
Menteri Investasi/BKPM Bahlil Lahadalia saat memberikan keterangan kepada awak media di Marriot Hotel Harbour Bay, Kota Batam, Minggu (17/9/2023)- Edisi/ Irvan F.
EDISI.CO, CATATAN EDISIAN– Polemik gelar doktor Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia memasuki babak baru. Dewan Guru Besar (DGB) Universitas Indonesia (UI) merekomendasikan agar Bahlil mengulang disertasinya.
Meski rekomendasi ini masih menunggu keputusan rektor UI, banyak pihak telah bereaksi. Sebut saja penulis sekaligus presenter Melanie Subono, hingga kader Nahdlatul Ulama (NU), Umar Hasibuan, yang mendesak Presiden Prabowo Subianto untuk mencopot jabatan menteri Bahlil.
Rekomendasi DGB merupakan angin segar bagi integritas akademis di Indonesia. Sebab, maraknya pelanggaran akademis di negara kita telah membuat banyak orang frustrasi. Beberapa bahkan menilai usaha untuk mengatasi permasalahan ini, dalam hal kebijakan misalnya, tidak membawa banyak perubahan tapi justru memperparah keadaan.
Dalam rangka pemetaan solusi atas permasalahan integritas akademis, The Conversation Indonesia (TCID) berdiskusi dengan 5 dosen dari berbagai universitas di Indonesia. Hasilnya, permasalahan integritas akademis di Indonesia membutuhkan solusi dari banyak sisi—sejak dari hulu hingga ke hilir.
Kawal sejak awal
Sejak proses rekrutmen, calon dosen harus mengetahui kualifikasi dan tanggung jawab akademis yang menyertai profesi dosen, termasuk etika dan integritas akademis.
Dalam diskusi kelompok terpumpun (FGD) pada 17 Juli 2024 lalu, perwakilan dari Universitas negeri Yogyakarta (UNY), Sugeng Bayu Wahyono, menyebutkan, sistem rekrutmen dosen harus menjamin bahwa calon dosen memahami esensi dan kultur profesi ini.
“Meneliti dan membaca menjadi sebuah kultur itu penting, kalau rekrutmennya bener, yang mana lebih mementingkan substansi, hal-hal pelanggaran akademis itu tidak akan terjadi,” tutur Bayu. Selain UNY, FGD juga diselenggarakan TCID bersama Universitas Islam Indonesia (UII), Universitas Multi Media Nusantara (UMN), Universitas Multi Media Nusantara (UMN), dan Universitas Brawijaya (Unibraw).
Bayu mengusulkan bahwa ke depannya, penjaringan dosen perlu didasarkan pada bagaimana mewajarkan aktivitas menulis, membaca, menulis buku sebagai tugas dosen sehari-hari, sehingga tidak menjadi beban. Dengan begitu, rekognisi publik dapat beralih dari obsesi jabatan menjadi apresiasi akademis. Jabatan akademis itu tidak menjadi tujuan, tetapi hanya efek.
“Jangan terbalik, nanti akan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan tersebut,” tegasnya.
Hal serupa juga disampaikan oleh Abdil Mughis Mudhoffir, peneliti di Universitas Melbourne, Australia. Dalam salah satu sesi wawancara, Ia menyebutkan bahwa rekrutmen dosen di Indonesia umumnya tidak diukur dari rekam jejak akademis, seperti meneliti, menulis atau mengajar.
Indonesia, kata Mughis, lebih sering menggunakan indikator dari hasil Tes Potensi Akedemis (TPA) atau Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) dalam rekrutmen dosen. Alhasil, dosen yang lolos seleksi belum tentu memahami—alih-alih berpengalaman—tentang berbagai tuntutan profesi dosen seperti misalnya publikasi.
Dia menganggap fokus rekrutmen tersebut jauh berbeda dengan kampus di luar negeri yang mensyaratkan calon dosen memiliki kapasitas akademis mumpuni.
“Rekrutmen di kampus luar basisnya adalah kemampuan akademis, CV, publikasi, pengalaman mengajar, pengalaman meneliti, kontribusi akademis, itu yang diukur untuk merekrut seorang dosen. Sehingga mudah saja jika mereka dituntut untuk membuat publikasi.”
Akibat salah fokus sejak awal, ditambah lingkungan akademis yang tidak mendukung dan kesejahteraan rendah, dosen—terutama di kampus-kampus kecil di daerah—rawan tergelincir ke praktik-praktik yang menyalahi integritas akademis.
Perbaiki cara pandang dan cara kerja sistem
Indonesia memerlukan perbaikan holistik untuk menambal berbagai celah pelanggaran akademis.
Menurut Indri Dwi Apriliyanti, dosen Departemen Manajemen dan Kebijakan Publik (DMKP), Universitas Gadjah Mada, perbaikan dapat dimulai dengan membuat panduan integritas akademis berikut mekanisme pemberian sanksinya, hingga mengubah cara pandang terhadap publikasi dan penelitian.
Baca juga: Uniknya Jargon Ramadan Khas Indonesia: Dari ‘Munggahan’ hingga ‘Ngabuburit’
Panduan integritas akademis tersebut dapat mencakup proses penulisan karya ilmiah dan publikasi di seluruh perguruan tinggi, standardisasi terkait sanksi akademis, standarisasi co-authorship, penggunaan artificial intelligence, hingga proses pengambilan data.
Kemudian, pemerintah perlu memantau pelaksanaan praktik integritas akademis, termasuk menyediakan layanan bagi dosen yang terdampak pelanggaran.
