
Ilustrasi masyarakat. Dok; Ist.
● Sekitar 50% keluarga tidak menyadari lansia terkena depresi bahkan ketika sudah level berat.
● Stigma terhadap kesehatan mental dan lansia merupakan penyebabnya.
● Lansia butuh dihargai hingga diberikan ruang agar merasa berdaya dan terhindar dari depresi.
EDISI.CO, CATATAN EDISIAN– Orang berusia lanjut (lansia) tidak hanya berisiko mengalami penurunan fungsi tubuh dan kemampuan berpikir. Mereka juga bisa terkena gangguan mental, termasuk depresi.
Sejumlah perubahan besar dalam hidup bisa jadi pemicunya, mulai dari penurunan kondisi fisik, berkurangnya aktivitas, hingga rasa kesepian setelah kehilangan pasangan, teman, ataupun anak-anak yang sudah hidup mandiri.
Kasus depresi lansia global sangatlah tinggi, sekitar 18,6%. Di Indonesia, riset tahun 2022 menunjukkan prevalensi depresi lansia berkisar antara 9,2 – 16,3%.
Ironisnya, nyaris 50% keluarga tidak menyadari lansia terkena depresi, bahkan ketika tingkat keparahannya sudah berat. Penyebabnya, banyak orang salah kaprah menganggap gejala depresi lansia (seperti kelelahan, tidak bersemangat, dan sedih berkepanjangan) sebagai bagian normal dari penuaan.
Masih kuatnya stigma masyarakat terhadap kesehatan mental—yang sering kali terkait dengan stereotip negatif dan ketidaktahuan—turut memperparah kondisi gangguan mental lansia. Contohnya, keluarga bereaksi lebih cepat dan responsif terhadap keluhan fisik lansia (seperti pusing atau nyeri sendi), ketimbang keluhan emosionalnya.
Akibatnya, lansia tidak mendapatkan pertolongan psikologis yang seharusnya mereka butuhkan. Ini diperparah pula dengan banyaknya anggapan keliru masyarakat soal lansia yang membuat mereka kian berisiko mengalami depresi.
Butuh dihargai, bukan dikasihani
Ketika mengurus lansia, kita mungkin lebih terfokus untuk memenuhi kebutuhan fisik mereka (seperti pangan dan obat). Namun, kita lalai untuk menanyakan kabar dan mengobrol dengan lansia.
Apalagi mereka rentan mengalami diskriminasi usia karena banyak orang menganggap lansia lemah, lamban, dan tidak lagi relevan.
Pandangan tersebut bisa sangat menyakitkan, merampas rasa percaya diri, menyebabkan banyak lansia merasa sendirian, ditinggalkan, dan kesepian secara emosional meski mereka dikelilingi keluarga.
Penelitian terhadap 673 paruh baya dan lansia di Cina (2025) mengungkap bahwa perasaan tidak lagi dibutuhkan dan ditinggalkan meningkatkan risiko depresi pada lansia.
Perasaan dihargai dan diakui memang sangat penting bagi mereka. Lansia ingin didengarkan, dilibatkan, dan tidak dianggap sebagai “beban”, melainkan bagian penting dari lingkungan sosialnya.
Mereka tetap butuh terhubung secara emosional, bukan sekadar fisik.
Studi literatur (2025) menunjukkan bahwa risiko depresi lansia bisa menurun ketika mereka mendapatkan dukungan emosional yang sepadan, termasuk perasaan dihargai dan terkoneksi dengan keluarga dan masyarakat.
Karena itu, kita perlu meluangkan waktu untuk mengobrol rutin dari hati ke hati dengan lansia, bukan sekadar basa-basi. Tunjukkan bahwa perasaan, pengalaman, dan pendapat mereka masih relevan dan berharga.
Pastikan pula untuk selalu melibatkan lansia dalam kegiatan dan pengambilan keputusan keluarga, misalnya:
“Menurut ibu, enaknya Lebaran tahun ini kita kumpul di rumah siapa ya?”
atau
“Pak, waktu menghadapi situasi sulit di masa muda, biasanya bapak bagaimana? Saya pengen belajar dari pengalaman bapak.”
Jangan batasi, mereka tetap ingin berdaya
Laporan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) dan SMERU (2020) mengungkapakan bahwa 11% lansia hidup dalam kemiskinan. Sebanyak 60% dari mereka tinggal dengan anggota keluarga yang kemungkinan besar bukan pengasuh mereka.
Sayangnya, hanya 2% dari total seluruh lansia di Indonesia yang mendapatkan bantuan sosial. Sementara itu, hanya 12% lansia yang punya jaminan sosial ketenagakerjaan.
Kondisi ini membuat lansia rentan terjebak dalam situasi bergantung pada orang lain, yang akhirnya berisiko membuat mereka kehilangan kendali atas hidupnya. Misalnya, pihak keluarga melarang lansia berjualan atau melakukan aktivitas fisik yang disenangi karena takut mereka kelelahan dan jatuh sakit.
Meski bermaksud baik, pihak keluarga sering tanpa sadar mengambil alih semua hal, bahkan tugas-tugas sederhana yang sebenarnya masih bisa dilakukan sendiri oleh lansia seperti mengenakan pakaian.
Baca juga: Kenapa Putus dengan Teman tak kalah Menyakitkan dari Putus Cinta?
Situasi ini rentan menyebabkan lansia merasa tidak berdaya, sehingga memperbesar risiko depresi.
Padahal, penelitian menunjukkan banyak lansia memiliki semangat dan kemampuan untuk hidup secara aktif. Motivasinya bukan cuma faktor ekonomi saja, melainkan keinginan untuk tetap merasa berdaya dengan aktif secara fisik, mental, maupun sosial.
Sebaiknya hindari memperlakukan lansia seperti anak kecil. Biarkan lansia memiliki kendali atas hidup mereka dengan melakukan berbagai aktivitas (yang tidak membahayakan) secara mandiri.
Dorong mereka melakukan hobi yang disenangi, serta libatkan mereka dalam kegiatan sosial bersama kelompok lansia.
Pentingnya lebih peduli lansia
Menghilangkan stigma terhadap lansia merupakan tugas kita. Upaya ini lebih dari sekadar terhubung dengan mereka secara emosional, tapi juga memberikan lansia ruang agar bisa hidup lebih mandiri, produktif, dan bahagia.
Dimulai dari keluarga, kita bisa menciptakan lingkungan ramah lansia—yang tidak memandang mereka sebagai beban, melainkan bagian hidup yang patut dirayakan.
Penulis: Resti Pujihasvuty, Researcher at Family Dynamic Research Group; Research Center for Population, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.