
“Akhir perjalanan 34 terdakwa Kasus Rempang di ruang peradilan sejak 21 Desember 2023, menempatkan mereka sebagai pesakitan. Ke-34 terdakwa yang terbagi dalam dua berkas perkara ini dinyatakan bersalah. Harus menjalani hukuman dengan durasi bervariasi, pada dua sidang putusan di Pengadilan Negeri (PN) Batam pada Senin (25/3/2024).
Putusan pada perkara nomor: 935/Pid.B/2023/PN.Btm untuk 26 terdakwa, 15 orang dijatuhi pidana penjara enam bulan dan lima belas hari. 10 warga dijatuhi pidana penjara enam bulan dan dua puluh satu hari, dan satu orang dijatuhi hukuman pidana penjara tiga bulan. Pada perkara nomor: 937/Pid.B/2023/PN.Btm untuk delapan terdakwa, majelis hakim menjatuhkan putusan pidana enam bulan lima belas hari kepada enam orang. Dua orang terdakwa lain dihukum masing-masing enam bulan dua puluh satu hari dan delapan bulan.
Vonis itu lebih ringan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU). Hal itu mungkin membuat jaksa sempat pikir-pikir, akan melakukan banding atau menerima putusan. Sebaliknya, para terdakwa langsung menerima. Suara mereka diutarakan Hairol bin Abu Bakar, ia mewakili para terdakwa. Disaksikan semua pengunjung sidang, yang mayoritas adalah kerabat para terdakwa dan warga Pulau Rempang yang selalu hadir membersamai mereka.
Suaranya pelan, namun masih bisa terdengar oleh majelis hakim. Hairol divonis pidana enam bulan 21 hari.
Satu warga Kasus Rempang lain, Iswandi alias Abang Long di perkara nomor: 936/Pid.B/2023/PN Btm telah lebih dulu divonis bersalah dan harus menjalani kurungan selama enam bulan, sesuai dengan tuntutan JPU”
EDISI.CO, BATAM– Ruang sidang Soebekti di Pengadilan Negeri (PN) Kelas 1A Batam sesak, penuh dengan masyarakat yang menyaksikan langsung agenda pembacaan putusan, mereka persis di belakang para terdakwa. Kursi ruang sidang penuh, celah di antara kursi juga terisi oleh warga yang berdiri. Hawa ruang sidang terasa lebih panas sore itu, sesak meskipun mesin pendingin ruangan dan kipas angin menyala.
Dalam sesak itu, tangis keluarga terdakwa mulai terdengar, bahkan ketika putusan belum selesai dibacakan. Ada yang sampai tersedan-sedan, utamanya kaum ibu yang memang dominan hadir mendengar putusan majelis hakim. Ada juga yang hanya menyeka air dari juring mata tanpa bersuara.
Suara tangis itu, membuat Ketua Majelis Hakim, David P Siturus, harus berkali-kali mengingatkan pengunjung sidang untuk tertib dan tenang.
David menerangkan bahwa para terdakwa telah menjalani penahanan selama enam bulan 14 hari. Sehingga mereka yang menerima hukuman penjara enam bulan 15 hari dan enam bulan 21 hari, hanya tinggal menyelesaikan beberapa hari masa hukuman untuk kemudian bebas, jika putusan tersebut diterima.
Haru biru keluarga berlanjut, mereka iringi keluarga yang telah menjadi terpidana dengan peluk dan cium. Menemani para terdakwa meninggalkan ruang sidang menuju area tahanan sementara. Mungkin bagi keluarga, tidak penting catatan kriminal melekat akibat putusan ini, asal para terpidana bebas dan dapat segera kembali bersama mereka.

35 warga yang jadi tersangka dalam Kasus Rempang, merupakan mereka yang hadir dalam aksi damai untuk mendukung masyarakat Rempang di depan kantor Badan Pengusahaan (BP) Batam pada 11 September 2023. Sebuah gelaran aksi damai ini berakhir ancai.
Sebetulnya, pihak kemanan mengamankan 43 warga. Dengan perincian 13 orang diamankan saat berada di lokasi demo dan sekitar gedung Lembaga Adat Melayu (LAM) Kepulauan Riau (Kepri) Kota Batam dan sisanya hasil penyisiran petugas berdasarkan dokumentasi yang mereka miliki.
Demonstrasi itu sendiri, merupakan bentuk simpati warga atas kondisi yang mengancam eksistensi masyarakat Melayu di Pulau Rempang, Galang dan pulau-pulau di sekitar dalam administrasi Kecamatan Galang, Batam. Upaya warga membersamai masyarakat Melayu yang telah mendiami kampung-kampung di pesisir Batam, Kepulauan Riau (Kepri).
Ruang hidup yang telah dihuni Masyarakat Melayu Pulau Rempang sejak ratusan tahun lalu ini, beririsan dengan rencana hadirnya Proyek Strategis Nasional (PSN) Rempang Eco City dengan nilai investasi Rp381 triliun. PSN Rempang Eco City ini akan menggusur kampung-kampung di sana. Warga rencananya akan dipindahkan ke satu kawasan baru. Penggusuran inilah yang tidak disetujui warga.
