EDISI.CO, CATATAN EDISIAN- Insiden polisi tembak polisi yang terjadi baru-baru ini di Solok Selatan, Sumatra Barat, telah menambah deret panjang tindakan kekerasan dan tindakan kesewenang-wenangan aparat penegak hukum. Peristiwa ini tidak hanya menjadi tragedi bagi para pihak dan keluarga korban, tetapi juga semakin memperburuk citra kepolisian di mata masyarakat.
Sebelumnya, penembakan antaranggota juga pernah terjadi di Polres Lombok Timur. Anggota polisi inisial MN menembak rekannya dengan menggunakan senjata laras panjang jenis V2. Motif penembakan diduga terkait asmara dan cemburu karena korban yang sesama polisi diduga memiliki hubungan gelap dengan istri pelaku.
Kedua peristiwa tersebut mengingatkan kita pada kasus Ferdy Sambo, mantan petinggi Polri, yang terjadi pada tahun 2022. Kala itu, kasus ini sangat menyita perhatian publik.
Sambo, yang saat kejadian masih berstatus perwira tinggi, menembak anggota Polri lainnya yang menjadi bawahannya, lalu memanfaatkan jabatannya untuk menutupi kejahatan yang dilakukannya. Ini bukan sekadar tindak pidana pembunuhan antaranggota, tetapi juga membongkar adanya budaya kekuasaan yang tidak sehat dalam institusi kepolisian.
Ketika aparat yang seharusnya menjadi pelindung justru terlibat dalam aksi kekerasan brutal antarsesama anggota, masyarakat pasti mempertanyakan kualitas dan kredibilitas kepolisian, yang berujung pada menurunnya tingkat kepercayaan publik pada polisi. Tubuh institusi penegak hukum kini terlihat sangat rapuh, terutama ketika tidak ada mekanisme yang memadai untuk meredam konflik.
Peristiwa seperti yang dipaparkan di atas tidak muncul secara tiba-tiba. Ada banyak faktor yang berkelindan, mulai dari tekanan kerja yang tinggi, lemahnya pengelolaan konflik internal, hingga faktor hierarkis dan penyalahgunaan wewenang.
Besarnya tekanan psikologis
Tugas kepolisian seringkali melibatkan risiko fisik, tekanan mental, dan tanggung jawab besar, yang bila tidak dikelola dengan baik dapat memicu burnout syndrome. Sindrom ini dapat menjadi bom waktu.
Tekanan kerja yang tinggi, seperti yang terjadi pada banyak anggota kepolisian, menciptakan stres berkepanjangan. Ini akan berdampak sangat buruk jika tidak ada pengelolaan yang baik di internal lembaga. Ini menggambarkan betapa kompleksnya hubungan kerja di lingkungan kepolisian.
Sebuah kajian sistematik review mengungkap bahwa ketahanan mental dan psikis polisi sebenarnya berada di atas rata-rata warga sipil lainnya. Namun seiring waktu, akibat paparan dari tekanan yang semakin besar, maka tekanan tersebut berubah menjadi trauma yang dapat mengganggu kesehatan mental polisi.
Ketika hal ini tidak diimbangi dengan dukungan sosial dan psikologis yang memadai dari institusi, emosi negatif dapat dengan mudah memuncak, mengaburkan rasionalitas, dan memicu perilaku destruktif para anggotanya.
Institusi yang hierarkis
Institusi kepolisian yang bersifat hierarkis juga berkontribusi menyuburkan budaya kekerasan.
Dalam lingkungan kerja yang penuh tekanan, persaingan antaranggota dapat menjadi pemantik konflik. Dominasi dan upaya mempertahankan posisi atau kewenangan sering kali menimbulkan ketegangan yang sulit diatasi.
Tanpa mekanisme resolusi konflik yang efektif, perselisihan kecil bisa berkembang menjadi persoalan serius yang memicu tindakan kekerasan.
Di sisi lain, korupsi dan intrik internal juga kerap memperkeruh situasi. Institusi yang tidak transparan cenderung membuka ruang bagi persaingan tidak sehat, baik dalam hal kekuasaan maupun pembagian keuntungan finansial.
Ketika kepentingan pribadi atau kelompok mendominasi, hubungan antaranggota menjadi rawan konflik , menciptakan lingkungan kerja yang tidak sehat.
