
Edisi/kkp.go.id
EDISI.CO, INTERNASIONAL– Perikanan tangkap adalah industri yang paling berbahaya di dunia. Organisasi Perburuhan Internasional (ILO), menaksir kasus kecelakaan dari kapal perikanan menelan 24 ribu nyawa pekerja setiap tahun. Angka ini sepuluh kali lipat lebih besar dibandingkan kasus kematian pekerja di kapal komersial yang mengangkut barang ataupun penumpang.
Ocean Law & Policy Research Associate, National University of Singapore, Dita Liliansa, mengawali tulisanya tentang industri perikanan tangkap seperti termuat dalam laman theconversation.com edisi 2 November 2022.
Baca juga: Air Saga, Pulau Indah di Pesisir Batam dan Cerita Niko Black Metal (#1)
Pada tulisan berjudul “Nasib perikanan tangkap: industri paling berbahaya, tapi tak ada standar keselamatannya” tersebut, Dita memaparkan temuan kasus kecelakaan kapal perikanan; hukum internasional tentang keselamatan kapal perikanan; kondisi perikanan tangkap di Indonesia dan Asia dan pentingnya melindungi nyawa pekerja di lautan.
Dita menjelaskan, tak seperti kapal komersial yang dipayungi Konvensi Internasional tentang Keselamatan Penumpang di Laut (SOLAS), saat ini belum ada aturan global yang berlaku untuk mengatur aspek keselamatan kapal perikanan.
Situasi ini amat disayangkan. Pasalnya, kapal perikanan yang tidak aman juga kerap digunakan dalam aktivitas perikanan ilegal, tak dilaporkan, dan tak diatur (IUU fishing) dan dapat berkontribusi pada persoalan lainnya seperti alat tangkap ikan yang ditinggalkan, hilang maupun dibuang (ALDFG) yang semakin menjadi perhatian internasional karena dapat mengganggu lalu lintas pelayaran, sekaligus salah satu sumber utama pencemaran plastik di laut.
Baca juga: Ratusan Aktivis Iklim Serbu Landasan Pacu Bandara Schiphol Cegah Pesawat Lepas Landas
Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) tentang Hukum Laut (UNCLOS) mewajibkan seluruh negara untuk memastikan keselamatan seluruh kapal yang terdaftar di negaranya.
Organisasi Maritim Internasional (IMO) – badan khusus PBB yang mengatur pelayaran internasional – sebenarnya telah beberapa kali mengadopsi aturan keselamatan kapal perikanan. Namun, belum ada satu pun di antaranya yang berlaku.
Perjanjian terbaru yang diadopsi IMO terkait keselamatan kapal perikanan adalah Perjanjian Cape Town. Perjanjian ini diadopsi pada tahun 2012 untuk memperbarui, mengubah, sekaligus menggantikan perjanjian sebelumnya: Protokol Torremolinos 1993.
Perjanjian Cape Town memuat sejumlah standar keselamatan untuk memastikan kelayakan operasional kapal perikanan dengan panjang 24 meter atau lebih. Beberapa di antaranya adalah keberadaan peralatan keselamatan, peralatan komunikasi, dan peralatan pencegahan dan penanggulangan kebakaran di atas kapal.
Baca juga: Dewan Pers: Jangan Ada Anggapan Pers Diatur Seperti Zaman Orde Baru
Namun, Perjanjian Cape Town baru diratifikasi atau disahkan oleh 17 negara dengan jumlah kapal perikanan yang memenuhi syarat hanya mencapai lebih dari seribu kapal. Angka tersebut masih jauh di bawah batas minimum agar perjanjian tersebut dapat mulai berlaku.
Asia merupakan penghasil komoditas perikanan tangkap kelas kakap. Ada setidaknya 4,1 juta kapal perikanan berbendera negara-negara Asia. Ironisnya, tak ada satupun negara-negara Asia yang menjadi peserta Perjanjian Cape Town.
Indonesia sebagai produsen komoditas perikanan terbesar kedua di dunia, mengklaim memiliki lebih dari 600 ribu kapal perikanan pada 2014. Namun, jumlah pastinya belum diketahui. Mayoritas kapal perikanan Indonesia pun berukuran kecil, sehingga sebagian besar tidak memenuhi syarat untuk terikat dalam Perjanjian Cape Town.
Pun demikian, banyak warga Indonesia yang bekerja di kapal perikanan asing. Misalnya, sekitar 186.430 warga Indonesia bekerja di kapal perikanan berbendera Malaysia; sebanyak 12,278 warga di kapal Taiwan; dan 4,885 warga di kapal Korea Selatan pada 2018.
Sayangnya tidak ada satu pun dari negara di atas yang menjadi peserta Perjanjian Cape Town. Artinya, besar kemungkinan aturan keselamatan kapal perikanan di negara-negara tersebut beragam. Menyerahkan pengaturan standar keselamatan kapal perikanan sepenuhnya ke masing-masing negara menjadi problematik karena negara bisa saja menerapkan aturan yang lebih ringan dari standar yang seharusnya.
Baca juga: Ini Penyebab Mengapa Kamu Kerap Merasa Tersentak saat Baru Mulai Tidur
Dita melanjutkan, pekerja kapal penangkap ikan maupun kapal niaga memiliki hak yang sama untuk di lingkungan kerja yang aman di atas laut.
Pengaturan keselamatan kapal perikanan masih jauh tertinggal dari kapal komersial. Padahal, nyawa pekerja kapal perikanan maupun kapal komersial sama-sama berharga.
Karena seluruh pekerja berhak atas lingkungan kerja yang aman, kapal perikanan mestinya mendapatkan perhatian yang sama dengan kapal komersial.
Negara-negara yang memiliki banyak pekerja migran yang bekerja di kapal perikanan asing seperti Indonesia seharusnya memiliki kepentingan yang tinggi untuk memastikan Perjanjian Cape Town segera berlaku secara internasional. Hal ini penting untuk memastikan bahwa pekerja migran tersebut tidak bertaruh nyawa dengan bekerja di atas kapal perikanan yang tak layak.
Negara-negara harus segera mengambil langkah tegas dengan meratifikasi Perjanjian Cape Town, supaya sektor perikanan tangkap tak lagi menelan korban puluhan ribu pekerja di laut setiap tahunnya.