Penolakan penggusuran terus menggema, namun seakan tidak terdengar. Padahal, masyarakat berulang kali menyampaikan tidak menolak pembangunan, namun tidak ingin kampung-kampung mereka terusik.
Bagi masyarakat Melayu Pulau Rempang dan sekitarnya, kampung mereka adalah identitas yang harus lestari, bukan malah dihilangkan atau digusur atas nama ekonomi. Di kampung-kampung inilah sejarah dan kebudayaan masyarakat Melayu hidup dan terjaga.
Hasrat ingin mempertahankan identitas dan jejak Masyarakat Melayu inilah yang mendasari masyarakat turun ke jalan. Menyuarakan keberpihakan mereka pada masyarakat Melayu yang terancam eksistensinya.

Aksi ribuan masyarakat di depan Gedung BP Batam pada 11 September 2023, sejatinya bukan yang pertama. Sebelumnya, pada 23 Agustus 2023, masyarakat telah datang ke BP Batam membawa empat tuntutan. Menolak tegas relokasi 16 titik kampung tua yang ada di Rempang Galang; bubarkan BP Batam; meminta pemerintah mengakui tanah adat dan ulayat; hentikan intimidasi dan kriminalisasi kepada masyarakat Rempang-Galang yang menolak relokasi kampung tua.
Dua hari sebelumnya atau pada 21 Agustus 2023, warga Pulau Rempang menghadang dan menyuruh pulang tim terpadu yang akan melakukan pengukuran tata batas lahan di Pulau itu. Tepat di depan Jembatan Sultan Zainal Abidin (Jembatan 4 Barelang) penghubung Pulau Setokok dan Pulau Rempang. Pada 7 September 2023, hal serupa terjadi lagi. Kali ini, tim terpadu dengan 1.010 personil memukul mundur warga. Menyiram, mengasapi dan menembak warga dengan peluru karet.
Delapan warga ditangkap, tujuh orang diantaranya menyandang status tersangka. Mereka ditahan sampai tanggal 16 September 2023, lalu penahanannya ditangguhkan. Berganti dengan wajib lapor dua kali seminggu sampai 8 April 2024. Esoknya atau sehari menjelang perayaan Idul fitri 1445 Hijriyah, mereka bebas murni melalui mekanisme Restorative Justice (RJ).
Bentrokan yang terjadi di Kampung Tanjung Kertang, Pulau Rempang ini, juga menjadi alasan gerakan 11 September 2023 terlaksana. Walaupun Aliansi Pemuda Melayu yang menjadi penyelenggara aksi sebelumnya dan rencana aksi ini, menarik diri sehari sebelum aksi.
Sebanyak 35 warga yang ditangkap, dibawa ke Mapolresta Barelang dan di Mapolda Kepri. Beberapa hari setelahnya, mereka dikumpulkan di Mapolresta Barelang untuk menjalani penyidikan.
Sebagian besar mereka tidak mendapatkan pendampingan hukum saat pemeriksaan. Tim Advokasi Solidaritas Nasional untuk Rempang yang kala itu berupaya mengakses warga yang ditangkap, mengalami kesulitan karena berbagai hal.

Sejak ditangkap pada 11 September 2023, para terdakwa menjalani penahanan di Mapolresta Barelang. Mereka baru dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri (Kejari) Batam pada 8 Desember 2023. Selanjutnya, menjalani penahanan di Rumah Tahanan (Rutan) Kelas II A Batam selama mereka menjalani proses peradilan.
Sebelum sampai pada proses peradilan yang sidang pertamanya digelar di Pengadilan Negeri (PN) Batam pada 21 Desember 2023, Tim Advokasi Solidaritas Nasional untuk Rempang, meyakini penetapan tersangka atas warga yang ditahan tidak sesuai ketentuan yang berlaku. Sehingga mereka mengajukan Praperadilan untuk 30 tersangka yang masuk dalam dampingan mereka.
Selama seminggu, mulai 31 Oktober sampai 6 November 2023 sidang berjalan setiap hari. Tim Advokasi Solidaritas Nasional untuk Rempang sampai menghadirkan saksi ahli. Namun hakim tunggal memutuskan menolak Praperadilan dan menyatakan proses penetapan tersangka dari kepolisian sudah sesuai prosedur.
Putusan itu diwarnai aksi walk out Tim Advokasi Solidaritas Nasional untuk Rempang, keluarga tersangka dan masyarakat yang hadir. Mereka menilai keputusan hakim mencerminkan keadilan telah hilang di PN Kelas 1A Batam.

Ke-35 terdakwa Kasus Rempang menjalani sidang peradilan perdana di PN Kelas 1A Batam pada 21 Desember 2023. Agenda sidang perdana ini berisi pembacaan dakwaan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU).
David P Sitorus menjadi hakim ketua yang memimpin jalannya sidang tiga perkara untuk ke-35 warga dalam Kasus Rempang ini. Ia didampingi oleh Benny Yoga Dharma dan Monalisa Anita Theresia Siagian sebagai hakim anggota.
