EDISI.CO, CATATANEDISIAN- 20 tahun sudah Aceh pulih dari tsunami yang menimbulkan duka mendalam bagi Indonesia, khususnya para penyintas. Dalam periode yang berdekatan, Aceh juga berusaha bangkit setelah didera konflik antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan pemerintah selama puluhan tahun.
The Conversation Indonesia bersama akademisi menerbitkan edisi khusus 20 Tahun Pemulihan Aceh selama Desember 2024. Edisi ini sekaligus menjadi upaya merawat ingatan bersama, sekaligus memantik refleksi kita atas langkah pemulihan dan perdamaian di negeri Serambi Makkah.
Gempa bumi dan tsunami Aceh tahun 2004 merupakan salah satu bencana terbesar yang menunjukkan kerentanan Indonesia terhadap bencana alam. Rata-rata, lebih dari 2 ribu bencana terjadi di negara ini setiap tahunnya, mulai dari gempa bumi, letusan gunung api, banjir, tanah longsor, kebakaran hutan, hingga tsunami. Kondisi alam ini tidak lepas dari iklim tropis maupun posisi kepulauan Indonesia yang dikelilingi Cincin Api Pasifik.
Beragam upaya pun terus dilakukan Indonesia untuk menanggulangi bencana. Namun, mitigasinya kebanyakan berfokus pada pembangunan infrastruktur.
Adapun penanggulangan masalah kesehatan mental, seperti stres dan trauma—yang rentan dialami penyintas selama dan setelah bencana—kurang diperhatikan. Akibatnya, tidak sedikit penyintas berusaha meredakan gangguan emosional dengan merokok sebagai bentuk pelarian.
Riset telaah cakupan (scoping review) kami menunjukkan bahwa trauma, kehilangan, dan gangguan psikologis mendorong peningkatan kebiasaan merokok para penyintas bencana.
Bencana alam tingkatkan kebiasaan merokok
Dari 20 studi yang mengkaji topik mengenai hubungan antara merokok dengan stres akibat bencana, sebanyak 90% di antaranya melaporkan bahwa stres berhubungan dengan peningkatan kebiasaan merokok. Kebiasaan ini bisa semakin memburuk dan bertahan selama tiga tahun setelah bencana.
Sebuah riset di Jepang mengungkapkan salah satu faktor yang meningkatkan kebiasaan merokok adalah kehilangan pekerjaan akibat bencana. Di Aceh, tekanan psikologis pascabencana meningkatkan jumlah perokok, terutama di kalangan laki-laki dewasa.
Aktivitas ini bahkan dilakukan di lokasi pengungsian yang tidak hanya berisiko memperburuk kondisi kesehatan mereka, tetapi juga orang-orang yang tidak merokok. Selain itu, aktivitas ini bukan tidak mungkin dapat mendorong kemunculan perokok-perokok baru.
Masalah kesehatan akibat rokok pun bisa bermunculan, mulai dari penyakit paru, jantung, mata, gangguan kekebalan tubuh, masalah reproduksi, diabetes, stroke, hingga kanker.
Ironisnya, meskipun kebiasaan merokok meningkat setelah bencana, belum ada penelitian yang secara khusus membahas kebijakan pengendalian tembakau dalam situasi bencana. Hal ini menciptakan celah besar dalam strategi manajemen bencana, khususnya negara rentan bencana, seperti Indonesia.
Cara mengurangi kebiasaan merokok penyintas bencana
Sebagai gambaran, angka kematian akibat merokok jauh lebih besar dibandingkan bencana alam. Rokok menyebabkan lebih dari 200 ribu kematian setiap tahun. Sementara itu, bencana alam di Indonesia menewaskan total 1.131 jiwa sejak 2016 hingga 2023.
Peningkatan kebiasaan merokok penyintas bencana justru dapat menambah sengkarut masalah kesehatan di Indonesia. Untuk itu, pemerintah perlu mengambil langkah tegas dengan menerapkan sejumlah kebijakan di bawah ini:
1. Tetapkan lokasi pengungsian sebagai KTR
Pemerintah perlu tegas mensosialisasikan lokasi pengungsian sebagai kawasan tanpa rokok (KTR). KTR adalah area terlarang untuk merokok maupun melakukan kegiatan yang berhubungan dengan tembakau, seperti memproduksi, menjual, mengiklankan, dan mempromosikan produk tembakau. Area evakuasi dan lokasi pengungsian bencana sebenarnya termasuk salah satu jenis KTR yang dikategorikan sebagai tempat umum atau ruang publik.
