EDISI.CO, NASIONAL– Dunia bergantung pada lautan untuk memenuhi meningkatnya permintaan makanan, pemasukan, energi dan mineral serta transportasi. Namun, ekosistem laut menghadapi masalah serius akibat eksploitasi dan ekstraksi berlebih, polusi, hilangnya keanekaragaman hayati, dan perubahan iklim.
Kini, lebih dari sebelumnya, ada kebutuhan untuk menyeimbangkan antara produksi dan perlindungan untuk kebutuhan para pengguna lautan di masa kini dan masa depan.
Akan tetapi, seperti yang ditunjukkan oleh laporan kami, pengelolaan sumber laut di Indonesia–selaku negara kepulauan terbesar dengan kekayaan sumber daya hayati paling besar di dunia–sangatlah kompleks.
Belum lagi, Indonesia kerap disibukkan dengan perikanan tangkap, produksi budi daya perikanan, dan rantai pasokan komoditas pangan laut lokal dan global. Sementara itu, nelayan lokal dengan perahu kecil tidak menarik dalam tata kelola kelautan dan perikanan Indonesia, meskipun mereka berperan penting dalam perlindungan laut.
Nelayan skala kecil terpinggirkan
Perikanan skala kecil merupakan bagian penting dari keberlanjutan ketahanan pangan dan mata pencaharian di Indonesia.
Hampir 96% kapal penangkap ikan di Indonesia berukuran di bawah 10 gross ton. Namun hanya 20% tangkapan ikan Indonesia berasal dari mereka.
Hal ini berkaitan dengan kurangnya pengakuan dan dukungan terhadap para nelayan kecil ini. Perikanan skala kecil dan ruang hidup mereka terus termarginalisasi akibat kompetisi dengan perusahaan-perusahaan besar – seperti dalam konflik dengan perusahaan tambang pasir di Sulawesi Selatan.
Konflik menyebabkan ruang hidup para nelayan ini terampas akibat adanya kontrol eksklusif entitas besar terhadap wilayah tangkapan. Belum lagi masalah kerusakan fisik terhadap ekosistem laut dan sumber penghidupan mereka.
Rumah tangga para nelayan di Indonesia pun masih yang termiskin di antara yang paling miskin. Statistik bahkan menunjukkan bahwa semakin sedikit orang yang memilih bertahan di sektor tersebut.
Program-program pemerintah pun bisa jadi alasan di balik terpinggirkannya perikanan skala kecil. Sebagai contoh, kebijakan penangkapan ikan terukur (PIT) berbasis kuota, yang bertujuan untuk mengelola sektor perikanan dengan menetapkan kuota tangkapan, menimbulkan kekhawatiran tentang kontrol konsesi mayoritas oleh hanya beberapa industri dan investasi perikanan skala besar. Akibatnya, hanya sedikit kuota tersisa bagi nelayan tradisional, artisan (ahli skala kecil/skala rumah tangga), dan skala kecil, sekaligus memperlebar kesenjangan pendapatan.
Baca juga: Barang Milik Pekerja Migran Indonesia akan Dapat Relaksasi Pajak
Terasingnya nelayan skala kecil memperkuat ketidakseimbangan distribusi manfaat laut dan perilaku ekstraktif yang berlebihan. Dampaknya, kinerja laut dalam jangka panjang akan mengalami penurunan.
Buruknya kontrol kualitas dalam ekspor
Indonesia adalah produsen perikanan tangkap dan akuakultur terbesar kedua setelah Cina. Sayangnya, meskipun produksinya tinggi, Indonesia bukanlah pengekspor skala besar. Ekspor makanan laut Indonesia tidak termasuk dalam sepuluh besar dunia pada 2020, lebih rendah daripada Vietnam dan Thailand yang menghasilkan volume lebih kecil.
Pada 2018, misalnya, nilai ekspor Indonesia hanyalah sebesar US$4,9 juta (sekitar Rp72,34 miliar), jauh lebih rendah dari ekspor Vietnam yang sebesar US$9 juta (sekitar Rp 135,63 miliar). Ini ironis mengingat Indonesia menyumbang 8% dari produksi ikan global dan Vietnam hanya 4%.
Sektor perikanan Indonesia gagal memenuhi target produksi, ekspor, dan pertumbuhan sejak 2017, sebelum pandemi COVID-19 dimulai. Bahkan, kegagalan memenuhi target ekspor sudah terjadi sejak 2015. Jelas ada masalah pengelolaan di sini.
Salah satu alasan di balik kinerja yang tak memuaskan adalah rendahnya kualitas produksi Indonesia. Akibatnya, pemasukannya pun rendah.
Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat penolakan produk perikanan tertinggi. Produk-produk kerap terkontaminasi akibat rendahnya kesadaran nelayan atau sektor perikanan dalam menjaga kualitas. Misalnya, dalam hal udang terkontaminasi bambu, antibiotik, dll. Hal ini diperburuk oleh kurangnya kontrol pemerintah dan perusahaan dalam menggunakan bahan-bahan yang tak aman untuk pengawetan dan pengolahan.
