Lebih dari 3.000 hektare hutan mangrove di Pulau Batam lenyap dalam dua dekade terakhir. Pengembangan industri yang mengabaikan lingkungan ditengarai sebagai penyebab. Kemiskinan nelayan, bencana alam hingga ancaman lenyapnya eksistensi Pulau Batam kini di depan mata
EDISI.CO, BATAM– Sampan yang dinakhodai Abdul Ganip (57) bergerak semakin pelan, mendekat ke tangga sebuah pelantar di anak Sungai Pengabu, Kelurahan Tembesi, Kecamatan Sagulung, Batam. Sampan klotok berbahan bakar bensin (Katinting) itu sudah berhenti berbunyi sejak jarak sekitar 20 meter dari pelantar.
Ganip tidak langsung naik ke pelantar. Di dalam sampan yang sudah berada di samping tangga, ia lebih dulu memasung seekor Kepiting kecil yang ia dapat sore itu dari laut. Tangan kirinya menekan cangkang anak kepiting itu, menghentikan gerak agresif hewan yang dulunya banyak ditemukan di kawasan hutan mangrove Sungai Pengabu ini.
Cuaca agak mendung pada Sabtu (8/10/2022) sore itu, mengiringi gerak kaki Ganip menapaki tangga dan beristirahat di sisi pelantar. Kampung kecil tempat Ganip mengawali aktivitasnya ini berbatasan langsung dengan kawasan Perumahan Permata Rhabayu di bagian daratnya dan hamparan mangrove di sisi lainnya.
Baca juga: Laporan dari Cianjur, Batam Peduli Cianjur Terus Bergerak Layani Pengungsi
Anak sungai Pengabu ini terhubung dengan kawasan mangrove. Kawasan mangrove ini mendominasi kawasan di Kelurahan Tembesi yang seluas 38,1 kilometer persegi. Secara administrasi warga di sini berada di bawah Kampung Tua Tanjung Gundap yang berada di seberang, di bagian lain Sungai Pengabu.
“Di sini (Anak Sungai Pengabu) sudah dangkal,” kata Ganip yang masih duduk di pelantar.
Ukuran lebar pelantar ini kurang dari satu meter. Membuat Ganip harus memiringkan tubuhnya ketika ada nelayan lain yang lewat di tempat ia duduk. Pelantar ini dibangun bersama warga untuk memudahkan mobilisasi mereka dan jadi tempat menambatkan sampan atau perahu klotok.
Setahun lalu, Ganip biasa mengikat sampan miliknya di pangkal pelantar ketika air surut di titik terjauh. Kini terjadi perubahan signifikan di anak sungai ini, disertai turunnya pendapatan nelayan. Anak Sungai Pengabu ini kian mendangkal.
Ganip menduga penyebab dangkalnya sungai karena aktivitas penimbunan hutan mangrove beberapa waktu terakhir. Perubahan alih fungsi lahan mangrove dengan cara ditimbun dengan tanah uruk itu menimbulkan sedimentasi yang menyebabkan sungai dangkal.
Sebelum bertemu Ganip, penulis sempat mendekat ke kawasan yang tengah dilakukan penimbunan itu. Saat itu, alat berat Loder tengah melakukan aktivitas perataan tumpukan tanah, menata elevasi lahan yang terbentang luas, tidak kurang dari 20 kali luas ukuran lapangan sepak bola.
Loder tengah melakukan aktivitas perataan tumpukan tanah, menata elevasi lahan di pinggir Anak Sungai Pengabu, Kelurahan Tembesi, Kecamatan Sagulung, Batam pada awal Oktober 2022 lalu. Aktivitas ini sempat terhenti pada 2021 lalu, namun kembali beroperasi dalam empat bulan terakhir-Edisi/BBI
Dua pekan sebelumnya, juga terlihat aktivitas truk hilir mudik menumpahkan tanah uruk ke kawasan mangrove tersebut. Tidak tampak penghalang atau barikade yang membatasi kawasan mangrove dengan lokasi penimbunan. Padahal, barikade menjadi salah satu syarat mencegah proses sedimentasi di kawasan anak Sungai Pengabu tempat Ganip dan nelayan lainnya mencari penghidupan.
