok energi terbarukan dengan memproduksi kaca untuk panel surya. Dengan demikian, ekosistem rantai pasok di Indonesia akan terbentuk di Batam, di mana ada rencana pembangunan PLTS. Bahkan bauran energi terbarukan di Batam ditargetkan mencapai 35 persen pada tahun 2032.
Dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) Batam 2023-2032, terdapat usulan pembangunan PLTS sebesar 126 MW atau 14,6 persen dari 860 MW total kapasitas tambahan yang diusulkan dalam 10 tahun. Proyek penyediaan listrik yang tersebar di Kepulauan Riau (Kepri) itu tidak hanya untuk kebutuhan lokal, tetapi juga ekspor listrik ke Singapura sebagai implementasi ASEAN Power Grid (APG) yang diperkirakan terjadi tahun 2027.
Baca juga: Komnas HAM Sikapi Eskalasi Konflik Masyarakat di Pulau Rempang
“Di sini kita melihat bahwa proyek energi hijau yang berkaitan dengan Pulau Rempang bukanlah proyek yang memenuhi prinsip berkeadilan dalam JETP karena banyak melanggar hak-hak warga. Yang diketahui masyarakat Rempang, pembangunan eco-city untuk pariwisata, tapi ternyata ada pembangunan industri di dalamnya.”
Dalam transisi energi, lanjut Bagus, seharusnya tidak hanya melihat model teknologi baru yang digunakan, tapi dalam prosesnya, penyediaan energi harus berkeadilan bagi lingkungan dan juga bagi masyarakat sekitar. Apalagi proyek Rempang juga masih memiliki skandal dugaan korupsi yang mengakibatkan kerugian negara senilai Rp3,6 triliun.
“Alih-alih mengusut kasus korupsi tersebut, pemerintah malah menetapkan proyek di Pulau Rempang sebagai Proyek Strategis Nasional,” tambah Bagus.
Dampak PSN Rempang bagi Masyarakat dan Lingkungan
Proyek Pulau Rempang membawa mimpi buruk bagi warga. Masih teringat dalam memori Rusiana (31) bagaimana Ia melihat neneknya dipukul aparat hingga mengalami patah tulang di tangan pada 18 September 2024. Padahal kala itu, neneknya hanya berniat melerai, tapi preman PT MEG malah memukul neneknya.
Saat itu, kata daia, para perempuan menemui tim PT MEG yang datang ke kampung mereka. Enam perempuan termasuk ia, menemui pihak PT MEG. Namun mereka malah mendapatkan intimidasi verbal lewat kata-kasar kasar dan bentakan.
“Mereka bilang, ‘jangan merekam’ dengan kata kasar. Padahal kami sudah sopan bertanya.”
Di situ, lanjutnya, salah satu pegawai PT MEG mereka dapati membawa pisau. Pihaknya kemudian melapor pada polisi yang ada di lokasi, untuk mengamankan senjata tajam tersebut. Namun pihak PT MEG mengatakan pisau tersebut untuk mereka bercocok tanam.
“Coba misalnya yang membawa pisau itu warga dan memang untuk bercocok tanam, mungkin kami sudah dikriminalisasi.”
Cerita serupa juga disampaikan oleh Sukri (41) warga Rempang. Sukri yang kala itu datang untuk melerai pertengkaran malah mendapat pukulan dari preman. Sukri juga menceritakan bahwa Ia menyaksikan warga Remapang termasuk ibu-ibu dan orangtua dipukul oleh para preman kala itu.
Padahal, kata Sukri, ia dan warga Pulau Rempang sangat rindu hidup damai dan tentram, tanpa ada ancaman sama sekali, dan tidak saling berkelahi seperti tahun-tahun sebelumnya. Saat ini mereka di Rempang ini hidup dari nelayan dan bertani, kami tidak tenang dalam bekerja karena konflik yang terjadi.
“Setiap bekerja, kami selalu takut kalau sesuatu terjadi.”
Trauma kolektif di Pulau Rempang pun masih dirasakan oleh anak-anak. Kemunculan banyak pos-pos keamanan di Pulau Rempang menjadikan anak-anak menjadi tidak nyaman dan takut.
Wira Ananda, Tim Advokasi Solidaritas Nasional untuk Rempang dari YLBHI-LBH Pekanbaru, dalam keterangan tersebut menuturkan ketika membahas transisi energi, pemerintah seringkali hanya menggantikan batubara dengan sumber energi lainnya. Padahal ada yang namanya prinsip berkeadilan yang justru harus didahulukan.
Ketika melakukan pembangunan, pemerintah menggunakan narasi investasi, yang prosesnya harus melalui tindak kekerasan terhadap warga, intimidasi, dan menanamkan trauma psikologis dalam meneror warga. Warga dianggap menolak pembangunan.
“Padahal mereka tidak menolak investasi, mereka menolak kampungnya digusur dan dipindahkan, karena itu akan menghilangkan nilai-nilai adat warga.”
Baca juga: Solidaritas Warga Rempang untuk Petani di Peringatan Hari Tani Nasional 2024
Even Sembiring, Direktur Eksekutif Daerah WALHI Riau yang juga mask dalam Tim Advokasi Nasional untuk Rempang, menyampaikan persoalan yang terjadi di Pulau Rempang merupakan desain dari negara untuk menggusur rakyatnya. Mulai dari rencana menjadikannya tempat wisata, yang diduga tidak sesuai dengan budaya-budaya warga, lalu sekarang diubah menjadi industri kaca.
“Riset ini memperkuat bukti bahwa negara mengakomodir kepentingan swasta karena proyek Rempang ini tadinya merupakan proyek swasta, tapi kini menjadi Proyek Strategis Nasional,” tutur Even.
Tim Advokasi Solidaritas Nasional untuk Rempang lainnya, Deta Arta Sari dari Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI) mengatakan pihaknya mencatat pada tahun 2023 ada ratusan PSN yang dijalankan rezim Jokowi, dan 31 di antaranya berada di Pulau Sumatera dengan nilai investasi mencapai lebih dari Rp800 ribu triliun.
Tapi prosesnya selalu memperlihatkan pola yang sama pada proyek PSN, yakni pengamanan berlebihan. Warga yang menolak proyek tersebut dianggap sebagai musuh negara, lalu mengerahkan aparat berlebihan, termasuk pengerahan TNI.
“Proyek Rempang merupakan salah satu di antaranya banyaknya kasus state capture yakni bagaimana kepentingan swasta atau pengusaha kemudian menjadi kepentingan negara.”
Siaran Pers Bersama
Trend Asia- Transparency International Indonesia- WALHI- YLBH-IPBHI-WALHIRiau-LBH Pekanbaru-KIARA-KontraS-PPMAN