Pada sidang perdana ini, 31 warga berada dalam dampingan Tim Advokasi Solidaritas Nasional untuk Rempang. Sisanya memiliki penasihat hokum sendiri dan ada juga yang mendapatkan pendamping dari Pos Bantuan Hukum (Posbakum). Dalam perjalanannya, jumlah warga Kasus Rempang yang berada dalam dampingan berubah menjadi 23 orang, delapan orang memilih tidak melanjutkan kerja sama mereka dengan Tim Advokasi Solidaritas Nasional untuk Rempang.
JPU atas nama Abdullah Muhammad Ihsan, menjadi jaksa untuk dua berkas perkara kasus Rempang. Yakni perkara nomor: 936/Pid.B/2023/PN Btm atas nama Iswandi dan perkara nomor: 937/Pid.B/2023/PN.Btm atas delapan warga. Sedangkan JPU atas nama Adjudian Syafitra menjadi penuntut atas perkara Kasus Rempang nomor: 935/Pid.B/2023/PN.Btm untuk 26 warga.
Dugaan Pelanggaran Kode Etik
Sepanjang proses persidangan terhadap 34 terdakwa dalam Kasus Rempang, yang dimulai sejak 21 Desember 2023 sampai 6 Maret 2024, Tim Advokasi Solidaritas Nasional untuk Rempang telah menemukan indikasi adanya dugaan pelanggaran etik di dalamnya. Baik yang dilakukan oleh salah satu hakim dalam dua perkara tersebut, maupun salah satu advokat di Batam.
Direktur Eksekutif WALHI Riau, Even Sembiring, mengatakan Tim Advokasi Solidaritas Nasional untuk Rempang dari awal persidangan telah menemukan indikasi dugaan pelanggaran etik. Hanya saja, tim memilih lebih dahulu fokus memberikan layanan bantuan hukum terbaik kepada 23 dari 35 terdakwa di dua berkas perkara yang mereka dampingi.
“Pelanggaran pertama, terkait intervensi kepada klien kami maupun keluarganya agar mencabut kuasa dan memberi kuasa baru kepada salah satu advokat di Batam. Advokat tersebut juga mengiming-imingi terdakwa dan keluarganya akan diputus ringan.”
“Indikasi pelanggaran kedua, kami menduga ucapan-ucapan hakim mengabaikan asas praduga tidak bersalah; membatasi sidang yang terbuka untuk umum; dan tidak bersikap rendah hati,” kata Even Sembiring yang juga bagian dari Tim Advokasi Solidaritas Nasional untuk Rempang seperti termuat dalam keterangan resmi mereka pada Senin (6/4/2024).
Tindak lanjut dari dugaan adanya pelanggaran etik tersebut, Tim Advokasi Solidaritas Nasional untuk Rempang akan membahasnya lebih detail. Temuan itu akan disandingkan dengan dugaan pelanggaran substansial terkait putusan permohonan praperadilan yang diajukan Tim Advokasi Solidaritas Nasional untuk Rempang pada 6 November 2023 lalu.
Nantinya, Tim Advokasi Solidaritas Nasional untuk Rempang akan melaporkan temuan mereka tersebut ke Mahkamah Agung (MA).

Untuk diketahui, pada sidang kedua Kasus Rempang pada Rabu (3/1/2024) lalu, ada tujuh terdakwa yang menyatakan tidak lagi berada dalam dampingan Tim Advokasi Solidaritas Nasional untuk Rempang. Padahal, sebelumnya sebanyak 31 dari total 35 terdakwa Kasus Rempang berada dalam dampingan Tim Advokasi Solidaritas Nasional untuk Rempang.
Pengacara dari PBH Peradi Batam, Sopandi, menuturkan terhentinya pendampingan pada tujuh terdakwa yang sebelumnya mereka tangani, mengonfirmasi kerisauan keluarga terdakwa selama ini. Mereka mengaku bingung oleh adanya pihak yang meminta mereka untuk mencabut atau memutus kuasa dengan Tim Advokasi Solidaritas Nasional untuk Rempang.
“Keluarga-keluarga itu bercerita kalau mereka dipaksa ditekan untuk mencabut dari tim advokasi (Tim Advokasi Solidaritas Nasional untuk Rempang),” kata Sopandi saat ditemui seusai sidang kedua tersebut.
Pihaknya menyayangkan hal tersebut terjadi ketika para terdakwa memang membutuhkan pendampingan atas kasus yang mereka hadapi.
Advokat yang tergabung dalam Tim Advokasi Solidaritas Nasional untuk Rempang ini, meyakini keluarga terdakwa tidak mendapatkan informasi utuh terkait proses peradilan yang harus terdakwa jalani. Kondisi ini menandakan intervensi dari pihak luar terus ada. Yang menjadi tantangan dalam perjuangan menegakkan keadilan bagi seluruh terdakwa dalam Kasus Rempang ini.
Sopandi melanjutkan, seusai sidang perdana Kasus Rempang pada 21 Desember 2023 lalu, Tim Advokasi Solidaritas Nasional untuk Rempang didatangi pihak keluarga terdakwa. Mereka mengadu sambil menangis karena kebingungan, apakah harus bertahan dengan Tim Advokasi Solidaritas Nasional untuk Rempang atau menggunakan pendamping lain yang belakangan ternyata dipegang oleh Kantor Hukum Mustari & Partners.