Tidak hanya sedimentasi, penebangan mangrove yang ada di kawasan tersebut juga mempengaruhi para nelayan. Ranting sisa kayu yang dibuang di area tangkap sering merusak alat tangkap (Bubu) milik Ganip dan nelayan lainnya.
Namun apa daya, ia dan warga lain yang bergantung pada kawasan laut di sekitar anak sungai ini hanya bisa mengeluh dan dipaksa beradaptasi.
Akibat dangkalnya sungai, kini Ganip harus mencari ikan lebih jauh dari biasanya meski dengan hasil tangkapan tak seberapa. Padahal harga bensin untuk menggerakkan sampan tengah naik.
Ganip sempat menunjukkan udang hasil tangkapannya hari itu. Perkiraannya tidak sampai setengah kilogram. Udang sebanyak itu hanya cukup untuk lauk makan malam keluarganya, tidak cukup bila dijual. Kondisi ini tidak jarang ia rasakan akhir-akhir ini.
“Kalau dulu sehari bisa dapat Rp200 ribu atau Rp250 ribu. Bisa untuk biayai anak sekolah. Sekarang ini dapat Rp50 ribu saja susah,” tuturnya.
Meskipun demikian, mencari Udang dan Kepiting tetap akan terus ia lakukan, berharap nasib baik sesekali berpihak padanya dengan hasil tangkapan berlebih.
Derita Ganip juga dirasakan Awang Gapar (60), Abas (65) dan Rasidi (39). Mereka adalah nelayan asal Kampung Bagan, Kelurahan Tanjung Piayu, Kecamatan Sungai Beduk. Juga Saparuddin (61), nelayan yang bermukim di Kampung Tua Patam Lestari, Kelurahan Patam Lestari, Kecamatan Sekupang.
Abdul Ganip saat melintasi pelantar tempat ia menambatkan sampan miliknya di Anak Sungai Pengabu-Edisi/bbi.
Mereka mengeluh semakin berkurangnya pendapatan karena mangrove dan laut tempat tinggal ikan dan kepiting rusak dan tercemar. Pendangkalan anak sungai, kerusakan kawasan hutan mangrove dan kualitas air laut yang buruk menjadi penyebabnya. Terlebih ketika hujan, air sungai akan keruh, dipenuhi sampah dan limbah yang dibuang manusia.
Cerita mereka tentang bagaimana kondisi laut dan hasil tangkapan dulu dan sekarang, menggambarkan bagaimana nelayan kecil di pesisir terusik. Namun para nelayan kecil ini tak punya kuasa melawan raksasa industri perumahan yang menggilas hutan mangrove.
Baca juga: Air Saga, Pulau Indah di Pesisir Batam dan Cerita Niko Black Metal (#1)
Dukungan pemerintah untuk nelayan kecil melalui program bantuan alat tangkap, memang ada. Namun belum merata dan tidak menyentuh persoalan yang lebih penting menurut mereka, yakni sungai dan laut yang selama ini menjadi sumber penghidupan nelayan. Persoalan degradasi laut di pesisir yang menjadi area tangkap para nelayan masih terus terjadi.
Lenyapnya Mangrove
Penulis mengumpulkan data dari sejumlah lembaga untuk melihat tren kawasan mangrove di Pulau Batam. Hasilnya, luas kawasan mangrove berkurang signifikan dalam dua puluh tahun atau dua dekade terakhir.
Penelitian yang dilakukan Bernadetta Alnybera Febriannaningsih dan Nurul Khakhim pada 2015 lalu, mengungkapkan fakta sebanyak 96 persen penyebab mangrove di Batam rusak karena ulah manusia, empat persen sisanya karena faktor alam.
Laporan mereka dalam jurnal berjudul “Aplikasi Citra Landsat Thematic Mapper dan Operasional Land Imager untuk Pemetaan Perubahan Tutupan dan Kerapatan Mangrove tahun 1990-2015 di Pulau Batam dan Sekitarnya” antara tahun 1990 sampai tahun 2000 mengungkapkan terjadi penurunan luasan mangrove seluas 18,45 kilometer persegi (1.845 hektare) dalam satu dekade tersebut. Pengamatan antara tahun 2000 sampai 2015, terjadi penurunan luasan Mangrove sebesar 21,78 kilometer persegi (2.178 hektare).
