
Ilustrasi stunting. Dok; Ist.
● Keluarga miskin memiliki kecenderungan tinggi untuk mewariskan kemiskinannya ke anak-anaknya.
● Akses pendidikan dan kesehatan yang memadai sulit didapat oleh anak-anak dari keluarga miskin.
● Kolaborasi semua pihak terkait termasuk lembaga filantropi perlu ditingkatkan untuk mengentaskan kemiskinan nasional
EDISI.CO, CATATAN EDISIAN– Kemiskinan penduduk berisiko menciptakan kemiskinan anak. Sebab, kondisi miskin membatasi akses anak untuk kebutuhan dasar seperti pendidikan dan kesehatan demi memperbaiki nasib mereka.
Menurut publikasi Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023 tentang Kesejahteraan Anak Indonesia, sekitar 12 dari 100 anak Indonesia berusia 0 – 17 tahun pada tahun 2022 berada dalam kondisi miskin.
Definisi kemiskinan anak sendiri menurut Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) adalah mereka yang mengalami deprivasi pada material, spritual, dan emosional yang dibutuhkan untuk bertahan hidup dan berkembang, tidak dapat menikmati hak-haknya, tidak dapat mencapai potensi diri atau berpartisipasi secara penuh dan setara dalam lingkup sosial.
Demografi ini menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan anak ternyata jauh lebih tinggi dari tingkat kemiskinan penduduk yang secara keseluruhan yang telah berada pada angka satu digit pada tahun tersebut.
Anak-anak yang tinggal bersama orang tua tunggal, berada satu atap bersama-sama dengan kakek/nenek, ditambah dengan jumlah anggota rumah tangga yang lebih banyak berisiko lebih tinggi untuk menjadi miskin.
Kemiskinan yang diwariskan ke anak merupakan pusaran kesialan yang perlu kita akhiri. Pertanyaannya: Dari mana kita langkah ini bisa kita mulai?
Faktor kesehatan dan gizi anak
Agar seorang anak tidak jatuh miskin, jaminan pertama yang perlu kita penuhi adalah sanitasi yang layak. Pola hidup bersih dengan ketersediaan fasilitas sanitasi memadai bisa mencegah stunting.
Ada tiga poin penting mendasar yang perlu diperhatikan yakni pola asuh yang baik, perbaikan pola makan serta perbaikan sanitasi lingkungan. Karena itulah, mengentaskan kemiskinan anak juga harus memperhatikan berbagai aspek.
Itu sebabnya di Indonesia 2 dari 5 anak mengalami multiple deprivation atau belum terpenuhi haknya setidaknya pada dua dimensi kesejahteraan anak. Deprivasi atau kekurangan terbanyak berasal dari dimensi kesehatan juga terkait sanitasi.
Sekitar 31,27% anak-anak kekurangan akses fasilitas air minum. Di perdesaan yang seharusnya memiliki cadangan air yang lebih besar, sekitar 15,56% anak-anak justru tidak mendapatkan air minum yang layak. Bandingkan dengan di perkotaan, hanya ada 4,67% anak-anak yang kekurangan akses air minum.
Begitupun dengan soal sanitasi yang layak, 23,05% anak-anak di perdesaan yang haknya belum terpenuhi. Sementara di perkotaan terdapat 16.06% anak yang tidak mendapatkan sanitasi yang layak.
Dalam dimensi Kesehatan, hampir separuh anak-anak (42,17%) mengalami deprivasi. Deprivasi pada dimensi ini dipengaruhi oleh masih rendahnya kepemilikan jaminan kesehatan pada anak usia 0-4 tahun dan rendahnya capaian Imunisasi Dasar Lengkap (IDL) pada kelompok umur yang sama.
Padahal, UU Perlindungan Anak mengatur hak anak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial. Hingga akhirnya kemudian direvisi dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2016
Sementara dalam dimensi makanan dan nutrisi, terdapat 16,20% anak-anak yang kekurangan. Hampir setengah dari anak-anak usia 6-23 bulan (41,96%) belum mengonsumsi makanan secara beragam.
Keragaman pangan minimum atau minimum dietary diversity (MDD) berhubungan erat dengan status gizi dan nutrisi pada anak. Berbeda pola dari angka rawan pangan dan ASI eksklusif, anak yang kekurangan dalam indikator ini lebih banyak ditemukan di perdesaan (48,91%) dibandingkan di perkotaan (36,66%).