Baca juga: Refleksi 20 Tahun Tsunami Aceh: Waspada Ancaman ‘Megathrust’ dan Alarm Perbaikan Mitigasi Bencana
Menjadikan lokasi pengungsian sebagai KTR dapat mengurangi paparan rokok terhadap kelompok nonperokok, terutama anak-anak dan perempuan hamil. Sebagai langkah awal, pengelola lokasi bisa menyediakan tempat khusus merokok yang jauh dari kawasan pengungsian. Kebijakan tersebut perlu dibarengi dengan sosialisasi dan edukasi mengenai larangan merokok di sekitar pengungsian.
Kendati tidak spesifik mengkaji efektivitas KTR di lokasi pengungsian bencana, sebuah penelitian menunjukkan bahwa kebijakan larangan merokok di area luar ruangan atau semiprivat (yaitu di dalam mobil), dapat mengurangi paparan asap rokok terhadap anak-anak.
2. Perketat kebijakan pengendalian tembakau
Kebijakan KTR di lokasi bencana tidak dapat berdiri sendiri. Pemerintah perlu menerapkan kebijakan pengendalian tembakau lainnya, termasuk edukasi mengenai bahaya merokok bagi kesehatan dan pelarangan iklan rokok di lokasi bencana.
Pemerintah bisa menggunakan kebijakan pengendalian tembakau komprehensif dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yaitu MPOWER, yang terdiri dari monitor (mencegah dan memantau penggunaan tembakau), protect (melindungi masyarakat dari rokok), offer (menawarkan bantuan untuk hentikan kebiasaan konsumsi tembakau), warn (peringatan soal bahaya produk tembakau), enforce (melarang iklan, promosi, dan sponsor rokok), dan raise (menaikkan pajak atas produk tembakau). Studi kuantitatif mengenai praktik pengendalian tembakau menggunakan kerangka MPOWER di negara Asia Tenggara, menunjukkan bahwa penerapan kebijakan ini bisa mengurangi jumlah perokok dewasa.
Dalam hal ini, pemerintah perlu pula memperketat pengawasan distribusi rokok, termasuk melarang memasukkan rokok dalam bantuan bencana. Selain berpotensi mengurangi angka perokok dan dampak negatifnya terhadap kesehatan, cara ini mencegah penyalahgunaan situasi bencana oleh industri tembakau—yang sering kali mendistribusikan rokok sebagai bagian dari corporate social responsibility (CSR) sehingga menciptakan citra positif yang menyesatkan.
3. Sediakan layanan kesehatan mental
Penerapan KTR dan kebijakan pengendalian tembakau di lokasi darurat bencana dapat membantu mengurangi bahaya paparan asap rokok. Namun, agar pengurangan kebiasaan merokok bisa lebih efektif, pemerintah perlu mendukung kebijakan ini dengan menyediakan layanan psikososial di lokasi bencana. Tujuannya agar penyintas yang mengalami gangguan psikologis bisa mendapatkan konseling secara langsung, alih-alih menjadikan rokok sebagai medium pelarian.
Bantuan psikologis bisa diberikan oleh psikolog profesional maupun tenaga kesehatan dan sukarelawan terlatih. Dalam hal ini, pemerintah perlu mempersiapkan pelatihan pertolongan psikologis pertama untuk penyintas bencana.
Selain itu, penyintas bencana perlu pula mendapatkan pelatihan pengembangan keterampilan agar teralihkan dari trauma dan gangguan psikologis.
Bagaimanapun, masalah kesehatan mental pada penyintas bencana tidak boleh kita abaikan. Pemerintah perlu memasukkan program dukungan kesehatan mental dalam perencanaan mitigasi bencana, disertai penerapan KTR di lokasi pengungsian serta pengetatan kebijakan pengendalian tembakau di lokasi bencana.
Tiga upaya tersebut penting untuk melindungi masyarakat dari bahaya rokok maupun dampak psikologis bencana yang dapat memengaruhi perilaku, kesiapsiagaan, dan ketahanan masyarakat dalam menghadapi kondisi krisis di masa depan.
Penulis: Rizanna Rosemary, Lecturer at the Department of Communication, Faculty of Social and Political Sciences, Universitas Syiah Kuala dan Nurul Kodriati, Postdoctoral Fellow, Georgia State University
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.