Selain kehilangan mangrove, Pulau Batam, Rempang, dan Galang juga mengalami perubahan kerapatan mangrove.
Penelitian tersebut menjelaskan sebab berkurangnya luas kawasan mangrove karena beberapa faktor. Antara tahun 1990 sampai tahun 2000 sebanyak 5,81% mangrove yang berubah menjadi bangunan industri; 6,43% menjadi hutan lahan kering; 7,17% menjadi kebun campuran; 12,56% menjadi lahan kosong; 9,86% menjadi perairan laut; 11,11% menjadi permukiman; 0,38% menjadi tambak ikan dan 55,77% menjadi waduk.
Sementara itu, penurunan kawasan Mangrove antara tahun 2000 hingga 2015 akibat industri meningkat 14 kali lipat. Naik dari 5,8% menjadi 21,8%. Demikian juga dengan pemukiman yang naik dari 11,11% menjadi 27%.
Kerusakan Mangrove di Kota Batam disebabkan oleh kawasan industri, pemukiman, kegiatan pertanian lahan kering dan untuk kebutuhan arang bakau, juga mengemuka dari Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Laut (PKSPL) Fakultas Perikanan dan Imu Kelautan Universtias Riau (Unri) Pekanbaru. Data itu termuat dalam laporan Penelitian Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Riau Kepulauan (Unrika) Batam tahun 2014 berjudul “Struktur dan Fisiognomi Vegetasi Mangrove di Rempang Cate Kota Batam”.
Data PKSPL Fakultas Perikanan dan Imu Kelautan UNRI Pekanbaru tersebut menjelaskan setiap tahun diperkirakan telah terjadi kerusakan kawasan mangrove lebih kurang 375,82 hektare di Batam.
Pendiri platform penyedia data deforestasi Nusantara Atlas, David Guava, menjelaskan hasil pengukuran Nusantara Atlas pada Oktober 2022 lalu memperlihatkan sisa hutan mangrove di Pulau Batam kini tinggal 2.384 hektare.
Jumlah itu tersebar di delapan kecamatan, dengan rincian Kecamatan Batam Kota seluas 111 hektare; Batu Aji seluas 68 hektare; Bengkong seluas tujuh hektare; Nongsa seluas 653 hektare; Sagulung seluas 652 hektare; Sei Beduk sebanyak 673 hektare dan Kecamatan Sekupang seluas 221 hektare.
Nusantara Atlas juga mencatat terjadi deforestasi kawasan mangrove di Pulau Batam seluas 3.377 hektare sejak tahun 1990 sampai 2022 ini. Dari luasan tersebut, 1.984 hektare kerusakan kawasan mangrove di Pulau Batam disebabkan oleh pembangunan perkotaan. Sementara 1.394 hektare sisanya hilang karena pembangunan waduk.
“Ini meliputi semua mangrove, baik sedang, rapat atau jarang,” kata David.
Mirip dengan temuan Nusantara Atlas, pengukuran yang dilakukan oleh salah satu peneliti dari Universitas Raja Ali Haji (Umrah) Kota Tanjungpinang, Andi Zulfikar, mendapati sisa kawasan mangrove di Pulau Batam hanya tersisa sekitar 2.000 hektare saja saat ini. Baik itu di dalam kawasan hutan maupun di luar kawasan hutan.
Dengan teknik penginderaan jauh menggunakan data citra satelit Sentinel-2, Andi menjelaskan jumlah itu sangat sedikit dan berpotensi hilang dalam beberapa tahun ke depan. Sementara kondisi lebih baik ada di pulau-pulau pesisir yang masih termasuk dalam administratif Kota Batam. Di antaranya di Pulau Bulan di Kecamatan Bulang, Pulau Rempang dan Galang di Kecamatan Galang.
Menerabas Aturan
Aktivis lingkungan dari lembaga Akar Bhumi Indonesia, Hendrik Hermawan menuturkan kerusakan mangrove di Pulau Batam sejatinya sudah disampaikan ke Presiden Joko Widodo awal 2022 lalu.
