
EDISI.CO, CATATAN EDISIAN– Saat menganugerahkan Hadiah Nobel Sastra kepada László Krasznahorkai, Akademi Swedia menyebutnya sebagai “penulis yang memikat dan visioner—menegaskan kembali kekuatan seni di tengah teror apokaliptik (terkait kehancuran)”.
Keputusan mereka dapat dilihat sebagai komitmen terhadap nilai penulisan yang serius dan intelektual dalam era yang bernuansa oleh terburu-buru, distraksi budaya digital, dan industri hiburan.
Krasznahorkai pertama kali dikenal luas di dunia sastra Hungaria lewat Satantango (1985). Novel debutnya tentang kisah kelam sebuah desa miskin yang terus diguyur hujan dan seorang pria misterius yang bisa jadi nabi, setan, atau sekadar penipu.
Buku ini menjadi awal bagi rangkaian novel ambisius berikutnya yang meneguhkan posisi Krasznahorkai sebagai salah satu penulis besar dalam sastra global kontemporer.
The Melancholy of Resistance (2019) menghadirkan sosok karismatik misterius bernama Sang Pangeran, yang membawa karnaval kekacauan ke sebuah kota kecil hingga dia menghancurkannya.
Sementara Baron Wenckheim’s Homecoming (2016) berkisah tentang seorang bangsawan eksentrik yang kembali ke Hungaria setelah lama hidup dalam pengasingan di Argentina. Ia disambut penduduk kota sebagai dermawan yang akan membawa kemakmuran. Padahal, ia terjerat utang judi yang sangat besar.
Karyanya di tahun 2014, Herscht 07769, berkisah tentang seorang tukang roti di kota terpencil di Jerman Timur yang terseret ke dalam dunia perusahaan kebersihan dan ternyata menjadi kedok geng neo-Nazi. https://www.youtube.com/embed/cM7Pwsu2L8s?wmode=transparent&start=0
Karya-karya Krasznahorkai mulai mendapat perhatian luas pada 2000-an, setelah terbitnya terjemahan bahasa Inggris The Melancholy of Resistance dan War and War (1999). Reputasinya kian mendunia setelah ia meraih International Booker Prize pada tahun 2015 dan National Book Award for Translated Literature pada tahun 2019 (untuk Baron Wenckheim’s Homecoming).
Julukan yang kerap disematkan pada karya-karyanya antara lain “putus asa,” “obsesif,” “mengganggu,” dan “intens.” Dalam sinopsis The Melancholy of Resistance, kritikus budaya Susan Sontag bahkan menyebutnya sebagai “ahli kiamat kontemporer Hungaria.”
Lebih tepatnya, ada tiga ciri khas yang menonjol dalam karya-karya Krasznahorkai. Pertama, kemampuannya menggambarkan disintegrasi sosial, berupa proses kehancuran perlahan suatu komunitas yang kerap dipercepat oleh pengaruh individu maupun perusahaan misterius.
Kedua, bagaimana ia mempertahankan atmosfer ketakutan dalam fiksinya, yang menimbulkan rasa gentar hidup di bawah rezim otoriter tanpa pernah jatuh ke dalam alegori yang eksplisit. Nuansa ini tergambar kuat dalam bagian bukunya The World Goes On (2013) yang berjudul “How Lovely”.
Kisah ini membayangkan serangkaian kuliah yang dihadiri para pembicara dari berbagai penjuru dunia, masing-masing bergiliran menyampaikan ceramah. Namun, ada satu orang yang akhirnya memberikan tiga kuliah: yang pertama atas kehendaknya sendiri, yang kedua karena terpaksa setelah diundang kembali, dan yang ketiga karena ia terperangkap di ruang kuliah. https://www.youtube.com/embed/UuyznqAILAM?wmode=transparent&start=0
Ciri khas ketiga adalah inovasi sekaligus kerumitan gaya tulisannya. Herscht 07769 hanya memuat satu tanda titik sepanjang 400 halaman. Sementara susunan 17 kisah dalam The World Goes On mengikuti deret Fibonacci—urutan matematis, saat setiap elemen merupakan hasil penjumlahan dua elemen sebelumnya.
Satantango—yang diadaptasi menjadi film berdurasi tujuh jam oleh kolaboratornya, Béla Tarr—memiliki satu bab yang menyoroti dua tokoh tanpa nama selama sembilan halaman penuh.
Membaca karya-karya Krasznahorkai sering kali menghadirkan pengalaman yang sama membingungkan dan mengasingkan seperti yang dialami para karakternya. Namun, justru kualitas sastranya yang tanpa kompromi—serta kemampuannya menangkap nuansa zaman—itulah yang paling saya kagumi dari karya-karya Krasznahorkai.
Biografi yang diterbitkan oleh Komite Nobel menegaskan, sebagaimana banyak kritikus sebelumnya, bahwa ia merupakan bagian dari “tradisi agung Eropa Tengah, yang membentang dari Kafka hingga Thomas Bernhard.”
Karya-karya Krasznahorkai pada dasarnya berpijak pada tradisi modernisme yang menempatkan kita di tengah dunia tanpa makna, tapi tetap menegaskan keyakinannya pada keindahan dan seni.
Tulisannya menjadi bukti keyakinan itu: bahwa kita masih mampu merenungkan hal-hal yang esensial dan mengartikulasikannya secara mendalam.
Baca juga: Kenapa Putus dengan Teman tak kalah Menyakitkan dari Putus Cinta?
Bagi seorang penulis yang terkenal dengan kalimat-kalimat panjang dan intens, rujukan Komite Nobel terhadap kapasitas Krasznahorkai untuk menegaskan kembali kekuatan seni “di tengah teror apokaliptik” terasa begitu puitis sekaligus menggugah.
Fiksi Krasznahorkai tidak secara langsung menampilkan teror, melainkan menyoroti ketakutan akan kehancuran yang membayangi masa depan. Ini menegaskan bahwa “teror apokaliptik” tidak hanya hidup dalam karya-karyanya, tetapi juga dalam konteks yang lebih luas—yakni dalam sastra kontemporer itu sendiri.
Namun, melalui tulisannya, Krasznahorkai menunjukkan bahwa seni masih memiliki kekuatan untuk melawan ketakutan tersebut.
Penulis: Bran Nicol, Professor of English, University of Surrey
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.