Rasidi, Nelayan asal Kampung Bagan, Batam-Edisi/ist
● Efisiensi energi bisa berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi jika dilakukan terlalu cepat tanpa masa adaptasi.
● Kelompok rentan seperti petani dan nelayan paling rentan terdampak selama masa transisi.
● Agar transisi energi berjalan adil, kebijakan efisiensi harus bertahap dan disertai perlindungan sosial.
EDISI.CO, CATATAN EDISIAN– Sejumlah negara Asia Tenggara dan kawasan ASEAN mulai melakukan langkah efisiensi atau pengurangan energi fosil sebagai bagian dari proses transisi energi untuk menurunkan emisi karbon. Tapi apakah langkah ini bisa memperkuat ekonomi kawasan?
Penelitian terbaru kami menunjukkan bahwa kebijakan efisiensi energi, ternyata tidak selalu membawa dampak positif dalam jangka pendek.
Di sejumlah negara berkembang, terutama yang masih bertumpu pada sektor pertanian dan perikanan, penghematan energi bisa memperlambat pertumbuhan dan berdampak secara sosial jika dilakukan secara langsung dan menyeluruh tanpa masa adaptasi.
Tapi kabar baiknya, riset kami juga menunjukkan bahwa dampak ekonomi ini akan berkurang seiring dengan meningkatnya pendapatan per kapita.
Dengan kata lain, setelah melewati masa transisi, manfaat efisiensi energi bakal terasa ganda: emisi turun, pertumbuhan ekonomi tetap berlanjut. Namun syaratnya, harus diikuti dengan kebijakan pendukung yang tepat sasaran.
Ekonomi ASEAN masih bertumpu pada sektor primer
Sebagian besar ekonomi negara-negara di ASEAN masih bertumpu pada sektor pertanian.
Data World Bank sampai 2023 mencatat, Myanmar menjadi negara ASEAN dengan kontribusi sektor pertanian (termasuk budidaya tanaman dan peternakan, kehutanan, dan perikanan) paling besar bagi pembentukan PDB terbesar di kawasan, mencapai 22,72%. Diikuti Kamboja (17,08%), Laos (16,14%), Indonesia (12,53%), dan Vietnam (11,96%). Negara lainnya mencatat angka di bawah 10%.
Sektor ini menyerap jutaan tenaga kerja. Di Laos, misalnya, 69% tenaga kerja bekerja di sektor pertanian, tertinggi di kawasan. Jika pertanian memberlakukan otomatisasi dengan tujuan efisiensi, maka ada risiko kehilangan pekerjaan jika tidak disertai langkah antisipasi.
Di sisi lain, teknologi pertanian di negara-negara ASEAN juga masih didominasi oleh teknologi pertanian yang boros energi.
Dalam situasi ini, kebijakan penghematan energi yang dilakukan secara cepat dan “memaksa” bisa berdampak langsung terhadap pekerja dan volume produksi, karena tidak semua kegiatan di sektor primer bisa dihemat energinya tanpa mengorbankan hasil.
Hasil studi
Kami melakukan studi menggunakan metode stochastic frontier analysis (SFA) dan model panel vector autoregression (PVAR) untuk mengukur efisiensi energi secara menyeluruh. Hasilnya menunjukkan bahwa negara-negara di ASEAN mayoritas masih sangat boros energi.
Hitungan kami, negara-negara di Asia Tenggara sebenarnya masih bisa mengurangi konsumsi energi hingga 85,9% jika seluruh potensi efisiensi dimaksimalkan. Namun, penghematan besar-besaran bisa berefek menekan pertumbuhan ekonomi.
Dalam jangka pendek—sekitar dua hingga tiga tahun pertama—Produk Domestik Bruto (PDB) negara-negara ASEAN cenderung mengalami penurunan.