Dalam surat yang mereka kirimkan ke Presiden, telah dipaparkan kondisi lingkungan di Batam yang dinilai sudah darurat. Beberapa Indikator rusaknya lingkungan antara lain kerusakan kawasan waduk yang menjadi sumber air satu-satunya di Batam, Kerusakan hutan dan kerusakan di kawasan pesisir termasuk hutan mangrove.
Baca juga: BP Batam Terbitkan Perka Baru untuk Efisiensi Perizinan Kepelabuhanan
Dalam dua tahun terakhir, Akar Bhumi Indonesia terlibat advokasi kasus kerusakan lingkungan di Batam. Menurut Hendrik, sudah ada 22 kasus yang Akar Bhumi Indonesia laporkan ke penegak hukum. Dari 22 kasus itu, kasus berkaitan dengan reklamasi sekitar 40 persen, sebanyak 30 persen soal okupasi hutan dan sisanya persoalan lingkungan lainnya.
Pendiri Akar Bhumi Indonesia, Hendrik Hermawan-Edisi/bbi.
Penimbunan mangrove yang terjadi di Kelurahan Tembesi, menjadi salah satu kasus yang Akar Bhumi advokasi. Penimbunan kata dia, sempat berhenti pada 2021 saat advokasi tengah gencar dilakukan. Namun perusakan hutan mangrove kembali dilakukan dalam empat bulan belakangan.
Degradasi di kawasan pesisir, tutur Hendrik, disebabkan banyak hal. Mulai dari pembangunan baik oleh swasta maupun pemerintah. Seperti pembukaan perumahan untuk masyarakat dan usaha tambak. Penebangan kayu bakau untuk bahan baku arang juga persoalan serius dan sudah berlangsung cukup lama. Pembangunan dua waduk yakni Waduk Duriangkang di akhir tahun 1990 dan DAM Tembesi di era tahun 2010 juga mengurangi komposisi kawasan mangrove di batam.
“Kami bisa simpulkan bahwa terjadi kerusakan pesisir yang cukup besar di Batam,” tutur Hendrik.
Ketika berbicara tentang kerusakan kawasan pesisir, lanjut Hendrik, perhatian besar harus diberikan pada nelayan. Karena nelayan menggantungkan hidup mereka dari kekayaan laut di sana.
“Nelayan dan pesisir seperti ikan dan air, memiliki hubungan yang saling ketergantungan. Ketika kita bicara tentang mangrove di pesisir, kita berbicara tentang seluruh komponen masyarakat,” kata dia.
Hendrik menjelaskan, daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup di Batam saat ini memang rendah. Untuk itu upaya untuk penguatan daya dukung mesti dilakukan, baik itu lewat sosialisasi, restorasi dan advokasi. Bagaimana semua program bisa dilakukan secara bersama-sama, karena kondisi sudah mendesak.
Menurutnya, pembangunan di Batam harus berpedoman pada aturan, namun kenyataannya tidak demikian. Ia mencontohkan kasus pembangunan SMKN 9 di Kelurahan Tanjungpiayu, Kecamatan Sungai Beduk yang ditangani Akar Bhumi Indonesia pada akhir 2020 lalu. Sekolah ini dibangun di atas kawasan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) hutan mangrove.
Penimbunan hutan mangrove untuk pembangunan SMKN 9, kata Hendrik ditengarai menerabas sejumlah undang-undang. Yakni Undang-Undang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemmnya. Melanggar Undang-Undang No.32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup; Undang-Undang No. 27 tahun 2007 juncto Undang-Undang No.1 tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil; Undang-Undang Kehutanan No. 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan; serta Peraturan Pemerintah (PP) No. 27 tahun 2012 tentang Izin Lingkungan.
Akibat pembangunan sekolah itu, kata dia, masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan harus menerima konsekuensi terganggunya ekosistem. Mulai dari terjadinya banjir karena saluran irigasi menyempit dan rusaknya mangrove yang mempengaruhi hasil tangkapan nelayan di sekitar lokasi.
