
Penanaman bibit Mangrove di Shelter Akar Bhumi Indonesia, Pancur, Sei Beduk, Batam pada Selasa (30/4/2024). Sebanyak 1.000 bibit Mangrove ditanam melalui kolaborasi PT. Cladtek Batam dan Perkumpulan Akar Bhumi Indonesia sempena peringatan Hari Bumi (Earth Day) 2024-Edisi/bbi.
● Mangrove tidak hanya penting untuk konservasi, tetapi juga bisa menjadi sumber penghasilan masyarakat.
● Muara gembong berpotensi menjadi pionir inovasi pangan berbasis mangrove.
● Dukungan eksternal diperlukan agar usaha masyarakat berkembang.
EDISI.CO, CATATAN EDISIAN– Di tengah krisis iklim dan tekanan pembangunan yang terus mengancam keberadaan mangrove, komunitas warga di Muara Gembong, Bekasi, Jawa Barat menginisiasi cara bertahan hidup sambil tetap menjaga alam lewat hilirisasi.
Mereka merawat mangrove sambil mengolah daun, buah, hingga kulit kayu dari pohon bakau menjadi produk bernilai ekonomi.
Kajian kami menunjukkan, mangrove bukan hanya penting untuk konservasi tapi juga bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir.
Inisiatif di Muara Gembong
Inisiatif di Muara Gembong mulanya berakar dari gerakan ‘Save Mugo’ (Muara Gembong) pada 2013. Kala itu, warga memprotes kondisi pesisir yang kian rusak akibat abrasi, perluasan tambak, dan tambang pasir.
Sepanjang 1976 – 2018, luas hutan mangrove di Muara Gembong sudah berkurang lebih dari separuh akibat alih fungsi lahan, terutama akibat tambak ikan. Garis pantai pun ikut berubah.
Dari sana, lahirlah POKDARWIS (Kelompok Sadar Wisata) Alipbata, yang berupaya mempromosikan mangrove sebagai wisata berkelanjutan.
Selain POKDARWIS, ada pula kelompok Kebaya yang berisikan ibu-ibu rumah tangga.
Kelompok POKDARWIS Alipbata dan Kebaya saling bekerja sama. Selagi POKDARWIS melakukan kerja-kerja konservasi, bahan-bahan seperti buah serta daun mangrove yang bisa dipanen, disalurkan kepada komunitas Kebaya untuk diproduksi lebih lanjut.
Kelompok Kebaya kemudian mengolahnya menjadi aneka makanan. Mulai dari makanan ringan (keripik daun, stik daun, keripik buah, peyek, dan kerupuk), kudapan tradisional (dodol), hingga minuman seperti jus dan sirup.
Produk-produk itu awalnya mereka jual langsung kepada warga sekitar dan lambat laun mulai dipasarkan lebih luas secara daring.
Kini usaha warga terus berkembang, produk mereka bahkan sudah punya merek dagang sendiri, yakni ‘Mang Oge’, akronim dari “Mangrove Muara Gembong”.
Hasil penjualan produk-produk Mang Oge bisa menambah pundi-pundi cuan warga dan membuka lapangan pekerjaan bagi para ibu rumah tangga.
Melalui ‘Mang Oge’ pula, komunitas Kebaya diundang mengikuti berbagai pameran yang memberikan mereka kesempatan mempromosikan produk ke pasar yang lebih luas.
Potensi hilirisasi mangrove
Selain yang sudah diproduksi warga, mangrove sebenarnya berpotensi untuk dikembangkan menjadi lebih banyak produk.
Spesies mangrove Avicennia yang melimpah di Muara Gembong, misalnya, bisa digunakan untuk membuat berbagai produk kuliner lain yang lezat, seperti bakpau, donat, bubur, hingga minuman segar seperti dawet.
Penelitian lain menunjukkan bahwa buah Bruguiera gymnorrhiza juga kaya akan karbohidrat dan bisa menjadi sumber pangan alternatif.
Jika semua potensi ini digali, Muara Gembong berpotensi menjadi pionir inovasi produk berbasis mangrove.
Selain makanan, spesies Sonneratia yang banyak ditemukan di Muara Gembong juga bisa dimanfaatkan untuk pembuatan sabun alami.
Di bidang kesehatan, mangrove bahkan bisa dimanfaatkan sebagai bahan baku obat untuk penyakit hepatitis dan kaki gajah.
Baca juga: Menguji Legitimasi Konstitusional PSN, Warga Rempang Ambil Bagian
Sebuah studi pada 2020 mencatat, setidaknya ada lebih dari 300 jenis produk hasil hutan bukan kayu (HHBK) berbasis mangrove di komunitas pesisir yang bisa dikembangkan, terdiri atas 117 produk makanan, 126 produk kerajinan, dan 133 produk kesehatan.
Data ini menunjukkan betapa luasnya peluang pengembangan hasil hutan mangrove secara berkelanjutan. Jika pengetahuan lokal, kreativitas komunitas, dan inovasi modern berpadu, hilirisasi mangrove bisa menghasilkan produk bernilai ekonomi tinggi.
Bagaimana memaksimalkan potensi mangrove?
Semua potensi di atas tentu tidak akan berkembang dan bertahan tanpa dukungan pemerintah dan pihak lainnya.
Studi kami menunjukkan, masyarakat pesisir butuh dukungan teknis berupa pelatihan, riset, serta pendampingan dalam proses produksi dan pengujian mutu produk.
Selain itu, perlu dukungan nonteknis seperti regulasi yang jelas, perizinan, serta pendampingan dalam memperoleh sertifikasi produk.
Sertifikasi sangat penting untuk memastikan produk yang dihasilkan memenuhi standar mutu, memiliki daya saing, dan dapat dipasarkan ke sektor yang lebih luas, baik di tingkat nasional maupun internasional.
Hal yang juga penting diperhatikan sejak awal, setiap inovasi tetap harus berlandaskan prinsip panen berkelanjutan (sustainable harvesting), dengan mempertimbangkan kemampuan regenerasi pohon dan kebutuhan habitatnya. Sebab, panen daun atau buah secara berlebihan bisa mengganggu siklus pertumbuhan mangrove dan keseimbangan ekosistem.
Jika dikelola dengan hati-hati, pemanfaatan hasil hutan bukan kayu mangrove bisa menjadi strategi efektif untuk konservasi. Produk mangrove yang unik dan ramah lingkungan bisa menjadi nilai tambah bagi berbagai destinasi ekowisata mangrove yang saat ini sudah tersebar di berbagai daerah di Indonesia.
Melalui kreativitas, budaya lokal, dan inovasi, warga pesisir bukan hanya mendapat manfaat ekonomi, tapi juga memperkuat identitas lokal dan ikut menjaga hutan mangrove untuk generasi mendatang.
Penulis: Kevin Muhamad Lukman, Dosen Sekolah Pascasarjana, Universitas Padjadjaran
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.