
Edisi/bpbatam.go.id
● Mayoritas infrastruktur dan sistem pengelolaan air di Indonesia belum mempertimbangkan skenario perubahan iklim.
● Hal ini membuat sistem ini mudah kolaps saat menghadapi cuaca ekstrem.
● Kita perlu merombak sistem tata kelola air menjadi lebih adaptif, desentralistik, dan integratif, dengan melibatkan partisipasi masyarakat.
EDISI.CO, CATATAN EDISIAN– Perubahan iklim membuat cuaca ekstrem makin sering terjadi. Sayangnya, sistem tata kelola air kita belum siap menghadapinya.
Mayoritas infrastruktur dan sistem pengelolaan air di Indonesia masih dibangun berdasarkan asumsi lama saat iklim relatif stabil, belum mempertimbangkan skenario perubahan iklim.
Hal ini terlihat dari bagaimana infrastruktur seperti bendungan, tanggul, dan sistem irigasi dirancang dengan mengacu pada pola curah hujan dan suhu yang stabil. Padahal, cuaca kini tak menentu.
Akibatnya, sistem yang kita miliki mudah kolaps saat menghadapi cuaca ekstrem. Ketika hujan lebat mengguyur, jalan-jalan utama bisa tergenang hanya dalam hitungan jam. Sebaliknya, ketika kemarau datang, banyak wilayah mengalami kekeringan dan kekurangan air bersih.
Butuh pendekatan baru
Untuk menghadapi cuaca ekstrem dan krisis iklim, kita perlu merombak sistem tata kelola air menjadi lebih luwes, tersebar, dan terpadu, dengan melibatkan partisipasi masyarakat.
- Sistem yang luwes
Sistem air masa depan harus mampu beradaptasi dengan kondisi lingkungan yang terus berubah.
Salah satu contohnya ada di Bali. Beberapa kelompok subak—sistem irigasi tradisional berbasis komunitas—mulai menyesuaikan jadwal tanam berdasarkan curah hujan terkini.
Dengan sistem ini, air irigasi tidak perlu membanjiri sawah secara terus-menerus. Kelompok subak membasahi lahan secara bergilir sesuai kebutuhan tanaman dan kondisi iklim.
Metode ini dikenal sebagai intermittent flooding atau nyorog, meninggalkan kalender musiman konvensional.
Data lapangan menunjukkan penerapan sistem pengairan selang-seling ini menghasilkan rata-rata panen padi 10,9 ton per hektare. Hasil panen tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan sistem pengairan terus-menerus atau FLD yang hanya menghasilkan 6,35 ton per hektare.
Studi di Subak Guama mencatat peningkatan efisiensi penggunaan air irigasi dari 69,05% menjadi 86,52% melalui strategi nyorog—membagi jadwal tanam dalam empat kelompok bergilir per setengah bulan. Teknik ini juga mampu menurunkan emisi gas rumah kaca hingga 85% dan meningkatkan hasil panen hingga 72%.
Artinya, penyesuaian jadwal tanam berbasis kondisi nyata bukan hanya menghemat air, tetapi juga meningkatkan hasil panen secara signifikan.
- Desentralisasi
Saat ini, sebagian besar sistem air Indonesia sangat bergantung pada satu sumber besar seperti sungai atau bendungan utama. Hal ini membuat seluruh jaringan menjadi sangat rentan ketika sumber besar tersebut tergangggu.
Kita perlu mendorong pendekatan desentralistik, yakni pengelolaan air secara mandiri di tingkat lokal atau individu. Caranya bisa melalui penampungan air hujan, sistem penyimpanan lokal (rain tank), dan sumur resapan di rumah, sekolah, kantor, serta fasilitas publik lainnya.
Baca juga: Perempuan-Perempuan Dayak Melawan Dampak Tambang Batu Bara dengan Kebun Cabai
Selain mengurangi tekanan pada sistem pasokan air terpusat dan memperkecil risiko gangguan layanan saat terjadi bencana atau kerusakan infrastruktur utama, pengelolaan air hujan seperti ini penting untuk ketahanan air jangka panjang.
Selain itu, sistem ini juga bisa membantu mengelola limpasan air hujan secara lebih efektif, sehingga banjir lebih mudah dicegah.
Pemerintah DI Yogyakarta sudah mulai melakukan pendekatan ini dengan membangun lebih dari 2.700 sumur resapan di kawasan pemukiman.
Dampaknya sudah terasa. Contohnya di kawasan Pogung Baru, Sleman, pembangunan sumur resapan mampu mengurangi limpasan air hingga sekitar 70%. Sementara di area kampus UGM, debit air permukaan menurun antara 5–11%.
Di Lampung, tim Institut Teknologi Sumatra (ITERA) bekerja sama dengan sekolah-sekolah dasar membangun sistem pemanenan air hujan. Hasilnya, air hasil tangkapan cukup untuk keperluan domestik sekolah dan mengurangi ketergantungan pada air tanah.
- Terintegrasi lintas sektor dan wilayah
Air tak mengenal batas administrasi. Namun pengelolaan air di Indonesia masih terkotak-kotak antara pusat dan daerah, antarkementerian, bahkan antar instansi di satu wilayah.
Solusi jangka panjang pengelolaan air membutuhkan integrasi lintas sektor dan tata ruang, pertanian, lingkungan, dan masyarakat.
Dalam hal ini, pemerintah pusat harus menjadi koordinator utama, menetapkan standar nasional. Pemerintah juga perlu membangun sistem pemantauan berbasis data.
Indonesia memang mempunyai Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2019 yang mengatur tata kelola air. Namun, pelaksanaannya masih lemah.
Kita tertinggal jauh dengan Singapura yang sudah menerapkan Four Taps Strategy. Melalui strategi ini, Singapura mnerapkan diversifikasi sumber air nasional mencakup daerah tangkapan lokal, air impor, air daur ulang, dan desalinasi, untuk memastikan ketahanan air jangka panjang.
Pendekatan ini pun tak hanya fungsi sebagai drainase dan penyimpanan air, tetapi juga rekreasi, estetika, dan pelestarian lingkungan lewat ABC Waters Programme.
Air sebagai hak dan tanggung jawab bersama
Tata kelola air tak bisa lagi dianggap sebagai urusan teknis belaka. Ini menyangkut hak dasar warga, keadilan ekologis, serta ketahanan sosial-ekonomi dalam menghadapi perubahan iklim.
Kita perlu menggeser paradigma dari “mengatasi krisis” menjadi “membangun ketahanan”. Oleh karena itu, kita perlu berinvestasi pada sistem yang lentur, kolaboratif, dan berbasis masyarakat.
Sistem pengairan seharusnya tidak runtuh saat kondisi ekstrem melanda, tapi justru mampu beradaptasi dan bangkit lebih kuat.
Air adalah milik bersama. Mengelolanya dengan bijak di tengah krisis iklim adalah tanggung jawab kita semua. Kita harus bertindak sekarang, jangan menunggu krisis air benar-benar terjadi.
Krisis air adalah ancaman nyata dan sedang berlangsung yang memengaruhi banyak negara, termasuk yang kaya sumber daya alam jika pengelolaannya tidak optimal.
Penulis: Muhammad Hakiem Sedo Putra, Dosen Rekayasa Tata Kelola Air Terpadu, Institut Teknologi Sumatera
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.