“Bukan kami anti pembangunan atau peningkatan kecerdasan bangsa. Tapi mencerdaskan bangsa harus melalui cara-cara yang cerdas juga,” tuturnya.
Dari banyak kegiatan advokasi, Akar Bhumi Indonesia kerap menemukan modus serupa seperti kasus pembangunan SMKN 9 Batam. Pembangunan dilakukan dengan melanggar prosedur.
Tumpang Tindih Kawasan
Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Unit II Batam, Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) Lamhot M. Sinaga, menuturkan dari total wilayah kerja KPHL Unit II Batam seluas 32.456 hektare, sekitar 50 persen di ataranya sudah dirambah atau digunakan secara nonprosedural alias ilegal.
Wilayah kerja KPHL Unit II Batam tersebut, terdiri atas hutan lindung, hutan produksi terbatas, hutan produksi dan hutan produksi konversi. Kawasan hutan lindung mendominasi dengan luas sekitar 22.000 hektare.
Baca juga: Karas, Pulau di Pesisir Batam Tempat Penyu Bertelur
Adapun 50 persen kasus perambahan hutan di wilayah kerja KPHL Unit II Batam tersebar di semua jenis kawasan hutan, baik itu hutan lindung, hutan produksi terbatas dan hutan produksi. Data perkiraan ini dihitung sejak KPHL Unit II Batam di bentuk pada tahun 2017 lalu dan mulai efektif sejak 2018.
Pada prosesnya, KPHL Unit II Batam berhasil menangani tiga kasus perambahan hutan sampai pada putusan pengadilan dalam dua tahun terakhir. Selain itu, pihaknya juga menegur dan menghentikan perambahan hutan di lapangan.
Dengan keterbaasan SDM, Lamhot mengaku menemukan tantangan besar dalam upaya memastikan kawasan hutan terjaga dari perambahan. Utamanya belum adanya Penyidik Pegawan Negeri Sipil (PPNS) di KPHL Unit II Batam.
“Tupoksi KPHL Unit II Batam itu melakukan perlindungan dan pengawasan di wilayah kerja kami. Dalam hal ini termasuk vegetasi mangrove di kawasan hutan. Kami melakukan patroli rutin. Apabila ada temuan aktivitas dalam kawasan hutan dan tidak ada izin, maka kita hentikan dan berikan surat teguran. Apabila ada indikasi pidana, kami koordinasi dengan Gakkum KLHK,” klaim Lamhot.
Terkait dengan pengawasan pesisir yang ditumbuhi mangrove, ada kalanya mangrove itu berada di kawasan hutan, luar kawasan hutan dan beririsan langsung atau tumpang tindih di antara keduanya. Kaitannya dengan perizinan, kalau di dalam kawasan hutan harus memiliki izin pemanfaatan kawasan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) serta aturan turunannya.
Diantaranya Izin Pemanfaatan Kawasan (IPK) yang saat ini berubah menjadi Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH). Setelah itu, harus ada izin lingkungan ketika akan melakukan penimbunan. Ketika alih fungsi lahan mangrove beririsan dengan laut, harus juga ada izin lanjutan terkait dengan kegiatan reklamasi.
Sementara untuk lahan mangrove di luar kawasan hutan menjadi kewenangan Badan Pengusahaan (BP) Batam untuk menerbitkan lisensi yakni izin Pengalokasian Lahan (PL). Meski telah mengantongi izin PL, sesuai aturan, penerima izin tetap dibebankan pembayaran atas kawasan mangrove yang ditimbun sebagai pajak untuk negara.
Pembangunan SMKN 9 di Kelurahan Tanjungpiayu, Kecamatan Sungai Beduk yang ditangani Akar Bhumi Indonesia pada akhir 2020 lalu. Sekolah ini dibangun di atas kawasan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) hutan mangrove.
Vegetasi mangrove di daerah kepulauan seperti Kepri, khususnya Batam memang mendominasi. Namun pembangunan kawasan industri dan pemerintahan, terkadang beririsan dengan kawasan mangrove, baik di kawasan hutan maupaun di luar kawasan hutan.
