EDISI.CO, CATATAN EDISIAN– 20 tahun sudah Aceh pulih dari tsunami yang menimbulkan duka mendalam bagi Indonesia, khususnya para penyintas. Dalam periode yang berdekatan, Aceh juga berusaha bangkit setelah didera konflik antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan pemerintah selama puluhan tahun.
The Conversation Indonesia bersama akademisi menerbitkan edisi khusus 20 Tahun Pemulihan Aceh selama Desember 2024. Edisi ini sekaligus menjadi upaya merawat ingatan bersama, sekaligus memantik refleksi kita atas langkah pemulihan dan perdamaian di negeri Serambi Makkah.
Qanun (peraturan daerah) tentang Bahasa Aceh resmi ditetapkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Aceh pada Desember 2022. Penetapan Qanun Nomor 10 Tahun 2022 tersebut menegaskan kembali komitmen Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) untuk menjaga perdamaian di Aceh sesuai amanat Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki tahun 2005.
Penetapan Qanun tersebut menimbulkan pertanyaan penting, seberapa besar peran bahasa dalam membangun perdamaian di wilayah pascakonflik?
Konflik Aceh yang berlangsung hampir tiga dekade sebenarnya tidak berkaitan langsung dengan persoalan bahasa. Ketidakpuasan terhadap pemerintah pusat akibat ketimpangan ekonomi dan eksploitasi sumber daya alam menjadi faktor utama pecahnya konflik.
Namun, bahasa tetap memengaruhi eskalasi konflik. Sebab, bahasa dapat digunakan untuk memobilisasi masyarakat, menciptakan narasi-narasi permusuhan, hingga membangun dinding pemisah. Bahasa juga dapat menjadi alat propaganda untuk menegaskan identitas kelompok dan mendefinisikan siapa kawan dan siapa lawan.
Meski demikian, bahasa—sebagai elemen penting dalam budaya —juga bisa mendukung resolusi konflik. Pasalnya, bahasa, terutama bahasa lokal, dapat mengurangi hambatan psikologis dan membangun kepercayaan ketika terjadi konflik. Bahasa juga bisa menjadi simbol empati dan penghargaan terhadap identitas budaya setempat sehingga dapat memupuk nasionalisme.
Bahasa dan konflik Aceh
Semasa Orde Baru, pemerintah pusat mendorong kebijakan nasionalisme yang mengedepankan bahasa Indonesia sebagai bahasa utama, bahkan di daerah-daerah yang memiliki budaya dan bahasa lokal yang kuat seperti Aceh.
Pada masa konflik, penggunaan bahasa Aceh dianggap sangat berisiko, terutama di wilayah-wilayah yang dianggap sebagai basis atau simpatisan GAM. Penggunaan bahasa tersebut dapat dijadikan alasan untuk menuding seseorang sebagai anggota atau pendukung GAM—berujung pada pemeriksaan, intimidasi, atau bahkan penangkapan. Dalam kasus tertentu, TNI juga merekrut penerjemah bahasa Aceh di lapangan yang juga dijadikan anggota tempur dalam operasi penyergapan GAM.
Selama konflik, mereka yang memberontak menyebut diri mereka sebagai GAM (Gerakan Aceh Merdeka) atau AGAM (Angkatan Gerakan Aceh Merdeka) untuk para kombatan yang bergabung dengan mereka. Dalam Bahasa Aceh, kata ‘gam’ merupakan versi singkat dari ‘agam’—sebutan kata benda yang berarti ‘laki-laki’. Akibatnya, TNI menganggap semua ‘laki-laki’ seolah-olah adalah GAM, atau pendukung separatisme.
GAM, di sisi lain, juga menggunakan bahasa Aceh sebagai alat untuk membangkitkan semangat perjuangan pada masa konflik. Kaset-kaset dengan lagu-lagu dan lirik-lirik dalam bahasa lokal yang menyuarakan perjuangan, diputar oleh basis masa pendukung atau simpatisan perjuangan GAM di desa-desa dan daerah pedalaman, menyebabkan pemerintah kewalahan menghentikannya. Ini menunjukkan pengaruh signifikan bahasa dalam konteks mobilisasi sosial dan politik.
Bahasa dan resolusi konflik
Tsunami 2004 yang menyebabkan kerusakan infrastruktur parah dan menelan korban hingga ratus ribuan jiwa, mendorong penandatanganan MoU Helsinki pada tahun 2005. Kesepakatan ini kemudian menandai berakhirnya konflik antara GAM dan pemerintah Indonesia.
Peran bahasa, terutama bahasa lokal, dalam mendorong penyelesaian konflik ini cukup signifikan karena alasan-alasan berikut:
Baca juga: Warga Minta Komisi VI DPR RI Datang ke Rempang
1. Bahasa lokal mengurangi hambatan psikologis dan membangun kepercayaan
Hamid Awaluddin, mantan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia sekaligus salah satu negosiator dari pihak Pemerintah Indonesia, pada waktu itu membacakan pantun dalam bahasa Aceh “pat ujeun yang hana pirang, pat prang yang hana reuda,” yang diterjemahkan menjadi “adakah hujan yang tidak akan berhenti? Adakah perang yang tidak bisa diakhiri?”. Meskipun diucapkan dalam Bahasa Aceh yang tidak begitu fasih, upaya Hamid direspons positif oleh Wali Nanggroe dan perwakilan Aceh lainnya.
Dalam situasi tersebut, bahasa menjadi instrumen penting yang mempunyai kekuatan unik dalam proses perundingan perdamaian. Dengan menggunakan bahasa lokal, Hamid Awaluddin berhasil menciptakan suasana komunikasi yang lebih akrab, yang membantu mengurangi ketegangan serta meningkatkan rasa saling percaya antara pihak-pihak yang terlibat.
