EDISI.CO, CATATAN EDISIAN– Pertemuan komite negosiasi antarpemerintah (INC) untuk perjanjian plastik global telah berlangsung di Busan, Korea Selatan, pada 25 November – 1 Desember 2024. Sayangnya, negosiasi untuk memfinalkan draf perjanjian ini kembali gagal mencapai kesepakatan. Rencananya, pertemuan serupa akan kembali dihelat tahun depan—meski waktu pastinya belum jelas.
Perjanjian plastik adalah mandat dari United Nations Environment Assembly (UNEA) kelima yang diadakan di Nairobi, Kenya, pada 2022. Jika berhasil disahkan, perjanjian ini akan menjadi kesepakatan pertama di dunia yang mengatur daur hidup plastik secara menyeluruh, mulai dari hulu (produksi) hingga ke hilir (pengelolaan sampah).
Kegagalan ini amat disayangkan. Sebab, dunia membutuhkan solusi mendesak untuk mengatasi persoalan plastik. Plastik sudah kedapatan mencemari berbagai ekosistem, mulai dari darat, laut, udara, hingga darah manusia lalu menurun ke janin. Produksi dan konsumsi plastik saat ini semakin tidak terkontrol.
Adapun draf perjanjian plastik terakhir setebal 70 halaman ini memiliki 3 ribu brackets (istilah untuk teks dalam kurung yang belum disetujui oleh para negara-negara peserta), hasil pembahasan terakhir pada April 2024. Draf yang ‘membengkak’ ini memperlihatkan adanya perbedaan pendapat yang cukup signifikan terutama dalam tiga topik kontroversial.
1. Pembatasan produksi
Isu pertama terkait dengan draf Pasal 6 mengenai pasokan yang mengatur tentang pembatasan produksi (production cap) plastik global. Upaya pembatasan produksi ini didukung oleh 90 negara yang tergabung ke dalam High Ambition Coalition (HAC)—mencakup negara-negara Afrika, Amerika Latin dan Karibia, serta Uni Eropa.
Sementara itu, beberapa negara produsen minyak yang tergabung ke dalam Like-minded Countries seperti Arab Saudi, Iran, dan Rusia, menolak pembatasan produksi. Pasalnya, pembatasan akan memengaruhi permintaan minyak bumi (bahan baku utama plastik) mereka. https://ourworldindata.org/grapher/global-plastics-production?tab=chart
Negara-negara produsen minyak ini justru berupaya membatasi cakupan perjanjian plastik hanya kepada aspek manajemen sampah sebagai biang keladi polusi plastik. Mereka enggan menyentuh aspek suplai dan produksi plastik itu sendiri.
2. Penghapusan produk bermasalah
Isu kedua yang cukup menimbulkan perdebatan adalah mengenai penghapusan produk-produk plastik dan bahan kimia bermasalah.
Banyak jenis bahan kimia dalam plastik, seperti bisfenol A (BPA), terbukti mencemari ekosistem perairan dan meningkatkan risiko kesehatan, termasuk penyakit kardiovaskular dan diabetes.
Pembahasan perjanjian ini menjadi alot karena sangat terkait dengan isu pembatasan produksi plastik. Inilah mengapa banyak negara-negara koalisi Like-Minded Countries berkeberatan dengan masuknya topik ini dalam draf.
3. Pendanaan
Isu ketiga yang menjadi perdebatan sengit adalah mekanisme dan distribusi finansial untuk melaksanakan perjanjian plastik.
Negara-negara Selatan (Global South) yang memiliki anggaran terbatas menuntut adanya mekanisme bantuan keuangan, pengembangan kapasitas, bantuan teknis, dan transfer teknologi kepada negara-negara maju (Global North) dan organisasi multilateral.
Tuntutan ini juga tak lepas dari temuan bahwa negara-negara maju menjadi biang keladi lonjakan pencemaran plastik di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
Namun, sebagian negara maju menolak apabila kewajiban finansial lebih memberatkan mereka. Padahal, negara seperti Amerika Serikat merupakan salah satu penghasil plastik terbanyak di dunia.