Meskipun demikian, Lamhot menekankan penggunaannya harus sesuai aturan. Hadirnya investasi tetap harus memperhatikan aspek ekologis. Hal ini kata dia, bukan berarti menghambat investasi.
Pengawasan Alih Fungsi Mangrove
Terkait dengan pengelolaan pertanahan di luar kawasan hutan yang menjadi kewenangan BP Batam, media ini telah berupaya melakukan konfirmasi ke otoritas terkait. Penulis semula dijadwalkan wawancara dengan Kepala BP Batam, Muhammad Rudi pada Rabu (19/10/2022) pukul 13.00 WIB. Namun tiba-tiba dari pihak BP Batam mengabarkan wawancara untuk ditunda hanya beberapa jam menjelang waktu yang ditentukan.
Media ini juga berupaya menemui Direktur Pengelolaan Pertanahan BP Batam, Ilham Eka Hartawan pada Selasa (24/10/2022) siang. Hasilnya, Ilham mengarahkan untuk berkoordinasi dengan Biro Humas, Promosi dan Protokol BP Batam terkait hal tersebut. Kepala Biro Humas, Promosi dan Protokol BP Batam, Ariastuty Sirait, berjanji akan berkoordinasi dengan Direktorat Pengelolaan Pertanahan BP Batam untuk penyediaan data pengelolaan pertanahan oleh BP Batam.
Ariastuty selanjutnya mengarahkan untuk berkoordinasi dengan Kepala Bagian (Kabag) Humas BP Batam, Sazani. Media ini lantas membuat janji wawancara dengan Sazani pada Rabu (2/11/2022), namun wawancara kembali tertunda dan kembali akan dijadwalkan ulang.
Penulis kemudian bertemu dengan Ariastuty pada Rabu (16/11/2022) sore. Pada pertemuan tersebut, Ariastuty mengaku akan berkoordinasi dengan tim Direktorat Pengelolaan Pertanahan BP Batam dan bersedia untuk menjadi narasumber. Namun sampai saat ini hal tersebut belum terealisasi.
Untuk diketahui, dalam Peraturan Kepala Badan Pengusahaan (BP) Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (KPBPB) Batam Nomor 3 tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Pengelolaan Lahan, pada aspek pengawasan, kegiatan monitoring termaktub dalam Pasal 25.
Dalam beleid tersebut dijelaskan kegiatan monitoring dilaksanakan oleh Direktorat Pengelolaan Lahan cq Subdit Evaluasi dan Pengawasan Penggunaan Lahan.
Pada prosesnya, monitoring dilakukan sejak awal pengalokasian lahan mencakup beberapa hal. Meliputi pelaksanaan kewajiban BP Batam kepada pengguna lahan berupa penerbitan dokumen-dokumen alokasi lahan dan realisasi pengurusan penggunaan lahan/teknis terkait.
Monitoring juga dilakukan terhadap proses realisasi pelaksanaan pembangunan sesuai peruntukan atau pemanfaatan pada keseluruhan alokasi lahan sesuai dengan jangka waktu pada jadwal pelaksanaan pembangunan yang disepakati; pemenuhan kewajiban pengguna lahan sesuai dengan SPPL; memonitor jangka waktu alokasi lahan yang akan berakhir dan memonitor laporan realisasi penggunaan lahan dan pembangunan.
Dalam hal peruntukan lahan, pada Pasal 8 Nomor 2 bagian ketiga peraturan ini, menjelaskan peruntukan lahan di luar kawasan hutan yang menjadi wewenang BP Batam terbagi dalam enam kelompok. Kelompok pertama atau dalam aturan tersebut dibahasakan Kelompok B1, berisi peruntukan lahan untuk pemukiman kepadatan tinggi; fasilitas pemerintahan; pendidikan; pelayanan kesehatan; perbelanjaan; tempat ibadah; rekreasi dan kebudayaan; olahraga; lapangan terbuka dan Ruang Terbuka Hijau (RTH).
Kelompok B2 terdiri atas peruntukan lahan bagi pemukiman kepadatan sedang; fasilitas pemerintahan; pendidikan; pelayanan kesehatan; perbelanjaan; tempat ibadah; rekreasi dan kebudayaan; olahraga; lapangan terbuka dan RTH.