“Habis sidang pertama, mereka (keluarga terdakwa) nangis. Harus memilih ikut kami atau mencabut kuasa. Kami serahkan ke kelarga, kalau mau berjuang menegakkan keadilan, mari berjuang.”
Pada prosesnya, para keluarga dalam sidang dengan agenda keterangan saksi tidak di bawah sumpah, mengaku dijanjikan pembebasan segera jika mereka memilih tidak lagi bersama Tim Advokasi Solidaritas Nasional untuk Rempang. Tanpa perlu menjalani proses sidang yang panjang.
Fakta lain dalam sidang dengan agenda pembacaan pembelaan pada 4 Maret 2024 lalu, salah satu terdakwa menuturkan bahwa mereka didatangi oleh kepala daerah di Kota Batam. Juga dijanjikan pembebasan segera tanpa melalui proses peradilan secara penuh.
Dalam pertemuan tersebut, mereka diminta mengakui melakukan perbuatan sesuai dengan apa yang didakwakan kepada mereka. Para terdakwa juga disiapkan pengacara sebagai pendamping mereka dalam menjalani proses peradilan.
“Pada intinya dia mengatakan kalau kami mau mengakuinya, maka kami akan divonis ringan. Bahkan kami bisa bebas dengan satu kali persidangan.”
Dalam pembelaan tersebut, juga disampaikan ihwal pernyataan hakim yang takut gedung Pengadilan Negeri (PN) Batam bernasib sama dengan gedung Badan Pengusahaan (BP) Batam yang rusak akibat Aksi Bela Rempang yang berujung kerusuhan pada 11 September 2023 lalu. Sehingga hakim memerintahkan untuk memperketat pengamanan di lingkungan PN Kelas 1A Batam.
Pernyataan tersebut, diakui tersangka yang saat itu membacakan pembelaan mewakili semua terdakwa, menghancurkan hati mereka. Hal itu menjadi pengalaman terberat bagi para terdakwa.
“Tetapi yang membuat kami hancur pada saat itu adalah mendengar keterangan yang mulia, bahwa yang mulia yang meminta pengamanan seperti itu, karena yang mulia takut kami akan menghancurkan kantor yang mulia.”

Sidang Perdana Kasus Rempang
Pada sidang perdana di PN Batam pada 21 Desember 2023 lalu, masyarakat yang hadir untuk menyaksikan sidang, dihadang petugas dari kepolisian (Polwan) yang berjaga di pintu masuk PN Batam. Petugas menanyakan nama dan hubungan pengunjung dengan terdakwa kasus Rempang yang akan menjalani sidang.
Petugas hanya memperbolehkan keluarga inti masuk dengan jumlah terbatas.
Pembatasan ini disampaikan oleh Tim Advokasi Solidaritas Nasional untuk Rempang kepada majelis hakim yang dipimpin oleh David P Sitorus. Kepada David, mereka meminta agar sidang yang terbuka untuk umum ini tidak dinodai dengan pembatasan bagi pengunjung yang telah jauh-jauh.
Permohonan itu disampaikan pada perkara nomor: 935/Pid.B/2023/PN.Btm untuk 26 terdakwa.
Dalam kesempatan tersebut, David menyampaikan bahwa pembatasan itu atas perintahnya. Ia mengaku khawatir PN Batam akan dilempari seperti kejadian perusakan gedung BP Batam saat aksi yang berujung kerusuhan pada 11 September 2023 lalu. Berikut pernyataan David pada sidang perdana Kasus Rempang.
“Ada dibatasi rupanya? Ok. Saya yang perintahkan itu, ada yang keberatan? Saya mau kantorku ini aman. Paham ya. Kalau kalian mau datang sidang dengan tertib, silakan. Saya tidak mau kantorku dilempari, seperti kalian melempari BP Batam. Saya jelas-jelas di sini. Jadi jangan cuma mau-mau kalian aja. Kalau kalian mau tertib datang ke persidangan ini, saya izinkan. Makanya kalian saya batasi.”
“Kapasitas ruang sidang ini terbatas. Ini karena ada persidangan di sana (Ruang Sidang Utama). Sidang berikutnya akan saya pindahkan ke ruang sidang utama. Tapi dengan satu catatan, jaga ketertiban sidang. Saya orang yang paling keras, orang yang paling tegas saya. Saya nggak mau tahu. Saya tidak akan menangani sengketa kepemilikan di Rempang Galang. Itu bukan urusan saya. Yang saya tangani ini 26 orang ini. Itu urusan lain.”

Sidang Kesaksian Terdakwa
Sidang dengan agenda mendengarkan kesaksian terdakwa Kasus Rempang digelar pada 26 Februari 2024. Hakim Ketua, David P Sitorus, mengonfirmasi kepada salah satu terdakwa (Tengku Muhammad Hafizan) apakah dia minum Tuak (minuman beralkohol dari fermentasi) atau tidak saat berada di lokasi. Hasilnya, terdakwa (Tengku Muhammad Hafizan) mengatakan dia tidak munim Tuak saat itu.