Tak hanya itu, statistik produksi perikanan Indonesia tak selaras dengan statistik perdagangannya. Sebagai contoh, produksi rumput laut Indonesia tampak signifikan namun kontribusinya terhadap pemasukan ekspor rendah. Ini karena Indonesia mengekspor, misalnya, karagenan rumput laut Eucheuma cottonii dalam bentuk mentah kering, sementara yang dilaporkan dalam statistik produksinya adalah rumput laut basah yang tinggi kandungan air.
Pengelolaan yang buruk merusak lingkungan dan ekonomi
Masa depan sektor perikanan tampak tak menjanjikan. Penurunan stok ikan, ditambah dengan pengelolaan yang buruk, memperparah kemungkinan jatuhnya kinerja ekonomi sektor kelautan dan perikanan.
Pengelolaan yang buruk muncul dalam berbagai bentuk. Praktik-praktik perikanan yang melanggar hukum, tidak dilaporkan dan tidak diatur (illegal, unreported, and unregulated fishing). Ini melibatkan kapal-kapal asing yang memiliki izin tangkap, tapi tidak melaporkan ukuran atau jenis kapalnya dengan benar demi menghindari pengawasan dan pajak.
Praktik-praktik ini juga meliputi kapal-kapal asing yang menyamarkan kepemilikan sebenarnya dengan menggunakan nama lokal, atau kapal lokal maupun asing yang tak melaporkan tangkapan mereka dengan jujur.
Indonesia kehilangan US$4 miliar (Rp60,29 triliun) tiap tahunnya akibat IUU fishing. Sementara, kerugian di tingkat global ditaksir sekitar US$10-23 miliar (Rp 150,72-364,79 triliun) per tahun.
Praktik ini juga menyebabkan 75% sumber daya ikan Indonesia dieksploitasi penuh atau ditangkap secara berlebihan. Ini menjadi beban berat bagi 96% nelayan Indonesia yang beroperasi dalam skala kecil dan di tengah meningkatnya ongkos produksi di lautan yang dieksploitasi berlebihan.
Perlu data yang cukup untuk menjaga kinerja perikanan tangkap jangka panjang. Data-data ini termasuk status stok dan upaya penangkapan, seperti kapasitas kapal, jam atau hari yang dihabiskan untuk menangkap ikan, dan alat tangkap yang digunakan.
Namun, pengumpulan data ini pun masih tersandung masalah. Perikanan tangkap di Indonesia menggunakan alat yang beragam dan menyasar berbagai spesies. Akibatnya, prediksi dinamika populasi spesies sasaran menjadi sulit. Selain itu, pergerakan kapal juga sulit dipahami, dengan kesulitan melacak dan memantau perairan Indonesia yang luas.
Isu-isu ini menyoroti perlunya partisipasi dari bawah ke atas dalam menciptakan peraturan dan regulasi dalam mengelola laut Indonesia.
Tiga jalan ke depan
Ada tiga cara bagaimana kita dapat melibatkan dan memberi manfaat lebih banyak orang dalam pengelolaan laut.
Yang pertama adalah melibatkan para pemangku kepentingan, termasuk nelayan skala kecil, dalam pengambilan keputusan pengelolaan sumber daya laut dan perikanan.
Dinamika politik Indonesia memengaruhi pengambilan keputusan seputar pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan. Misalnya, pemerintah bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan investasi melalui “ekonomi biru”, antara lain dengan menerapkan kebijakan perikanan berbasis kuota yang meminggirkan nelayan tradisional, nelayan artisan (ahli skala kecil atau skala rumah tangga), dan skala kecil.
Kedua, kita perlu meningkatkan analisis dan pengumpulan data demi manajemen yang efektif dan berkelanjutan.
Indonesia perlu mengatasi ketidakterhubungan antara data jumlah produksi dan ekspor untuk memantau kinerja ekonomi sektor ini dan kinerja sosial dan lingkungan. Pengumpulan data yang memadai untuk pemantauan stok dan upaya perikanan (seperti kapasitas kapal, jumlah jam atau hari yang dihabiskan untuk menangkap ikan, alat tangkap yang digunakan) untuk menjaga kinerja jangka panjang juga penting.
Terakhir, kita tak bisa melewatkan strategi gender yang inklusif dan adil demi mendukung dan memungkinkan pemulihan dan ketahanan komunitas nelayan secara jangka panjang.
Partisipasi perempuan nelayan kerap tak tampak dalam pembuatan kebijakan. Padahal, perempuan mewakili 42% tenaga kerja sektor perikanan dan 74% budi daya perikanan. Perempuan adalah aktor-aktor penting di sektor ini dan di rumah tangga nelayan individu.
Penempatan manusia dan ekosistem sebagai pusat pengambilan keputusan sangat penting untuk menyeimbangkan kebutuhan manusia dan pemanfaatan laut, serta menjaga kesehatan laut dan produktivitas jangka panjang.
Lucentezza Napitupulu, Adjunct associate, Universitas Indonesia dan Smita Tanaya, Research Assistant for Food System, World Resources Institute
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.