Kelompok B3 memuat peruntukan lahan bagi pemukiman kepadatan rendah; fasilitas pemerintahan; pendidikan; pelayanan kesehatan; perbelanjaan; tempat ibadah; rekreasi dan kebudayaan; olahraga; lapangan terbuka dan RTH.
Kemudian Kelompok B4 terdiri atas peruntukan lahan industri dan kegiatan penunjang industri pengolahan. Kelompok B5 memuat peruntukan lahan pariwisata. Kelompok B6 atau yang terakhir, terdiri atas peruntukan lahan bandar udara; pelabuhan; pendidikan; kesehatan; sosial budaya; riset dan teknologi; pertahanan dan keamanan negara; perdagangan dan jasa).
Ancaman Bencana di Depan Mata
Dosen Fakultas Kelautan Universitas Raja Ali Haji (Umrah) Kota Tanjungpinang, Dony Apdilah, menuturkan hasil penelitian mereka di pulau utama Batam pada tahun 2022 ini, menunjukkan kondisi mangrove di luar kawasan hutan dalam keadaan rusak, dengan kategori jarang, berdasarkan kriteria yang diatur dalam Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 201 Tahun 2004 tentang Kriteria Baku dan Pedoman Penentuan Kerusakan Mangrove.
Hasil verifikasi dari sampling mangrove Teluk Tering yang ada di sisi utara Pulau Batam, wilayah Batu Besar untuk sisi timur dan sisi selatan di Tanjung Gundap, menunjukan adanya konversi lahan untuk kepentingan industri. Utamanya di daerah Batu Besar dan Sagulung.
“Kondisi mangrove [di wilayah di atas] hampir hilang karena reklamasi,” tutur Dony Apdilah saat ditemui di Batam pada Sabtu (19/11/2022) sore).
Sementara Mangrove dalam kondisi baik dengan kategori sedang dan padat, ditemukan di Pulau Bulan di Kecamatan Bulang dan Pulau Rempang serta Galang di Kecamatan Galang.
Dony melanjutkan, ada dampak bencana yang muncul atas kritisnya kondisi mangrove di Batam. Mulai dari potensi terjadinya erosi, ekosistem yang terkoneksi dengan mangrove seperti Karang dan Lamun ikut terganggu. Pasalnya, mangrove memiliki konektivitas terhadap ekosistem lain.
Mangrove yang mampu menangkap lumpur membuat kawasan menjadi jernih. Tanaman mangrove juga sebagai penyuplai nutrisi untuk karang, alhasil membuat keanekaragaman biota laut tinggi. Apabila ekosistem ini rusak, otomatis nelayan kehilangan tangkapan.
“Kami melihat di Batam, berkurangnya mangrove tapi daratan bertambah karena reklamasi. Jadi mangrove hilang daratannya tumbuh. Dengan teknologi sekarang, kehilangan mangrove memang bisa diganti dengan teknologi lain untuk menahan erosi. Misalnya tanggul, tapi biayanya jauh lebih besar secara ekonomi,” jelas Dony.
Peneliti dari Fakultas Kelautan Universitas Raja Ali Haji (Umrah) Kota Tanjungpinang, Andi Zulfikar, menuturkan konsekuensi dari kehilangan kawasan mangrove tidak hanya soal hilangnya penyerap karbon. Ketika mangrove hilang, upaya apapun tidak akan mengembalikan situasi alami yang pernah ada. Akan ada biota laut yang hilang.
“Kalau saya itu tidak boleh diganggu [hutan mangrove], karena ada hal yang tidak bisa diganti. Seperti kehilangan ikan, konektivitas dengan ekosistem lain seperi lamun dan terumbu karang,” jelas Andi Zulfikar.
Andi melanjutkan, eksistensi pulau-pulau kecil di Kepri itu salah satunya karena adanya vegetasi. Pembangunan dengan menghilangkan vegetasi sama dengan mengancam eksistensi Kepulauan Riau. Hilangnya kawasan mangrove, terumbu karang dan lamun untuk kepentingan ekonomi, sejatinya adalah “bom waktu” yang mengancam eksistensi ekosistem utamanya eksistensi pulau ini.