Bersenjata tanpa kendali emosi
Sebagai bagian dari tugasnya, polisi bisa dilengkapi dengan senjata api. Sesuai dengan Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 Pasal 48 huruf b, penggunaan senjata api oleh polisi hanya digunakan saat keadaan adanya ancaman terhadap jiwa manusia. Selain itu, setiap anggota Polri wajib bertanggung jawab atas pelaksanaan penggunaan kekuatan (senjata api) dalam tindakan kepolisian yang dilakukannya.
Sayangnya, penggunaannya sering kali tidak diimbangi dengan pelatihan pengendalian emosi dan etika penggunaan senjata yang ketat. Akibatnya, senjata yang seharusnya menjadi alat perlindungan berubah menjadi alat yang mengancam nyawa sesama anggota Polri maupun masyarakat sipil lainnya.
Pembenahan internal
Melihat kompleksitas faktor-faktor ini, upaya pencegahan memerlukan pembenahan internal melalui pendekatan holistik. Salah satu langkah penting adalah penguatan dukungan kesehatan mental bagi anggota kepolisian.
Pemeriksaan psikologis rutin, konseling, dan pelatihan manajemen stres dapat membantu anggota kepolisian mengelola tekanan kerja. Institusi juga harus menyediakan ruang aman bagi personel untuk mengungkapkan masalah mereka tanpa rasa takut atau stigma.
Pengawasan internal dan eksternal terhadap perilaku personel juga harus ditingkatkan, khususnya oleh Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) serta Inspektorat Pengawasan Umum (Itwasum) Polri, hingga Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas).
Sistem yang akuntabel dan transparan dapat meminimalkan potensi konflik. Membentuk unit independen yang menangani laporan pelanggaran, termasuk konflik antaranggota, menjadi langkah penting untuk mencegah eskalasi masalah.
Di saat yang sama, pelatihan manajemen konflik yang aplikatif harus diberikan secara berkelanjutan. Pelatihan ini dapat membantu personel mengembangkan kemampuan negosiasi dan pengendalian emosi dalam situasi sulit.
Kontrol yang lebih ketat terhadap penggunaan senjata api juga diperlukan. Evaluasi berkala terhadap kepemilikan senjata, aturan membawa senjata di luar tugas resmi, serta pelatihan ulang terkait penggunaannya dapat mengurangi risiko penyalahgunaan. Contohnya seperti yang dilakukan di Korea Selatan dan Cina.
Reformasi internal Polri secara umum harus diarahkan untuk membangun budaya kerja yang lebih sehat. Penegakan hukum terhadap pelanggaran internal, transparansi dalam pengelolaan organisasi, dan penanaman nilai-nilai etika akan dapat menciptakan lingkungan kerja yang lebih kondusif.
Lebih dekat dengan masyarakat dapat mengurangi stress
Upaya pencegahan tidak hanya harus berorientasi pada pembenahan internal, tetapi juga pada pendekatan berbasis komunitas. Polisi yang lebih dekat dengan masyarakat cenderung memiliki tingkat stres dan agresi yang lebih rendah.
Melibatkan polisi dalam kegiatan sosial bersama masyarakat dapat membangun empati dan mengurangi tekanan kerja.
Suatu studi menyebutkan bahwa penyebab jebloknya citra polisi adalah akibat banyaknya pengalaman buruk masyarakat saat berinteraksi dengan polisi. Ini terutama akibat penggunaan kekuatan oleh polisi yang berlebihan yang berdampak secara jangka panjang terhadap persepsi publik dan hubungan polisi-masyarakat.
Dengan demikian, polisi perlu terus menerus dibekali kemampuan adaptasi dan fleksibilitas dalam menghadapi tekanan dan ekspektasi masyarakat yang demikian tinggi.
Urgensi reformasi menyeluruh
Institusi kepolisian sejatinya tengah menghadapi tantangan sistemik yang memerlukan reformasi menyeluruh.
Langkah-langkah pencegahan harus dilakukan, tidak hanya untuk mencegah kekerasan antaranggota polisi atau antara polisi dengan masyarakat, tetapi juga untuk memperbaiki marwah kepolisian dalam jangka panjang.
Dengan upaya yang serius dan berkelanjutan, kita berharap polisi bisa menjadi simbol keamanan dan kepercayaan, bukan justru menjadi ancaman di masyarakat.
Penulis: Yanu Endar Prasetyo, Researcher at Research Center for Population – BRIN, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.