Dampak negatif akan sangat terasa di sektor primer, seperti pertanian. Hal ini terjadi karena dua hal. Pertama, minimnya teknologi alternatif. Ketika pasokan bahan bakar fosil dibatasi, pelaku usaha kecil di sektor primer tidak punya akses pada teknologi hemat energi atau sumber energi terbarukan yang terjangkau.
Kedua, tidak adanya bantalan (buffer) ekonomi bagi kelompok rentan. Petani dan nelayan, misalnya, umumnya tidak memiliki tabungan atau perlindungan sosial yang cukup untuk bertahan selama masa transisi.
Dua faktor ini membuat kebijakan efisiensi energi yang dilakukan terburu-buru sering kali berujung pada penurunan pendapatan masyarakat berpenghasilan rendah.
Baca juga: Integrasi Pengetahuan Lokal sebagai Solusi Iklim: Belajar dari Masyarakat Adat Bayan di Lombok
Sebagai contoh, ketika konsumsi solar nelayan dibatasi tanpa disertai dukungan teknologi kapal hemat energi, hasil tangkapan ikan mereka bisa menurun. Atau, jika petani mengurangi penggunaan pompa air untuk menghemat energi, risiko gagal panen akibat kekurangan pasokan air bisa meningkat. Akibatnya, ekonomi daerah ikut tertekan.
Namun, ini bukan berarti efisiensi energi adalah kebijakan yang salah. Efek negatif ini sifatnya hanya sementara.
Begitu pendapatan masyarakat meningkat dan teknologi menjadi lebih terjangkau, manfaat efisiensi energi akan mulai terasa, baik dari sisi ekonomi maupun lingkungan.
Artinya, memang ada “biaya transisi” yang harus diantisipasi pada fase-fase awal perubahan.
Agar transisi energi tidak mengorbankan kelompok rentan
Agar transisi energi berjalan adil dan tidak mengorbankan kelompok bawah, ada beberapa langkah strategis yang harus dilakukan pemerintah:
Pertama, efisiensi energi harus dilakukan bertahap, bukan mendadak. Pemerintah sebaiknya tidak langsung menetapkan target pemangkasan energi yang tinggi tanpa memberikan waktu adaptasi. Beri waktu dan ruang bagi masyarakat untuk beradaptasi, diikuti dengan insentif yang memadai.
Kedua, mendorong penggunaan teknologi yang sesuai kebutuhan. Teknologi hemat energi yang disediakan harus disesuaikan dengan karakter sektor primer di negara-negara ASEAN. Misalnya, mesin pengering padi yang hemat energi untuk petani kecil, atau motor tempel hemat energi yang harganya terjangkau untuk nelayan tradisional.
Ketiga, menyediakan perlindungan iklim dan jaring pengaman sosial selama periode transisi. Bantuan tunai, subsidi sementara, atau pelatihan keterampilan bisa menjadi penyangga ekonomi bagi petani dan nelayan yang terdampak.
Langkah-langkah ini tidak hanya melindungi kelompok rentan, tapi juga memperkuat dukungan publik terhadap kebijakan transisi energi atau efisiensi energi itu sendiri.
Menuju transisi energi yang adil di ASEAN
Efisiensi energi tetap menjadi langkah penting dalam transisi hijau. Namun, cara penerapannya harus memperhatikan konteks sosial-ekonomi tiap negara.
Kebijakan yang dipukul rata justru berpotensi menjadi bumerang: menghambat pertumbuhan ekonomi, memperlebar kesenjangan, bahkan menimbulkan penolakan dari masyarakat yang terdampak langsung.
Transisi energi yang baik adalah transisi yang adil. Bukan hanya soal menurunkan emisi, tetapi juga memastikan bahwa kelompok masyarakat yang paling rentan tidak tertinggal.
Dengan pendekatan yang inklusif dan tepat sasaran, efisiensi energi bisa menjadi jembatan menuju ASEAN yang lebih hijau, adil, dan sejahtera.
Penulis: Rishan Adha, Research associate and doctoral student, RWTH Aachen University
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.