Bagaimana posisi Indonesia?
Negosiasi perjanjian plastik dapat menjadi momentum Indonesia untuk menguji kepemimpinan globalnya, khususnya di bidang diplomasi lingkungan. Pasalnya, Indonesia sebagai salah satu kontributor sampah plastik laut terbesar di dunia, sekaligus pengonsumsi mikroplastik terbesar di dunia.
Situasi tersebut seharusnya mendorong Indonesia untuk berpartisipasi secara progresif di INC, khususnya dalam mendorong isu-isu kesehatan dan perlindungan lingkungan.
Sayangnya, diplomasi delegasi Indonesia pada INC-5 justru seakan ‘masuk angin’ alih-alih menjadi pemimpin dari upaya menegosiasikan perjanjian plastik global yang lebih komprehensif.
Indonesia datang ke Busan dengan membawa delegasi yang cukup banyak. Berdasarkan dokumen yang disebarluaskan oleh Sekretariat INC (tidak dipublikasikan), ada 50 orang yang tergabung ke dalam delegasi ini. Kebanyakan berasal dari perwakilan pemerintah. Sisanya berasal dari kalangan akademis. Tidak ada satupun perwakilan dari sektor kesehatan, baik dari pemerintah maupun non-pemerintah.
Indonesia memang mendukung tujuan perjanjian plastik untuk melindungi kesehatan manusia dan lingkungan hidup. Sayangnya, posisi Indonesia di beberapa draf pasal lain justru kontradiktif dengan tujuan tersebut.
Berdasarkan pengamatan saya dalam negosiasi di Busan, juga dokumen-dokumen delegasi pemerintah yang saya terima, Indonesia kurang mendukung aturan yang ketat dalam perjanjian plastik global ini.
Dalam draf Pasal 6, misalnya, Indonesia merasa keberatan dengan pembatasan produksi plastik dengan alasan konsumsi plastik per kapitanya masih di bawah rata-rata global.
Selain itu, Indonesia juga mendukung penghapusan judul draf Pasal 7 dari semula “Emission and Releases” menjadi “Releases and Leakages” yang diusulkan Like-minded Countries. Artinya, melalui sikap ini, Indonesia mendukung perjanjian plastik yang mengecualikan emisi dari seluruh siklus daur hidup plastik.
Sikap ini menimbullkan pertanyaan. Sebab, emisi merupakan hal yang tidak bisa dilepaskan dari industri plastik karena terbuat dari bahan bakar fosil. Pemisahan dua hal ini berisiko memperpanjang umur penyedotan minyak dan gas yang memperparah perubahan iklim.
Kompromi di tengah urgensi?
Sengitnya negosiasi dalam perjanjian plastik seharusnya menjadi pelajaran bagi lebih dari 190 negara peserta untuk berkompromi agar konsensus dapat tercapai.
Dunia dapat belajar dari kesuksesan Montreal Protocol 1987 sebagai salah satu perjanjian internasional yang sukses menahan laju penipisan ozon di atmosfer. Kesuksesan ini tak lepas dari sifatnya sebagai instrumen internasional dengan implementasi kontrolnya yang sangat fleksibel. Ini membuat Montreal Protocol mengalami beberapa kali penyesuaian target sesuai kesepakatan dan perkembangan sains terbaru saat itu.
Untuk mencapai hal serupa, Sekretariat INC dapat menjembatani kedua kubu ini dengan mengadakan beberapa pertemuan negosiasi informal sebelum konferensi akbar pada 2025. Langkah ini bertujuan untuk menumbuhkan dan menjamin komitmen semua kubu—terutama negara-negara penolak dan pendukung pembatasan produksi plastik.
Penulis: Fajar Ajie Setiawan, Dosen Hubungan Internasional, Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama)/ Departmental Research Fellow, Kobe University, Universitas Prof Dr Moestopo (Beragama)
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.