
Edisi/kemenpar.go.id
● Sejak masa kesultanan, Aceh telah mempraktikkan pluralisme hukum: adat, syariat, dan kekuasaan sipil berjalan berdampingan.
● Melalui tradisi lisan, masyarakat Aceh menegakkan hukum dengan empati dan musyawarah, bukan semata hukuman.
● Keadilan di Aceh berpijak pada keseimbangan antara agama, adat, dan kemanusiaan.
EDISI.CO, CATATAN EDISIAN- “Adat bak Po Teumeureuhôm; Hukôm bak Syiah Kuala; Meudjeulih kanun bak Putroë Phang; Resam bak Bentara,” (adat berada di tangan sultan, hukum di tangan ulama besar Syiah Kuala, penyusunan qanun (peraturan perundang-undangan sejajar Perda) di tangan Putri Pahang, dan tata upacara adat di tangan Bentara).
Pepatah Aceh di atas dikenal sebagai hadih maja, warisan sastra lisan Aceh yang sudah berusia ratusan tahun. Empat figur yang disebut di dalamnya melambangkan pembagian kekuasaan yang seimbang antara raja, ulama, perempuan bangsawan, dan tokoh adat.
Sejak masa Kesultanan Aceh Darussalam, hubungan antara adat dan agama di Aceh memang tak terpisahkan. Orang Aceh menyebutnya adat ngon agama lagèë zat ngon sifeut—adat dan agama bagaikan zat dan sifat, satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
Sistem hukum di Aceh tumbuh dari keberagaman sumber nilai tersebut. Pluralisme hukum ini bisa menjadi inspirasi bagi pemerintah untuk menemukan titik keseimbangan antara hukum nasional, syariat, dan adat lokal.
Sejarah pluralisme hukum di Aceh
Aceh adalah contoh langka sistem hukum yang plural: hukum Islam, adat, dan kebijakan kerajaan. Ketiganya saling bernegosiasi, bukan saling meniadakan.
Sistem ini lahir dari pengalaman panjang Aceh sebagai pusat pertemuan budaya dan perdagangan dunia.
Dari Kerajaan Peureulak dan Samudra Pasai pada abad ke-9 hingga ke-13, hingga persekutuan dengan Kerajaan Ottoman (Turki) di abad ke-16, pengaruh nilai-nilai Islam, adat Melayu, dan budaya luar berpadu dalam satu wadah.
Pada masa Sultan Iskandar Muda (1607–1636), aturan tentang militer, pajak, perdagangan, dan ritual keagamaan dikodifikasi dalam Adat Meukuta Alam, menandai puncak harmonisasi antara Islam dan adat.
Jadi, sejatinya pluralisme hukum Aceh bukan hasil kompromi modern, melainkan warisan sejarah.
Kental tradisi oral
Dari sejarah panjangnya, pluralisme hukum Aceh terlihat jelas dalam struktur: Islam, adat, dan aturan kerajaan yang saling menyeimbangkan. Namun, hukum-hukum tersebut tidak melulu berbentuk naskah tertulis. Di masyarakat Aceh, ia dihidupkan melalui tradisi lisan—yang disebarkan lewat pantun, hikayat, sajak, hingga ritual.
Di Pulau Banyak, terdapat Bentara yang membacakan syair tentang batas laut dan musim tangkap ikan. Bagi nelayan, syair itu berfungsi seperti hukum adat: siapa yang melanggar akan ditegur melalui pantun, bukan diproses di pengadilan. Sebab, masyarakat lisan menggunakan ritme, pengulangan, dan metafora untuk menjaga pengetahuan yang kompleks.
Melalui performa lisan itu, adat menjadi hidup: hukum berubah menjadi komunikasi sosial yang penuh empati, memungkinkan masyarakat menegakkan aturan tanpa kehilangan rasa hormat. Di sinilah terlihat bahwa hukum di Aceh bukan hanya tentang hukuman, tetapi juga tentang keharmonisan.
Setelah bencana Tsunami 2004, adat kembali menjadi tiang utama kehidupan. Saat negara lumpuh, tokoh adat dan ulama lokal mengatur pemakaman massal, pembagian bantuan, hingga mediasi konflik di pengungsian. Pepatah hadih maja kembali diucapkan, menjadi panduan moral bagi masyarakat yang berduka.