David melanjutkan dengan menyatakan banyak (terdakwa) yang minum Tuak sehingga membuat mereka tidak bisa berfikir normal (Gila) saat itu. Pernyataan itu ia kuatkan dengan menyatakan barang bukti terkait para terdakwa meminum tuak itu ada. Berikut pernyataan David dalam sidang tersebut:
“Ada minum tuak kau di situ? (Tengku Muhammad Hafizan: Tidak ada yang mulia) Banyak yang minum Tuak siang-siang makanya gila. Ada semua BB (Barang-bukti) nya.”
Selanjutnya, David menjelaskan bahwa dia tidak menuduh terdakwa (Tengku Muhammad Hafizan) yang meminum Tuak. Namun di dalam Berkas Acara Pemeriksaan (BAP) tertulis bahwa ada yang minum Tuak. Demikian juga orang (Terdakwa) yang membagi-bagikan Tuak. Berikut pernyataan David di momen tersebut:
“Bukan dia (Tengku Muhammad Hafizan) yang minum Tuak. Baca BAP nya! Ada berapa orang yang minum tuak di situ (BAP). Jangan kau (Pengacara Tim Advokasi Solidaritas Nasional untuk Rempang) gembar-gembor ngomong di situ. Baca BAP nya! Baca kesluruhan BAP nya. Bukan dia (Tengku Muhammad Hafizan) kutuduh dia minum Tuak. Ada yang minum Tuak tidak? ikut minum dia tidak? bukan kutuduh dia minum Tuak.”
“Harus dibedakan itu! Kalian (Pengacara Tim Advokasi Solidaritas Nasional untuk Rempang) baca berkas itu siapa yang minum Tuak, siapa yang bagi-bagi Tuak. Ada kok pelakukanya. Siapa yang pakai narkoba. Kalian (Pengacara Tim Advokasi Solidaritas Nasional untuk Rempang) bilang tidak ada yang pakai narkoba. Silakan direkam, saya tidak masalah kalau direkam, saya punya rekaman juga kok.”
Selanjutnya, David menjelaskan bahwa ia bertanya sesuai dengan fakta yang ia temukan di BAP dan tidak mengarang.
“Saya tanyakan sama kalian (Terdakwa) seperti di BAP ini. Saya bukan mengarang-ngarang, tadi sempat ada selisih paham dengan penasihat hukum. Ada kalian sempat minum-minum di situ? Nah itu ada yang mengaku. Kalian merasa bersalah tidak?”
Masih di sidang yang sama, saat pemeriksaan terdakwa lain (Suhendra alias Saad) David P Sitorus menyatakan bahwa terdakwa jarang melihat polisi karena dia tianggal di Pulau (Pulau Karas). Ia teruskan pernyataanya dengan mengatakan bahwa di sana tidak ada polisi, ia meyakini juga tidak ada polisi tidur di sana (Pulau Karas).
“Jaranglah. Orang di pulau. Jangankan polisi, polisi tidur pun kurasa tidak ada di sana.”
David kemudian bertanya langsung ke terdakwa (Suhendra alias Saad), mengapa bisa dia mengaku melakukan pelemparan saat di BAP, sementara dalam persidangan dia mengaku tidak melakukan pelemparan.
“Di polisi, ada ndak kau (Suhendra alias Saad) akui bahwa kau melakukan ada (Suhendra: Ada). Nah itu penyakitmu. (Suhendra: Karena capek yang mulia). Karena capek dan takut, karena kau tak pernah lihat polisikan.”
Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim
Berdsarkan Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung Ri (047/Kma/Skb/Iv/2009) dan Ketua Komisi Yudisial Ri (02/Skb/P.Ky/Iv/2009) tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, Kode Etik dan Pedoman Perilaku diimplementasikan dalam 10 aturan perilaku. Yakni Berperilaku Adil; Berperilaku Jujur; Berperilaku Arif dan Bijaksana; Bersikap Mandiri; Berintegritas Tinggi; Bertanggung Jawab; Menjunjung Tinggi Harga Diri; Berdisplin Tinggi; Berperilaku Rendah Hati; dan Bersikap Profesional.
Tim Advokasi Solidaritas Nasional untuk Rempang, menilai ada pernyataan hakim yang bertentangan dengan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim berdsarkan Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung Ri (047/Kma/Skb/Iv/2009) Dan Ketua Komisi Yudisial Ri (02/Skb/P.Ky/Iv/2009) ini. Mereka menduga Hakim Ketua, David P Sitorus, mengabaikan prinsip Berprilaku Adil yang merupakan aturan pertama dalam Pedoman Kode Etik dan Perilaku Hakim.
Untuk diketahui, penjelasan Berperilaku Adil dalam aturan etika hakim tersebut, bermakna menempatkan sesuatu pada tempatnya dan memberikan yang menjadi haknya, yang didasarkan pada suatu prinsip bahwa semua orang sama kedudukannya di depan hukum. Dengan demikian, tuntutan yang paling mendasar dari keadilan adalah memberikan perlakuan dan memberi kesempatan yang sama (equality and fairness) terhadap setiap orang.
Oleh karenanya, seseorang yang melaksanakan tugas atau profesi di bidang peradilan yang memikul tanggung jawab menegakkan hukum yang adil dan benar harus selalu berlaku adil dengan tidak membeda-bedakan orang.