Balita yang mengkonsumsi pangan kurang seragam berisiko mengalami berat badan rendah. Dampak tersebut dalam jangka panjang akan mengakibatkan stunting pada anak, dan permasalahan status gizi anak.
Pendidikan tidak kalah penting
Agar naik ke kelas sosial yang lebih tinggi, maka anak-anak dari rumah tangga di bawah garis kemiskinan harus bersekolah lebih tinggi. Namun sayangnya, banyak keluarga yang tak sanggup dengan pilihan yang berat ini.
Lagi-lagi anak-anaklah yang menjadi korban. Mimpi bisa bersekolah tinggi dengan seluruh hak-haknya tercukupi tak pernah terealisasi.
Sebanyak 26,04% anak yang tinggal bersama kepala rumah tangga (KRT) yang tidak bisa membaca dan menulis adalah anak-anak miskin. Angka ini lebih dari dua kali lipat jika dibanding 11,47% anak yang kepala rumah tangganya yang melek aksara namun miskin.
Jika kita menelisik dimensi pendidikan, masih ada 18,10% anak-anak yang belum terpenuhi haknya. Sekitar 65,18% anak umur 3-6 tahun belum mengakses pendidikan anak usia dini.
Sementara bagi anak kelompok umur 13-15 tahun maupun 16-17 tahun di perdesaan, angka putus sekolah cenderung lebih tinggi dibandingkan di perkotaan. Sekitar 13 dari 100 anak usia 16-17 tahun di perdesaan tidak bisa menyelesaikan pendidikan menengah pertamanya.
Selain akses pendidikan, rendahnya kualitas pendidikan erat kaitannya dengan kedalaman kemiskinan.
Baca juga: Warga Rempang Tolak Kampung Mereka disebut Hutan
Upaya pengentasan kemiskinan anak haruslah beriringan dengan ikhtiar memerangi kemiskinan pembelajaran. Bank Dunia bersama Institut Statistik UNESCO menyatakan bahwa 53% anak-anak usia 10 tahun di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah tidak dapat membaca. Mereka juga tak bisa memahami cerita sederhana meski sudah duduk di akhir sekolah dasar.
Sementara di negara-negara miskin, tingkatnya mencapai 80%. Inilah yang disebut dengan kemiskinan pembelajaran.
Mengurai benang kusut kemiskinan struktural
Kemiskinan anak pada akhirnya tidak mungkin dientaskan hanya menggunakan pendekatan moneter atau ekonomi semata. Tidak cukup pula hanya dengan uluran tangan berbentuk skema santunan atau sekedar bantuan sosial.
Kita memerlukan upaya kolaboratif yang lebih komprehensif agar anak-anak miskin bisa menjadi lebih berdaya di masa depan.
Keluarga tentu harus dilibatkan sebagai aktor utama dalam upaya memberikan jaminan perlindungan dan pemenuhan semua hak anak. Jangan sampai keterbelakangan ekonomi dan sosial kembali terwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Pengentasan kemiskinan anak adalah kerja-kerja panjang yang beriringan lurus dengan upaya peningkatan kualitas manusia, sehingga upaya ini harus senantiasa melekat dengan program-program pembangunan manusianya.
Para pemangku kebijakan, organisasi kemasyarakatan, serta lembaga-lembaga sosial bisa merancang bersama program-program kolaborasi dalam peningkatan kesejahteraan keluarga dan anak pra-sejahtera.
Selain melalui pendekatan kebijakan, inisiatif-inisiatif filantropi dapat membantu anak-anak keluar dari pusaran kemiskinan. Apalagi, dengan memanfaatkan etos kedermawanan masyarakat kita yang tinggi. Pendekatan ini bisa melalui pemberian akses pendidikan berkualitas, layanan kesehatan yang memadai, serta pengembangan diri yang memberdayakan.
Kolaborasi adalah kunci dalam mendukung tercapainya harapan anak-anak miskin menuju masa depan yang lebih sejahtera sehingga cita-cita keadilan sosial di indonesia dapat terwujud.
Artikel ini merupakan hasil kerja sama TCID bersama para penulis dan IDEAS, lembaga think-tank di bawah naungan Yayasan Dompet Dhuafa.
pENULIS: Agung Pardini, Senior researcher and advocacy director, Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS)
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.