“Hasil tangkapan nelayan semakin berkurang, permukaan laut naik. Itu mengancam eksistensi kita, walaupun bukan saat ini, bisa terjadi pada masa anak cucu kita,” kata dia.
Rasidi (39) Nelayan di Kampung Bagan, Kelurahan Tanjung Piayu, Kecamatan Sungai Beduk, Batam-Edisi/bbi.
Ekosistem mangrove lanjut dia, berperan penting dalam sistem ekologi, sebagai wilayah spawning ground, feeding ground dan nursery ground, sebagai penyerapan karbon dan siklus nutrisi, tempat penangkapan ikan, sebagai penyangga dan daerah tangkapan sedimen, sumber penyedia makanan, serat, kayu, bahan kimia, dan obat-obatan, perlindungan pesisir terhadap gelombang, serta fungsi jasa lingkungan lainnya yang bermanfaat bagi manusia.
Berfikir secara sistematis, lanjut Andi, menjadi kunci dalam menyelaraskan pembangunan dan tetap terjaganya aspek ekologi satu kawasan. Mangrove di Batam yang nampaknya tidak lebih penting dari industri, karena cara berfikir tidak sistematis.
“Kita berfikir ekonomi. Oke ekonomi maju, tapi itu tidak memberi efek ke orang banyak. Hanya satu dua yang menikmati. Ketika mangrove hilang, maka ada sistem yang terganggu, berantai efeknya. Jenis ikan hilang, kepiting berkurang. Ketika berfikir tidak dalam sistem, di mana pun akan tidak baik, termasuk ekonomi,” tambahnya lagi.
Saat ini, pembangunan ekonomi tanpa memikirkan ekologi ini sudah menunjukkan dampaknya. Hal itu dirasakan para nelayan. Untuk itu kata dia, pemerintah harus memprioritaskan dan mempertahankan kondisi mangrove di pulau-pulau kecil yang mengitari Pulau Batam. Penanaman kembali dan proteksi area menjadi pilihan terbaik dari yang terburuk.
Pembangunan Berkelanjutan dan Berkeadilan
Dosen Fakultas Kelautan Universitas Raja Ali Haji (Umrah) Kota Tanjungpinang, Dony Apdilah menilai, para pemangku kepentingan lebih mengejar kepentingan ekonomi karena posisi Batam sebagai daerah industri. Pengembangan industri dianggap penting untuk mengimbangi kemajuan negara tetangga seperti di Selat Malaka. Lantaran didominasi kepentingan ekonomi, ekosistem dan lingkungan menjadi terabaikan.
Pemerintah seharusnya membangun ekonomi yang mengarah pada pembangunan berkelanjutan. Minimal kata dia, ada kewajiban setiap daerah industri mengganti mangrove yang dialihfungsikan. Salah satunya dengan membangun daerah konservasi mangrove.
Perusahaan kata dia, juga perlu mengoperasikan perusahaannya dengan mengurangi karbon dan membayarnya pada daerah lain. Utamanya pada masyarakat di sekitar yang secara fisik menjaga mangrove.
“Di sinilah fungsi keadilan. Ada yang menjaga, ada yang merusak. Tidak adil kalau yang menjaga tidak dapat kompensasi ini. Itu yang paling penting dan regulasi ini belum banyak, istilahnya carbon trading,” kata Dony lagi.
Adanya regulasi yang mengikat di tingkat kabupaten/kota terkait dengan pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan mangrove untuk mengurangi tekanan terhadap ekosistem mangrove sangat dimungkinkan.
Aturan ini dapat mengarah pada penataan masyarakat yang semula memanfaatkan mangrove secara langsung. Misalnya bagi masyarakat yang menebang bakau, diberikan alternatif secara bertahap melalui kegiatan lain seperti ekowisata. Kebijakan seperti ini menurutnya belum terlihat.
Konten ini merupakan salah satu penerima dukungan dari Data Journalism Hackthon 2022 yang diselenggarakan Indonesia Data Journalism Network (IDJN).
Penulis dan Editor: Bobi dan Bhekti Suryani