Pada praktiknya, hakim wajib melaksanakan tugas-tugas hukumnya dengan menghormati asas praduga tak bersalah, tanpa mengharapkan imbalan. Hakim wajib tidak memihak, baik di dalam maupun di luar pengadilan, dan tetap menjaga serta menumbuhkan kepercayaan masyarakat pencari keadilan.
Hakim dilarang memberikan kesan bahwa salah satu pihak yang tengah berperkara atau kuasanya termasuk penutut dan saksi berada dalam posisi yang istimewa untuk mempengaruhi hakim yang bersangkutan.
Hakim dalam menjalankan tugas yudisialnya dilarang menunjukkan rasa suka atau tidak suka, keberpihakan, prasangka, atau pelecehan terhadap suatu ras, jenis kelamin, agama, asal kebangsaan, perbedaan kemampuan fisik atau mental, usia, atau status sosial ekonomi maupun atas dasar kedekatan hubungan dengan pencari keadilan atau pihak pihak yang terlibat dalam proses peradilan baik melalui perkataan maupun tindakan.
Hakim dilarang bersikap, mengeluarkan perkataan atau melakukan tindakan lain yang dapat menimbulkan kesan memihak, berprasangka, mengancam, atau menyudutkan para pihak atau kuasanya, atau saksi-saksi, dan harus pula menerapkan standar perilaku yang sama bagi advokat, penuntut, pegawai pengadilan atau pihak lain yang tunduk pada arahan dan pengawasan hakim yang bersangkutan.
Hakim harus memberikan keadilan kepada semua pihak dan tidak beritikad semata-mata untuk menghukum. Hakim dilarang menyuruh/mengizinkan pegawai pengadilan atau pihak-pihak lain untuk mempengaruhi, mengarahkan, atau mengontrol jalannya sidang, sehingga menimbulkan perbedaan perlakuan terhadap para pihak yang terkait dengan perkara.
Pernyataan David pada sidang perdana tersebut, dinilai tidak mengedepankan prinsip praduga tak bersalah tanpa mengharapkan imbalan yang harus dipraktekkannya.
Selain itu, David juga dinilai melanggar prinsip Berperilaku Rendah Hati. Menurut Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung Ri (047/Kma/Skb/Iv/2009) Dan Ketua Komisi Yudisial Ri (02/Skb/P.Ky/Iv/2009) tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim tersebut, Rendah Hati bermakna kesadaran akan keterbatasan kemampuan diri, jauh dari kesempurnaan dan terhindar dari setiap bentuk keangkuhan.
Rendah hati akan mendorong terbentuknya sikap realistis, mau membuka diri untuk terus belajar, menghargai pendapat orang lain, menumbuh kembangkan sikap tenggang rasa, serta mewujudkan kesederhanaan, penuh rasa syukur dan ikhlas di dalam mengemban tugas.
Pada praktiknya, hakim harus melaksanakan pekerjaan sebagai sebuah pengabdian yang tulus, pekerjaan Hakim bukan semata-mata sebagai mata pencaharian dalam lapangan kerja untuk mendapat penghasilan materi, melainkan sebuah amanat yang akan dipertanggungjawabkan kepada masyarakat dan Tuhan Yang Maha Esa.
Hakim tidak boleh bersikap, bertingkah laku atau melakukan tindakan mencari popularitas, pujian, penghargaan dan sanjungan dari siapapun juga.
Sesuai Prosedur
Juru Bicara (Jubir) PN Kelas 1A Batam, Welly Irdianto, mengatakan proses persidangan Kasus Rempang sejak awal juga sudah dipantau secara online oleh Komisi Yudisial (KY) penghubung Riau. Sehingga pengawasan terhadap etika hakim dalam persidangan sudah berjalan.
PN Kelas 1A Batam, lanjut Welly saat ditemui 26 Maret 2024, pada prinsipnya melihat jalanya persidangan terkait Kasus Rempang sudah berjalan sesuai dengan prosedur yang berlaku.
Terkait dengan dugaan adanya pelanggaran etika pada beberapa hal, hal itu bergantung pada pandangan subjektif dari masing-masing pihak. Salah satunya, momen dimana hakim memerintahkan pengetatan pengamanan PN Batam pada sidang perdana karena khawatir akan bernasib sama dengan gedung BP Batam yang rusak akibat aksi damai yang berakhir ricuh pada 11 September 2023 lalu.
“Kalau untuk masalah dikhawatirkan akan membuat kerusuhan, masing-masing pihak itu pandangan yang subjektif. Apalagi sidang ini sudah dipantau Komisi Yudisial yang berwenang di ranah etik.”
Komisi Yudisial (KY) beberapa kali terlihat memantau langsung persidangan Kasus Rempang nomor: 937/Pid.B/2023/PN.Btm dan nomor: 937/Pid.B/2023/PN.Btm yang dipimpin oleh David P Sitorus dan hakim anggota Benny Yoga Dharma dan Monalisa Anita Theresia Siagian ini. KY hadir langsung setidaknya tiga kali dari semua persidangan Kasus Rempang di PN Batam.
