
Nur Suarni, kakak dari Rusmawati, pemilik rumah di Kampung Tanjung Banon yang digusur tim terpadu. Nur Suarni mengaku mengalami tindak kekerasan oleh personil BP Batam saat penggusuran itu.-Edisi/ist.
EDISI.CO, BATAM– Tim Advokasi Solidaritas Nasional untuk Rempang mengecam tindakan kekerasan yang dilakukan oleh Badan Pengusahaan (BP) Batam terhadap masyarakat Pulau Rempang pada Selasa, 8 Juli 2025 pagi. Nur Suarni (65) menjadi korban tindak kekerasan oleh petugas saat akan merobohkan rumah milik adiknya, Rosmawasti (54) di kampung Tanjung Banon.
Dalam keterangan yang diterima pada Kamis (10/7/2025), dijelaskan bahwa kejadian bermula pada saat Tim Terpadu yang terdiri dari TNI, Polri, Satpol PP dan Ditpam BP Batam dengan jumlah sekitar 600 personel mendatangi rumah Rusmawati di Tanjung Banon. Rusmawati adalah warga yang masih bertahan dan menolak ganti rugi di lokasi yang akan dijadikan kawasan rumah relokasi bagi warga terdampak proyek Rempang.
Tim Terpadu kemudian menyuruh orang yang ada di rumah tersebut, yakni, Nur Suarni (65), Rusmawati (54) dan anaknya keluar dan mengosongkan rumah. Setelah penghuni rumah tersebut keluar, Tim Terpadu melakukan pagar betis mengelilingi rumah dan membuat penghuni rumah tidak dapat masuk kembali untuk mengambil barang dan dokumen berharga mereka ada di dalam rumah.
“Masih ada barangku didalam rumah dan berilah aku kesempatan terakhir untuk memvideokan proses perubahan rumahku karena ada makam anakku dibelakang rumah ini,” kata Rusmawati dalam keterangan tersebut.
Baca juga: Kebun dan Rumah Warga Rempang Digusur Paksa Tim Terpadu
Namun, sesaat setelah mengambil barang dan surat berharga lainnya, Rusmawati ditarik paksa pada saat mencoba memvideokan proses perobohan rumahnya, Nur Suarni yang juga berada dilokasi tersebut juga ditarik secara paksa dan digotong masuk ke dalam mobil.
Dengan kasar Tim Terpadu mencampakkan Nur Suarni ke dalam mobil dan dihimpit oleh 2 (dua) orang Ditpam BP Batam dalam keadaan mobil dikunci, 2 (dua) orang di depan dan 1 (satu) orang dibelakang.
Kemudian mobil tersebut melaju dengan cepat dari Tanjung Banon ke arah Batam, Nur Suarni yang memiliki riwayat penyakit jantung meminta untuk mengurangi kecepatan mobil karena ia merasakan takut dan sakit perut selama perjalanan.
Nur Suarni meminta untuk berhenti karena ia ingin buang air besar, namun salah satu Tim terpadu mengatakan untuk buang air besar saja di dalam mobil, sampai pada akhirnya Nek Nur buang air besar di dalam mobil tersebut, kemudian mengetahui hal tersebut Tim Terpadu malah memarahi Nek Nur dan kemudian mobil tersebut berhenti di simpang Sei Raya untuk membersihkan kotoran tersebut.
Setelah membersihkan, mobil kemudian melaju dengan kencang menuju batam dan sekali lagi Nur Suarni meminta untuk mengurangi kecepatan karena ia merasa sangat takut. Namun Ditpam BP Batam malah mengatakan sesuatu yang membuat Nur Suarni semakin ketakutan.
“Diam aja, biar kita mati bersama.”
Mendengar respon tersebut Nur Suarni shock dan tidak sadarkan diri, dan selanjutnya yang ia tahu bahwa ia diturunkan di rumah hunian sementara yang berada di Batu Aji, Batam.
“BP Batam telah melakukan perbuatan yang tidak manusiawi dan melanggar Hak Asasi Manusia (HAM). Darimana wewenang BP Batam membawa secara paksa Warga Negara diluar kehendaknya dan bagi kami ini merupakan perampasan kemerdekaan orang”, kata Andri Alatas Direktur YLBHI-LBH Pekanbaru, merespon hal tersebut.
Andri melanjutkan, dalam Pasal 328 KUHP berbunyi: “Barangsiapa membawa pergi seorang dari tempat kediamannya atau tempat tinggalnya sementara dengan maksud untuk menempatkan orang itu secara melawan hukum dibawah kekuasaannya atau kekuasaan orang lain, atau untuk menempatkan dia dalam keadaan sengsara, diancam karena penculikan dengan pidana penjara paling lama 12 tahun.”.