Pendekatan ini memperlihatkan bahwa bahasa lokal tidak hanya berfungsi sebagai alat komunikasi teknis, tetapi juga sebagai simbol empati dan penghargaan terhadap identitas budaya setempat. Ini memungkinkan pihak-pihak yang berkonflik untuk merasa lebih dihargai dan diakui, sehingga membuka jalan untuk dialog yang lebih konstruktif dan inklusif. Pada akhirnya, terciptalah semacam ‘emosi bersama’ yang positif.
2. Pengakuan terhadap bahasa lokal memperkuat rasa nasionalisme
Dalam beberapa kasus, misalnya pelarangan penggunaan Bahasa Catalan di Barcelona, Spanyol, penggunaan bahasa resmi negara sering dianggap sebagai cara efektif untuk memupuk nasionalisme. Sementara itu, penggunaan bahasa lokal dikhawatirkan dapat mengancam persatuan nasional.
Namun, studi kasus di Aceh dan beberapa daerah lainnya di Indonesia menunjukkan hasil yang berbeda. Pengakuan terhadap bahasa serta identitas dan budaya Aceh—yang dibuktikan dari dukungan pemerintah pusat terhadap pelestarian bahasa dan budaya Aceh—justru berdampak positif terhadap rasa nasionalisme masyarakatnya.
Ini menegaskan bahwa membangun sesuatu dari dalam, dan menghargai kondisi lokal, adalah bagian dari upaya pembangunan perdamaian yang lebih permanen.
Qanun Bahasa Aceh dan penetapan Bahasa Aceh dan Gayo sebagai warisan tak benda, merupakan pengakuan terhadap eksistensi dan penggunaan Bahasa Aceh oleh negara dalam ruang-ruang publik. Pengakuan ini ternyata menciptakan perasaan dihargai dan diakui atas identitas yang mereka miliki, yang pada gilirannya memperkuat keterikatan warga Aceh dengan negara.
Sebaliknya, pengekangan terhadap identitas budaya justru berpotensi memicu ketidakpuasan yang mendalam dan dapat berujung pada pemberontakan. Ketika ekspresi budaya dan identitas suatu kelompok ditekan dan diberlakukan secara tidak adil, timbul ketidakadilan dan keterasingan yang mendorong resistensi dan mobilisasi perlawanan.
Dengan memberi ruang bagi bahasa lokal, negara menunjukkan penghargaan terhadap keragaman budaya yang ada, sehingga masyarakat merasa lebih terintegrasi dalam kerangka kebangsaan.
Pendekatan inklusif untuk memitigasi risiko konflik
Namun, penggunaan bahasa lokal dalam wilayah dengan keragaman yang tinggi seperti Aceh bukan tanpa kompleksitas. Dengan menjadikan bahasa Aceh sebagai bahasa resmi, terdapat risiko pengisolasian bahasa lokal dari kelompok non-Aceh, yang berpotensi memicu konflik internal dan mengarah pada disintegrasi.
Misalnya, resistensi timbul dari masyarakat Gayo dan etnis minoritas lain di Aceh, saat kemampuan berbicara dalam bahasa Aceh menjadi salah satu persyaratan menjadi pemimpin lokal seperti Wali Nanggroe.
Selain itu, penetapan “Qanun Bahasa Aceh” dapat menimbulkan kecemburuan. Sebab, judul Qanun yang secara spesifik menyebutkan Bahasa Aceh, meski di dalamnya turut memuat 13 bahasa lokal yang ada di Aceh.
Terlebih, penggunaan himne Aceh dalam kegiatan seremoni di Aceh Tengah dengan menggeser himne Gayo yang lebih dahulu ada. Ini menimbulkan kemarahan dari warga Gayo sebagai etnis mayoritas di daerah tersebut.
Memang benar bahwa Qanun Bahasa Aceh bisa meningkatkan rasa nasionalisme karena membuat masyarakat merasa dihargai dan diakui. Namun, kebijakan ini juga bisa berdampak negatif pada penggunaan bahasa oleh etnis minoritas yang tinggal di Aceh—membuat mereka merasa kurang diperhatikan. Jika tidak dikelola dengan baik, proses asimilasi ini akan berubah menjadi asimilasi yang dipaksakan bagi bahasa minoritas.
Fragmentasi tersebut juga rentan dimanfaatkan oleh pihak luar dengan agenda tertentu, yang akan mencederai upaya pembangunan perdamaian berkelanjutan di Aceh. Karena itu, pendekatan inklusif terhadap kebijakan bahasa sangat penting untuk menjaga keharmonisan di Aceh.
Upaya promosi bahasa Aceh perlu dibarengi langkah serupa untuk mengakui dan melestarikan bahasa dan ekspresi budaya kelompok etnis lain di Aceh. Qanun Bahasa Aceh dengan tegas mengatakan bahwa bahasa Aceh mencakup semua bahasa-bahasa lokal yang digunakan oleh masyarakat Aceh, termasuk Bahasa Gayo, Alas, Tamiang, Sigulai, Haloban, Jamee, Devayan, dan lain sebagainya.
Pendekatan inklusif ini sangat penting untuk membina perdamaian jangka panjang dan kohesi sosial di wilayah tersebut. Sebab, pengalaman Aceh mengajarkan bahwa bahasa memiliki dua sisi dalam resolusi konflik: sebagai menjadi alat yang mempererat perdamaian, atau justru mempertajam perbedaan.
Penulis: Saiful Akmal, Chair professor, Universitas Islam Negeri Ar-Raniry dan Melly Masni, Lecturer in Political Science, Universitas Islam Negeri Ar-Raniry
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.