Di antaranya saat pembacaan putusan pada 6 April 2024, tanggapan jaksa atau replik pada 13 Maret 2024, dan agenda sidang pemeriksaan saksi pada 29 Januari 2024 lalu.
Sebelum itu, pada 12 Januari 2024, Tim Solidaritas Nasional untuk Rempang menyambangi kantor Komisi Yudisial (KY) RI di Jakarta. Mereka membuat pengaduan dan permohonan pemantauan persidangan 35 Terdakwa peristiwa aksi bela Rempang di depan kantor BP Batam pada 11 September 2023 lalu.
Kehadiran KY, sejatinya diharapkan lebih cepat. Karena sebelum proses peradilan yang diduga memuat pelanggaran etik hakim ini, Tim Advokasi Solidaritas juga menilai ada dugaan pelanggaran etik pada proses praperadilan Kasus Rempang pada 31 Oktober sampai 7 November 2023 lalu.
Papan Bunga dan Keadilan
Seperti Papan Bunga yang raib dari depan halaman Pengadilan Negeri (PN) Kelas 1A Batam pada Minggu (5/11/2023) malam, putusan hakim dalam sidang gugatan terhadap kepolisian terkait penangkapan, penahanan dan penetapan tersangka atau praperadilan terhadap 30 tahanan yang diamankan saat demonstari berujung kericuhan di Kantor Badan Pengusahaan (BP) Batam pada 11 September 2023 lalu, juga diyakini memperlihatkan matinya lonceng keadilan di PN Batam.
Senin (6/11/2023) Sapri Tarigan, hakim tunggal di ruang sidang Mudjono; Yudith Wirawan di ruang sidang Letjen TNI Purn Alisaid; dan Edy Samaeaputty di ruang sidang Purwoto Ganda Subrata, menolak gugatan terhadap 25 permohonan untuk 30 tahanan yang berada dalam dampingan Tim Advokasi Solidaritas Nasional untuk Rempang.
Mangara Sijabat, Direktur LBH Mawar Saron Batam waktu itu, bagian Tim Advokasi Solidaritas Nasional untuk Rempang, menyatakan matinya rasa keadilan dan lonceng keadilan di Pengadilan Negeri Batam bersama hadirnya putusan ini. Pihaknya sangat menyesalkan keputusan hakim yang memimpin sidang.
Mengenai papan bunga yang raib itu, adalah wujud pesan dukungan untuk warga yang saat itu ditahan, pesan agar hakim memberi keputusan yang adil, juga ungkapan kerinduan dari keluarga para tahanan. Berikut beberapa diantaranya:
“Pak Hakim bebaskan saudara-saudara kami” di bagian bawah tulisan ini, ada tulisan besar “Masyarakat Melayu”
“Kejujuranmu akan membuat kami bangga dan andalkan tuhan dalam setiap keputusanmu. Jangan takut. Rakyat bersamamu” tulisan ini dilengkapi dengan informasi pengirim dengan tulisan “Dari keluarga yang sudah rindu dengan keluarganya”
“Hakim praperadilan, jangan takut. Rakyat bersamamu” tulisan ini dari Masyarakat Melayu seperti tertera dalam papan bunga tersebut.
“Pak hakim, saking cintanya kami akan kebenaran hukum, kita kirim bunga ini. Artinya kita monitor sidang praperadilan ini” di bagian bawahnya tertulis “Rakyat-rakyat yang cinta akan keadilan dan penegakan hukum”
“Lebih baik membebaskan seribu orang yang bersalah, dari pada menghukum satu orang yang tidak bersalah”
“Keadilan untuk saudara kami, keadilan untuk semua”

Kapolresta Barelang, Kombes Nugroho Tri Nuryanto, mengaku baru mengetahui kejadian ini. Ia tidak ingin berspekulasi, karena banyak kemunkinan yang menyebabkan papan bunga itu raib, selain akibat pencurian.
Hilangnya rasa keadilan di PN Batam, seperti diuangkapkan tim pendamping, diratapi keluarga tahanan. Mereka tak kuasa menahan tangis, meracau, menuturkan kata-kata yang menyiratkan rasa sedih, juga heran, tidak menyangka hakim memutuskan menolak gugatan dari tim kuasa hukum yang menangani keluarga mereka.
Tangis mereka hadir bahkan sebelum putusan dibacakan. Saat itu, harap dan pinta mereka agar keluarga, baik suami maupun anak yang saat ini ditahan bisa segera kembali ke keluarga. Mereka dedahkan kebingungan ketika anak-anak bertanya tentang ayahnya. Mereka utarakan dengan tangis, suara meteka bergetar, penanda suasana hati yang lara tengah menimpa.
Emawati, istri dari Saprianto, satu dari 35 warga yang ditahan saat kerusuhan di depan gedung BP Batam itu, datang bersama ibu dan dua anaknya. Dari Kampung Tua Tanjung Uma, Kecamatan Lubuk Baja, ia berkendara menggunakan sepeda motor.
Menjelang putusan, Emawati berurai air mata, lebih-lebih saat mengetahui hasil gugatan itu tidak memihak pada suaminya dan warga lain yang tengah ditahan. Mereka merangkul satu sama lain, berbagi tangis, sedih dan kecewa.