Pengalaman ini menunjukkan bahwa bagi masyarakat Aceh, hukum bukan institusi yang berdiri di atas rakyat, melainkan sistem nilai yang tumbuh dari dalam. Situasi semacam ini menciptakan interlegality—ruang pertemuan antara hukum agama, adat, dan negara yang saling memengaruhi.
Asal-usul, tradisi, cara hidup, cara menjaga alam, hingga merawat sesama. Semuanya berakar dari pengetahuan lokal. Ada yang sebatas mitos dan tinggal cerita, ada juga yang masih hidup dan relevan, bahkan menjawab masalah terkini.
Simak ‘Semburat Warna Adat’, menggali pengetahuan lokal berdasar riset dan pandangan para pakar.
Tantangan masa kini
Tentu pluralisme seperti ini bukan tanpa tantangan. Sejak abad ke-17, para ulama Aceh berdebat keras tentang batas antara adat dan syariat.
Syamsuddin al-Sumatrani, seorang sufi dan penasihat Sultan Iskandar Muda, mengajarkan paham wahdat al-wujud—gagasan bahwa seluruh alam semesta merupakan pancaran dari satu wujud ilahi, sehingga manusia dan Tuhan tidak sepenuhnya terpisah.
Pandangan mistik ini kemudian ditentang oleh Nuruddin al-Raniri, ulama asal Gujarat pada masa Sultanah Safiatuddin Syah; ia menegakkan ortodoksi Islam dan menolak ajaran yang dianggap menyimpang dari syariat.
Di antara keduanya, Abdurrauf al-Singkili tampil sebagai penengah: melalui karyanya Mir’at al-Thullab, ia menegaskan bahwa hukum Islam dapat berjalan seiring dengan adat lokal—sebuah sintesis yang kemudian menjadi fondasi bagi sistem hukum Aceh hingga kini.
Kini, perdebatan itu muncul kembali dalam bentuk yang lain. Qanun jinayat (peraturan pidana berbasis syariat) sering kali berseberangan dengan mekanisme adat yang lebih restoratif (fokus pada pemulihan dan rekonsiliasi). Di beberapa kasus, warga memilih penyelesaian adat melalui tuha peut (dewan tetua gampong) untuk perkara rumah tangga atau warisan, ketimbang melapor ke mahkamah syariah.
Selain itu, masih ada tantangan lain seperti:
- Perbedaan antarwilayah: Adat di Pidie tidak selalu sama dengan di Simeulue, sementara qanun cenderung seragam.
- Hubungan dengan hukum nasional: Bagaimana qanun berbasis syariat menyesuaikan diri dengan sistem hukum Indonesia yang sekuler.
- Dinamika globalisasi: Nilai-nilai modern seperti kesetaraan gender dan hak asasi manusia menuntut penafsiran adat kembali.
Tantangan lain yang tak kalah penting adalah bagaimana mewariskan hukum lisan. Tradisi hadih maja—yang dahulu dihafal dan diucapkan dalam musyawarah, khutbah, atau kenduri adat—kini makin jarang terdengar. Modernisasi dan berkurangnya ruang sosial tradisional membuat banyak bait dan ungkapan hilang dari ingatan masyarakat.
Penelitian menunjukkan bahwa pepatah-pepatah ini kini lebih sering ditemukan dalam buku dan dokumentasi akademis daripada di lidah para tetua. Padahal, kekuatan hadih maja justru terletak pada kehidupan sosialnya yang diucapkan, dinyanyikan, dan diwariskan secara kolektif. Masyarakat lisan justru cenderung kehilangan “memori hukumnya” ketika pengetahuan berpindah dari ucapan ke teks formal.
Namun di tengah perubahan itu, hadih maja tetap relevan. Ia mengingatkan bahwa kekuasaan sebaiknya terbagi, hukum lahir dari musyawarah, dan keadilan tidak datang dari satu pusat.
Adat Aceh mengajarkan bahwa keadilan bukan sekadar aturan tertulis, tetapi cara manusia menjaga harmoni dalam perbedaan. Dalam pantun dan kenduri, dalam musyawarah desa dan syair nelayan, masyarakat Aceh menjalankan hukum dengan rasa, bukan hanya logika.
Ketika dunia modern cenderung menyeragamkan nilai, Aceh mengingatkan bahwa pluralisme hukum bukan ancaman, melainkan kekayaan. Dari hadih maja kita belajar: hukum bisa dinyanyikan, dinegosiasikan, dan dijalani bersama—selama ada ruang untuk saling mendengar.
Penulis: Ari Palawi, Associate lecturer, Universitas Syiah Kuala
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.