Baca juga: Koalisi Masyarakat Sipil Gugat Pasal-pasal Proyek PSN dalam UU Cipta Kerja, Warga Rempang Ambil Bagian
Pasal 333 KUHP yang berbunyi:
“1). Barangsiapa dengan sengaja dan melawan hukum merampas kemerdekaan seseorang, atau meneruskan perampasan yang kemerdekaan yang demikian, diancam dengan pidana penjara paling lama 8 tahun.
2). Jika perbuatan itu mengakibatkan luka-luka berat maka yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama 9 tahun.”
Polisi Tolak Aduan Warga Rempang
Dalam keterangan tersebut, Andri sangat menyayangkan SPKT Polresta Barelang menolak laporan Nur Suarni. Ia juga tak menyangka ketika mengetahui petugas SPKT malah menyarankan Nur Suarni bersama warga untuk melaporkan kejadian ini ke Ketua Tim Terpadu BP Batam.
“Respon ini tentu saja menunjukkan minimnya pengetahuan Kepolisian Polresta Barelang terhadap hukum acara, dalam Pasal 5 angka 1 KUHAP penyelidik wajib menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana dan lebih jauh lagi dalam Perkap Nomor 7 Tahun 2022 tentang Kode Etik dan Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia pada Pasal 12 huruf a menyebutkan “Setiap pejabat Polri dalam etika kemasyarakatan dilarang menolak Laporan atau Pengaduan dari masyarakat dan huruf f menyebutkan Polri dilarang mempersulit masyarakat yang membutuhkan perlindungan, pengayoman dan pelayanan,” tambah Andri.

Ahlul Fadli, Manager Kampanye dan Pengarusutamaan Keadilan Iklim WALHI Riau, menyebutkan penggusuran paksa yang dilakukan Ditpam BP Batam terhadap masyarakat di kampung Tanjung Banon akan memperpanjang konflik lahan di Pulau Rempang. Hal ini tidak sejalan dengan komitmen pemerintah Kota Batam dan Menteri Transmigrasi yang menyebutkan akan memberikan solusi yang adil dan berpihak kepada masyarakat.
“Penggusuran paksa oleh Ditpam BP Batam membongkar rumah dan merusak kebun masyarakat merupakan pelanggaran sepihak tanpa mengedepankan kemanusiaan,” Ujar Ahlul.
Menurut Ahlul, penggusuran paksa merupakan tindakan yang melanggar hak asasi manusia, terutama hak atas tempat tinggal yang layak dan aman, serta dapat berdampak negatif pada mata pencaharian dan kondisi sosial ekonomi masyarakat yang terdampak.
“Penggusuran paksa masyarakat di Pulau Rempang akibatkan hilangnya sumber kehidupan masyarakat dan hilangnya sumber mata pencaharian mereka sebagai nelayan dan pekebun,” kata Ahlul.
Apapun bentuk program dan pendekatan kepada masyarakat tetap pada akhirnya menggusur, perilaku arogan aparat pemerintah merampas tanah ulayat dan ruang hidup masyarakat hanya untuk mengejar pembangunan proyek Rempang Eco-City.
Tim Solidaritas Nasional untuk Rempang mengecam penggusuran paksa yang dilakukan oleh BP Batam.
Dalam Pasal 11 ayat 1 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya yang telah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 menyebutkan “Negara pihak pada kovenan ini mengakui hak setiap orang atas standar kehidupan yang layak baginya dan keluarganya termasuk pangan, sandang dan perumahan, dan atas perbaikan kondisi hidup terus menerus.
Negara akan mengambil langkah-langkah yang memadai untuk perwujudan hak ini dan dalam Undang-Undang Dasar disebutkan dalam Pasal 28H disebutkan setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh layanan kesehatan.
Oleh karena itu Tim Advokasi Solidaritas Nasional mendesak:
1. Kepolisian untuk menerima Laporan Polisi yang dilakukan oleh masyarakat dan mendesak proses hukum yang adil dan transparan terhadap pelaku kekerasan;
2. Meminta Propam Polda Kepri mengusut dugaan pelanggaran etik yang dilakukan SPKT Polresta Barelang;
3. Komnas HAM untuk turun dan melakukan penyelidikan terhadap dugaan pelanggaran HAM berat atas penggusuran paksa dan kekerasan yang dilakukan Tim Terpadu BP Batam;
4. Ombudsman untuk mengusut dan menindak dugaan maladministrasi yang dilakukan Tim Terpadu BP Batam;
5. DPR RI untuk mengevaluasi Proyek Rempang Eco City dan pembubaran BP Batam.
Siaran Pers Tim Solidaritas Nasional untuk Rempang