Sambil menggendong putrinya, ia mengatakan tidak tahu lagi harus melakukan apa. Ia tidak menemukan keadilan dari ketetapan pengadilan bagi suaminya. Ibunya juga demikian, menangis.

Menyusul Emawati, suara para ibu yang anaknya ditahan, tangis istri yang suaminya diamankan, menggema. Lantang menyuarakan hilangnya keadilan di PN Batam.
Even Sembiring, Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Riau, bagian Tim Advokasi Solidaritas Nasional untuk Rempang, menerangkan salah satu poin pertimbangan hakim yang menolak gugatan mereka. Hakim beranggapan bahwa pemberitaan media merupakan fakta yang tidak perlu buktikan, sesuai dengan pasal 184 ayat (2) KUHAP.
Even meminta kepada keluarga tahanan untuk berdoa. Mengajukan permohonan pada tuhan untuk menunjukkan keadilan yang sebenarnya apabila proses peradilan ini penuh dengan kecurangan dan kejahatan.
Papan bunga berisi dukungan untuk warga dan pesan untuk hakim menegakkan keadilan tidak kembali sampai sidang putusan selesai. Berganti dengan pesan berbeda dari papan bunga lain yang datang, selain pesan duka atas meninggalnya salah satu hakim PN Batam pada Minggu (4/11/2023) malam. Isinya seperti berikut:
“Bagi siapapun, jangan coba menghasut masyarakat dengan isu-isu sesat, karena memprovokasi bisa dipidana”
“Karna cinta kami pada masyarakat pemerhati sidang, ingat jangan anarkis kalau tak ingin masuk penjara”
Hari semakin gelap, warga berangsur meninggalkan PN Batam. Di antara mereka yang bergerak, seorang warga terlihat duduk di beton penghalang tanah berisi tanaman di depan lobby PN Batam.
Ia memakai songkok hitam, jaket dengan warna serupa dan kemeja di bagian dalamnya. Satu kancing baju dalamnya tidak terpasang. Warga tersebut diam, tidak menghiraukan warga lain yang berlalu. Dari tempat ia duduk, terlihat kendaraan lalu lalang, mengangkut warga untuk pulang, meninggalkan PN Batam.
Suaranya terdengar, tapi pelan. Ia mengaku bingung bagaimana menyampaikan kabar ditolaknya permohonan praperadilan ini pada istrinya yang menunggu di rumah. Padahal, besar harapan istrinya dapat melihat anak tertuanya bebas setelah hampir dua bulan ditahan, melalui praperadilan ini.
Apa daya, layaknya 11 dari 14 keping papan bunga dalam tujuh set ucapan yang raib, harapan itu juga hilang, bersama matinya lonceng keadilan di PN Batam, seperti kata Tim Advokasi Solidaritas Nasional untuk Rempang.
Warga Rempang di Ruang Peradilan
Sepanjang jalannya persidangan Kasus Rempang, baik itu praperadilan maupun peradilan, warga Pulau Rempang selalu hadir. Di momen-momen krusial seperti pembacaan putusan, mereka datang dalam jumlah banyak. Sebagai bentuk solidaritas pada warga yang telah berjuang untuk mendukung mereka mempertahankan ruang hidup yang mereka yakini sebagai hak.
Solidaritas itu juga mereka tunjukkan pada keluarga para terdakwa. Mereka mengumpulkan donasi untuk membantu ekonomi keluarga puluhan terdakwa yang harus menjalani proses hokum. Hal itu beberapa kali mereka lakukan, bersamaan dengan kegiatan di Pulau Rempang, dalam rangka mempertahankan tanah yang diwariskan secara turun temurun sejak ratusan tahun lalu.
Menyambut kedatangan para terdakwa ketika sampai di Pengadilan Negeri (PN) Batam adalah ritual rutin bagi masyarakat Rempang dan keluarga terdakwa. Bersamaan dengan itu, mereka juga siapkan makan dan minum yang langsung dibagikan sebelum para terdakwa menjalani persidangan.
Aktivitas menyambut dan menyediakan makanan untuk para terdakwa itu rutin terlaksana pada setiap sidang, dua kali seminggu yang tergelar di PN Batam. Ini menjadi keunikan tersendiri, kebaruan yang nampak di terjadi di PN Batam, selama ini kondisi itu belum terjadi.

Peluk hangat keluarga dan warga mengiringi langkah para terdakwa menuju tahanan sementara, menjelang mereka menjalani persidangan. Mereka balas dengan buah tangan berupa bunga dari plastic dan miniature kapal layar dari kardus. Hadiah untuk kerabat dan anak-anak mereka yang terus memberi dukungan.
Siti Hawa, warga Pulau Rempang yang selalu hadir dalam setiap sidang Kasus Rempang di PN Batam, menuturkan apa yang mereka lakukan tidak sebanding dengan perjuangan warga yang kini menjadi terdakwa dan harus menjalani proses persidangan. Dukungan para terdakwa sangat berarti dan sangat diapresiasi masyarakat Pulau Rempang.
Siti Hawa mengaku terus mendorong masyarakat Rempang untuk hadir membersamai para terdakwa. Sebagai bentuk apresiasi dan penghargaan atas perjuangan untuk masyarakat Rempang.