
Salah satu dari keluarga terdakwa kasus Rempang mengusap air mata dengan ujung kerudung dalam sidang lanjutan Kasus Rempang di PN Batam pada Senin (12/2/2024). Mereka menjadi saksi tidak di bawah sumpah yang hadir dalam sidang tersebut-Edisi/bbi.
EDISI.CO, CATATAN EDISIAN– Hingga beberapa tahun lalu, masih ada stereotip yang melekat kuat dalam masyarakat mengenai jilbab dan perempuan Muslim. Terdapat sejumlah pandangan umum bahwa perempuan berhijab kurang modern dan tidak bebas dalam memilih jalur karier karena akan membatasi perempuan untuk bisa berpartisipasi aktif dalam kegiatan sosial atau politik. Jilbab bahkan seringkali dianggap sebagai simbol keterbelakangan.
Saat ini pun masih banyak anggapan bahwa jilbab dapat membatasi perempuan dalam mengekspresikan diri atau menghambat kreativitas. Mengenakan jilbab bahkan kerap dianggap hasil dari paksaan lingkungan. Namun, kehadiran media sosial telah mengubah persepsi masyarakat tentang jilbab.
Kehadiran influencers di ranah sosial media telah membantu membentuk opini publik tentang jilbab. Jilbab kini berangsur-angsur tak lagi dilihat sebagai batasan, tetapi justru sebagai bagian dari identitas yang dapat mereka, para perempuan, banggakan.
Peran ‘influencer’ muslimah
Sejumlah influencer Muslimah yang aktif di media sosial seperti di Instagram, YouTube, dan TikTok, berhasil membangun citra bahwa perempuan berjilbab bisa tetap berkarier, mandiri, dan berpengaruh.
Ria Ricis, misalnya, dikenal sebagai YouTuber berjilbab dengan konten hiburan yang positif. Ada juga Ayudia Bing Slamet yang menampilkan gaya hijab simpel dalam vlog keluarga. Ada pula Sivia Azizah yang memadukan hijab dengan street style (gaya fesyen kasual yang tumbuh di jalanan). Mereka menginspirasi perempuan Muslim untuk tetap percaya diri dalam berbagai bidang, dari fesyen hingga bisnis.
Para influencer tersebut juga menunjukkan bahwa jilbab bukan hambatan dalam berkarya, melainkan kekuatan dalam membangun identitas yang unik dan inspiratif.
Contoh lain yang menarik adalah Halima Aden, model berhijab pertama yang tampil di sampul majalah Sports Illustrated. Keberadaannya di dunia modeling membuktikan bahwa industri mode mulai menerima keberagaman dan membuka peluang bagi perempuan Muslim untuk menunjukkan bakat mereka tanpa harus mengorbankan keyakinan mereka.
Sebuah studi tahun 2024 menemukan bahwa konten yang dibuat oleh influencer Muslimah, seperti tutorial jilbab dan diskusi tentang pengalaman pribadi mereka, membantu mengurangi stigma negatif terhadap jilbab di masyarakat.
Selain itu, interaksi di media sosial memungkinkan komunitas Muslimah untuk berbagi pengalaman dan mendukung satu sama lain, menciptakan lingkungan yang lebih inklusif dan positif.
Dengan menyajikan konten tentang tutorial jilbab, tips gaya hidup, hingga advokasi sosial, mereka membantu mengubah narasi soal jilbab dan perempuan yang selama ini cenderung stereotipikal. Mereka juga menjadi role model bagi banyak perempuan muda yang ingin menjalani kehidupan modern tanpa harus meninggalkan nilai-nilai keimanan mereka.
Jilbab sebagai simbol ‘empowerment’
Alih-alih menjadi hambatan, banyak perempuan Muslim kini melihat hijab sebagai sumber kekuatan dan pemberdayaan. Penelitian tahun 2024 menunjukkan bahwa jilbab tidak hanya berfungsi sebagai simbol religius, tetapi juga sebagai identitas sosial dan budaya yang kuat.
