Keramat Datok Panau di Lubuk Lanjut-Edisi/bbi.
EDISI.CO, CATATAN EDISIAN- Di tengah kehidupan modern yang serba cepat, kita sering lupa bahwa setiap hal kecil yang kita nikmati, seperti makanan di meja hingga udara yang kita hirup, bersumber dari alam. Jarak yang semakin lebar antara manusia dan alam membuat kita cenderung acuh, bahkan abai, terhadap kerusakan yang perlahan tapi pasti terjadi di sekitar kita.
Sebaliknya, masyarakat adat punya cara pandang berbeda. Melalui pengetahuan, ritual, dan tradisi yang diwariskan turun-temurun, mereka menganggap bahwa harmoni dengan alam adalah kunci keberlangsungan hidup.
Pandangan hidup masyarakat adat ini terasa semakin relevan untuk direnungkan di tengah krisis iklim yang kian nyata. Karena itu, Conversation Corner edisi ketujuh mengajak anak muda menengok kembali pengetahuan lokal yang sering ditenggarai berbalut mistis, namun sebenarnya menyimpan pesan untuk menjaga lingkungan.
Diskusi ini menghadirkan Budiyanto Dwi Prasetyo, peneliti sosiologi lingkungan BRIN sekaligus mahasiswa Ph.D di Charles Sturt University, serta Muhammad Arief atau yang kerap disapa Kang Arief, pendiri Kebon Bagéa, sebuah komunitas yang melanggengkan praktik pertanian berdasarkan ajaran Sunda Wiwitan.
Dengan tema “Keramat atau Selamat? Memaknai Ulang Mitos dan Mistik untuk Mitigasi Perubahan Iklim”, acara yang berlangsung pada Sabtu siang ini dipandu oleh Editor Lingkungan TCID, Dewi N. Piliang. Acara ini juga sekaligus memperkenalkan kampanye Semburat Warna Adat oleh The Conversation Indonesia yang bertujuan untuk menggali pengetahuan lokal berdasar riset dan pandangan para pakar.
Mitos itu sejatinya lahir dari pengetahuan
Sebagian mitos yang kita dengar mungkin terdengar tidak rasional dan jauh dari logika ilmu pengetahuan modern. Namun, menurut Budiyanto, mitos lahir karena manusia masa lampau membutuhkan cara untuk bertahan hidup dan memahami dunianya. Bagi mereka, pengetahuan mengenai petir, hujan, atau pergerakan bintang adalah bentuk “ilmu modern” pada zamannya yang menjadi penanda penting untuk menentukan langkah hidup.
Lantas, mengapa pengetahuan lokal kini sering dianggap mitos? Budiyanto menyebutkan dua faktor besar, yaitu dominasi sains modern dan agama. “Ada stigma anti-superstitious dan anti-mistik itulah yang membuat pengetahuan lokal dipersepsikan negatif,” jelasnya.
Baca juga: Sentimen Warganet terhadap PLTS Atap masih Negatif: dari Biaya Mahal hingga Perawatan Sulit
Padahal, menurut Budiyanto, masyarakat adat justru memiliki sistem pengetahuan yang tidak kalah canggih. Ia mencontohkan masyarakat Ciptagelar, Sukabumi, Jawa Barat, misalnya, yang bisa mengidentifikasi musim, hama, bahkan migrasi burung hanya dengan membaca tanda-tanda alam.
Senada dengan Budiyanto, Arief dalam diskusi ini juga menyoroti dampak kolonialisme yang ikut menggeser posisi pengetahuan lokal. “Masyarakat pasca-kolonial melihat alam sebagai sesuatu yang terpisah. Tapi, bagi masyarakat adat, alam adalah bagian dari diri mereka. Ketika alam sakit, manusia pun ikut sakit,” ungkapnya.
Ritual sebagai disiplin ekologis
Conversation Corner kali ini juga menyoroti bagaimana ritual masyarakat adat berperan sebagai bentuk pendisiplinan diri agar tetap hidup selaras dengan alam. Sebagai salah satu orang yang menjalankan ajaran Sunda Wiwitan, Arief meyakini bahwa setiap ritual adat sebenarnya memuat pesan filosofis dan ekologis.
Contohnya dapat dilihat pada ritual sesajen, di mana masyarakat perlu menyajikan berbagai komponen hasil alam dalam upacara adat dan keagamaan. Selain menjadi bentuk penghormatan kepada alam, sesajen berperan sebagai indikator keseimbangan lingkungan. Ketika salah satu komponennya tidak bisa dipenuhi dari sekitar, artinya ada yang salah dengan ekosistem lingkungan tersebut.
Budiyanto menambahkan, praktik semacam itu adalah mekanisme sosial untuk merawat alam. Di Maluku dan NTT, misalnya, ada tradisi sasi—larangan mengambil hasil laut atau hutan dalam jangka waktu tertentu demi memberi ruang regenerasi. Meski banyak orang modern menganggap ritual ini mistis dan tak bermakna, kenyataannya cara tersebut terbukti lebih efektif menjaga kelestarian dibanding kebijakan konservasi top-down yang kerap diabaikan.
Menutup jarak dengan alam
Diskusi ini memberi pelajaran sederhana bahwa mitos bukan sekadar dongeng. Mitos yang beredar merupakan bahasa yang digunakan leluhur untuk menjelaskan alam, mendisiplinkan perilaku, dan memastikan keberlanjutan hidup bersama.
Pengetahuan lokal maupun sains modern sejatinya sama-sama bertujuan mendorong peradaban. Perbedaan hanya terletak pada legitimasi dan sudut pandang. Sains modern mendapatkan kuasa setelah revolusi industri dan berkembang lewat institusi pendidikan Barat. Sementara, pengetahuan lokal yang hanya dianut oleh masyarakat adat semakin terpinggirkan, bahkan dianggap tahayul oleh masyarakat, meskipun terbukti selama berabad-abad menjadi kompas kehidupan masyarakat yang mempraktikkannya. https://www.youtube.com/embed/HVTBF61fXeA?wmode=transparent&start=0 Siaran ulang Conversation Corner edisi ke-7 “Keramat atau selamat? Memaknai ulang mitos dan mistik untuk mitigasi perubahan iklim”
Akhirnya, berbicara mengenai mitos maupun mistik, kuncinya bukan soal percaya atau tidak percaya, melainkan berbesar hati untuk menggali kebijaksanaan di baliknya. Karena di era krisis iklim, mungkin justru apa yang dianggap keramat lah yang mampu menyelamatkan.
Acara Conversation Corner hadir secara rutin setiap bulannya bersama akademisi, peneliti, dan pakar untuk membahas isu sosial terkini. Jika kamu tertarik untuk bekerja sama mengadakan diskusi bersama The Conversation Indonesia, hubungi kami di: kemitraan@theconversation.com
Penulis: Lala Choirunnisa, Community Engagement Officer, The Conversation
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.