“Selama ini belum ada mekanisme yang dapat mengawal proses pemberian sanksi di level universitas/fakultas untuk kasus pelanggaran akademis. Sehingga, para korban hanya bisa mengandalkan janji dekan ataupun kaprodi (kepala program studi),” kritiknya.
Selain itu, Indri juga menggarisbawahi bahwa tekanan publikasi dan iming-iming gratifikasi seringkali melahirkan masalah ‘penumpang gelap’ dalam publikasi. Contohnya ketika dosen senior menumpang publikasi pada karya dosen muda atau asisten peneliti dan bahkan menjadi first author (penulis utama) karena relasi kuasa yang tidak seimbang.
Menurut Indri, pengelola pendidikan tinggi dapat mengatasi masalah di atas dengan menerapkan cara pandang slow science, atau sains yang tidak buru-buru. Cara pandang ini menekankan pada kualitas publikasi alih-alih kuantitas.
“Kualitas publikasi yang kemudian dapat menentukan insentif termasuk angka kredit untuk kenaikan pangkat,” tambahnya.
Selain mengubah cara pandang terhadap publikasi, Ide Bagus Siaputra, dosen di Fakultas Psikologi Universitas Surabaya (UBAYA), juga menawarkan mekanisme registrasi penelitian (repositori)—dikelola oleh asosiasi keilmuan dan/atau profesi sesuai bidang ilmu—sebagai bentuk transparansi untuk mengurangi praktik-praktik pelanggaran akademis. Repositori ini nantinya akan menjadi ‘rumah’ yang mendaftar penelitian yang akan, sedang atau sudah dilakukan.
Menurut Bagus, repositori berguna untuk basis data keilmuan: dosen dapat saling mengecek apakah penelitian tersebut sudah pernah dilakukan. Tujuannya untuk menghindari duplikasi ide sekaligus membuka peluang kolaborasi jika topiknya bersinggungan.
Bagus juga menekankan pentingnya wawas diri atau self awareness. Sebab, tidak semua dosen menyadari bahwa penelitian dan publikasi mereka memiliki dampak ke masyarakat. Ini membuat mereka memproduksi pengetahuan secara asal-asalan demi mengejar target-target tertentu.
Bagus mengingatkan, “Penelitian adalah upaya untuk menemukan kebenaran sejati, bukan untuk akreditasi, bukan untuk reputasi atau komersialisasi.”
Menyeimbangkan beban dan pendapatan
Menurut Mughis, pelanggaran akademis terjadi karena dua hal. Pertama orang yang memanfaatkan kelemahan dan ketidakpastian sistem untuk kepentingan sendiri. Kedua UU belum menjamin dosen mendapatkan kesejahteraan yang layak. Karena itu, solusinya juga harus didekati dari dua arah tersebut.
Dari segi kesejahteraan dosen, dia menekankan sumber masalahnya adalah beban kerja tinggi dengan upah yang memprihatinkan, bahkan di bawah Upah Minimum Regional (UMR).
Mengatasi persoalan tersebut, kata Mughis, memerlukan revisi kebijakan-kebijakan terkait kesejahteraan dosen dan beban kerja. Ini termasuk pengawasan tridarma perguruan tinggi—pendidikan dan pengajaran, penelitian, dan pengabdian masyarakat—yang berfokus pada kampus bukan dosen.
“Sistem pertanggungjawaban tridarma basisnya bukan pada individu tapi universitas. Kampus tetap memberi perhatian pada 3 hal tersebut tapi tidak dibebankan ke dosen,” tuturnya.
Selain itu, menurut Mughis, manajemen perguruan tinggi perlu mengatur ulang beban dosen secara proporsional, misalnya bagi dosen peneliti dan dosen pengajar.
Dikontrol diri sendiri, dikawal secara sosial
Terpisah dari FGD, dosen di universitas di Sumatra yang enggan disebut namanya dalam wawancara Juni 2024 lalu menyebutkan, “Orang yang menempati posisi-posisi kunci harus punya integritas ilmiah.”
Ini menegaskan bahwa solusi atas pelanggaran akademis tidak bisa terlepas dari kontrol dan kesadaran diri dari setiap individu. Kesadaran ini yang kemudian menentukan nilai kepatutan atau kepantasan sebagai akademisi, sehingga menciptakan moral consistency atau konsistensi moral.
“Konsistensi moral berarti mengevaluasi tindakan setiap orang berdasarkan standar yang sama, bahkan jika itu berarti mengkritik orang-orang yang ‘berpihak pada Anda’. Ingat bahwa integritas itu mengutuhkan universitas, favoritisme memecahnya,” jelas Juneman Abraham, ahli psikologi korupsi dari Binus University.
Di sisi lain, Mughis mengingatkan bahwa kondisi saat ini tidak hanya membutuhkan perubahan kebijakan tapi juga perbaikan implementasi. Menurutnya, perubahan kebijakan memerlukan dukungan dan pengawalan agar benar-benar bisa mengatasi persoalan integritas akademis.
Pemantauan kebijakan, menurut Mughis, juga perlu diperankan oleh Serikat Pekerja Kampus (SPK) ataupun perkumpulan dosen lainnya. Dia mengatakan, dalam jangka panjang, perkumpulan semacam ini berguna untuk ‘memaksa; kekuatan politik dominan—seperti pemerintah dan perguruan tinggi—melaksanakan—amanat kebijakan.
Pelanggaran integritas akademis adalah persoalan multi-faktor. Artinya, partisipasi untuk merumuskan solusinya harus datang dari sinergi pemerintah dengan pihak-pihak terkait seperti komunitas akademis, SPK dan masing-masing individu.
Penulis: Hayu Rahmitasari, Education & Culture Editor, The Conversation
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.