Dalam konteks Indonesia, jilbab telah menjadi bagian integral dari identitas perempuan Muslim, mencerminkan komitmen mereka terhadap nilai-nilai agama dan budaya.
Selain itu, jilbab juga menjadi bagian dari identitas perempuan Muslim yang aktif di bidang akademis dan profesional. Penelitian lainnya menunjukkan bahwa banyak perempuan Muslim merasa lebih dihargai karena jilbab membuat mereka lebih fokus pada intelektualitas dan kompetensi daripada sekadar penampilan fisik.
Ini membuktikan bahwa jilbab bukanlah alat pengekangan, tetapi justru elemen yang memperkuat kepercayaan diri dan profesionalisme.
Baca juga: Ikhtiar Warga Pulau Rempang untuk Keadilan, Gelar Aksi di Mapolda Kepri
Dengan semakin banyaknya perempuan berjilbab yang mencapai kesuksesan di berbagai bidang, kita melihat bahwa jilbab tidak menjadi penghalang, melainkan alat pemberdayaan yang memungkinkan mereka untuk mengekspresikan diri dan berkontribusi secara maksimal dalam masyarakat.
Ini menciptakan contoh positif bagi generasi mendatang dan mendorong terciptanya lingkungan kerja yang lebih inklusif dan menghargai keberagaman.
Mendobrak dikotomi antara mode dan keimanan
Dengan bergesernya persepsi publik terhadap jilbab, perempuan Muslim kini lantang menolak dikotomi antara mode dan keimanan. Ini tercermin dalam pesatnya perkembangan industri modest fashion yang memperkenalkan koleksi pakaian yang tetap fashionable namun sesuai dengan nilai-nilai Islam.
Selain itu, jilbab juga menjadi sarana bagi perempuan Muslim untuk mengekspresikan gaya pribadi mereka. Dari gaya kasual hingga high fashion, banyak desainer dan fashion blogger Muslim yang membuktikan bahwa menutup aurat tidak berarti harus meninggalkan estetika dalam berbusana.
Sebagai contoh, Dian Pelangi, seorang desainer asal Indonesia, telah membawa tren mode Muslim ke panggung dunia dan menunjukkan bahwa fesyen bisa berjalan selaras dengan nilai-nilai religius.
Begitu pula dengan Hana Tajima, seorang desainer Muslimah keturunan Inggris-Jepang, yang berkolaborasi dengan Uniqlo dalam menciptakan koleksi modest wear (pakaian sopan dan sederhana) yang stylish namun tetap sesuai dengan nilai-nilai keislaman.
Mereka menjadi bukti hidup bahwa perempuan Muslim bisa menjadi bagian dari dunia mode tanpa harus mengorbankan nilai-nilai yang mereka yakini. Jilbab, fesyen, dan kemajuan kini bukanlah hal yang bertentangan.
Dengan berkembangnya industri modest fashion, meningkatnya representasi di media, serta semakin banyaknya figur publik yang mengenakan hijab, stereotip tentang perempuan Muslim semakin terkikis.
Fenomena ini juga menunjukkan bahwa jilbab bukan sekadar simbol keagamaan, melainkan bagian dari ekspresi diri dan identitas perempuan Muslim di era modern.
Seiring dengan berkembangnya industri fesyen, kehadiran jilbab di panggung global semakin diterima. Ke depannya, industri mode diharapkan semakin inklusif dengan menyediakan lebih banyak ruang bagi desainer Muslim dan koleksi modest fashion di pasar internasional.
Selain itu, perubahan sosial yang semakin mendukung keberagaman dapat membantu menghilangkan stereotip. Para perempuan Muslim di seluruh dunia terus membuktikan bahwa mereka bisa tetap berdaya, mandiri, dan kreatif tanpa harus memilih antara iman dan fesyen.
Penulis: Sry Lestari Samosir, S.Pd., M.Sos, Dosen Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Medan
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.