Tidak terasa, sudah 13 tahun perjuangan perempuan adat Serawai Pasar Seluma menolak keberadaan tambang pasir besi di Bengkulu. Aksi menolak tambang pasir besi mulai dilakukan perempuan adat Serawai Pasar Seluma pada tahun 2010. Ketika itu pemerintah pusat melalui Pemerintah Kabupaten Seluma mengeluarkan Izin Usaha Pertambangan (IUP) kepada PT Faminglevto Bakti Abadi di pesisir pantai Desa Pasar Seluma, kawasan cagar alam, hutan adat serta muara Buluan.
EDISI.CO, CATATAN EDISIAN– Nevi dan perempuan-perempuan Masyarakat Adat Serawai Pasar Seluma berusaha menemui Presiden Joko Widodo saat sedang melakukan kunjungan kerja ke Provinsi Bengkulu pada 20 Juli 2023. Tidak gampang, Nevi dan kawan-kawan harus berhadapan dengan barikade Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres). Meski cukup berat untuk melewati Paspampres, berkat kegigihan dan semangat yang menggelora, akhirnya satu dari puluhan kaum Perempuan Adat Serawai Pasar Seluma berhasil menjebol penjagaan Paspamres sehingga dapat bertemu dengan Presiden Jokowi.
Nama perempuan adat yang berhasil menerobos barikade Paspampres tersebut adalah Helda. Ia langsung mendekati pintu mobil Presiden Joko Widodo yang sedang melaju perlahan di tengah kerumunan masyarakat. Helda beruntung bisa berbicara dengan Presiden Joko Widodo. Namun, tidak lama karena dirinya terus ditarik oleh Paspampres.
“Saya minta kepada Presiden Joko Widodo untuk tidak mengizinkan perusahaan tambang biji besi beroperasi di Bengkulu,” katanya saat membocorkan permohonannya kepada Presiden Joko Widodo saat itu.
Tak disangka, presiden merespon permohonan Helda. Selanjutnya, presiden meminta ajudannya untuk mencatat semua keluhan yang disampaikan oleh Helda. Ajudan juga meminta data diri dan nomor kontak Helda.
“Semoga, apa yang telah saya sampaikan kepada presiden membuahkan hasil,” kata Helda penuh harap.
Harapan yang sama juga disampaikan oleh Nevi. Meski dirinya tak berhasil menerobos barikade Paspampres untuk menemui presiden, ia berharap apa yang telah disampaikan Helda ditindaklanjuti oleh presiden.
“Kami sudah bosan melapor ke jajaran pemerintahan lainnya. Kami hanya tinggal berharap kebijaksanaan presiden untuk membantu kami,” ungkapnya.
Nevi menyatakan upaya penolakan keberadaan tambang pasir besi di Bengkulu telah mereka sampaikan ke seluruh level jajaran pemerintahan mulai dari pemerintah Desa, Kabupaten, Provinsi hingga ke Pemerintah Pusat. Bahkan, kami juga telah mendatangi Kementerian ESDM, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta instansi terkait lainnya. Namun, hingga kini belum ada hasil yang didapat. Perusahaan tambang pasir besi masih terus melakukan aktivitas pertambangan.
Aktivitas pertambangan PT Faminglevto Bakti Abadi
13 Tahun Perjuangan Perempuan Adat
Tidak terasa, sudah 13 tahun perjuangan perempuan adat Serawai Pasar Seluma menolak keberadaan tambang pasir besi di Bengkulu. Aksi menolak tambang pasir besi mulai dilakukan perempuan adat Serawai Pasar Seluma pada tahun 2010. Ketika itu pemerintah pusat melalui Pemerintah Kabupaten Seluma mengeluarkan Izin Usaha Pertambangan (IUP) kepada PT Faminglevto Bakti Abadi di pesisir pantai Desa Pasar Seluma, kawasan cagar alam, hutan adat serta muara Buluan. Wilayah ini berada di pesisir barat Bengkulu.
Sejak itu, usaha penolakan Masyarakat Adat terus berlanjut. Sayangnya, aksi ini tidak menyurutkan langkah perusahaan.
Pada bulan Januari 2018, perusahaan pertambangan itu mengurus kelengkapan perizinan ke pemerintah Daerah. Untungnya, pemerintah daerah kala itu menolak lantaran adanya penolakan dari masyarakat pesisir barat.
Januari 2020, situasi kembali memanas. Tepatnya, setelah perusahaan mengklaim telah memiliki izin lengkap. Kemudian perusahaan mendatangi lokasi izin tersebut. Sejak itu terjadi aksi penolakan oleh Masyarakat Adat Serawai Pasar Seluma. Sampai-sampai, Masyarakat Adat mendirikan pondok perjuangan di Desa Pasar Seluma.
Puncaknya pada bulan Desember 2021, Masyarakat Adat didampingi aktivis lingkungan berhasil menduduki lokasi pertambangan dengan masuk dan mendirikan tenda di dekat lokasi galian. Lebih dari empat malam, Masyarakat Adat menginap di lokasi. Akhirnya, aksi penolakan masyarakat ini dibubarkan aparat kepolisian dengan dalih menghalangi aktivitas pertambangan.
Masyarakat Adat Pasar Seluma dibubarkan aparat kepolisian pada saat aksi menolak aktifitas pertambangan PT Faminglevto Bakti Abadi
“Tenda kami di lepas, kami ditarik paksa. Penuh tangis dan perlawanan saat itu. Bahkan teriakan tangis kami tidak dipedulikan, aparat tetap memaksa kami bubar dari lokasi,” cerita Zemi, salah seorang perempuan adat Serawai Pasar Seluma yang ikut dibubarkan oleh polisi saat itu.
Zemi menyebut ada banyak petugas kepolisian dari Polres Seluma dan dari Polda Bengkulu yang diterjunkan untuk membubarkan mereka. Dalam aksi pembubaran itu, delapan orang Masyarakat Adat dan aktivis lingkungan, termasuk Ketua Pengurus Daerah AMAN Tanah Serawai ditangkap petugas kepolisian ke Polres Seluma.
Baca juga: 870 Ribu Masyarakat Adat jadi Korban Konflik Agraria dan SDA
Akibatnya, ratusan Masyarakat Adat dari lima desa di pesisir barat Bengkulu mendatangi Polres Seluma meminta agar ke delapan pejuang ini dibebaskan. Setelah dilakukan komunikasi dan negosiasi, tim hukum AMAN Bengkulu bersama aktivis lingkungan, akhirnya berhasil membebaskan delapan orang tersebut dari tahanan kepolisian.
Perjuangan penolakan Masyarakat Adat tidak berhenti sampai di sini. Masyarakat Adat kemudian terus melakukan pengawalan proses perizinan pertambangan tersebut. Bahkan, beberapa kali melakukan aksi demo ke kantor bupati Seluma, kantor gubernur Bengkulu, bahkan sampai mendatangi sejumlah kantor kementerian untuk memastikan kelengkapan perizinan perusahaan tersebut.
“Selama perjuangan berlangsung, berbagai upaya intimidasi dan ancaman kepada kami terus dilakukan pihak perusahaan, ironisnya mereka melibatkan pihak kepolisian dan mengadu domba Masyarakat Adat,” ungkap Zemi.
Reboisasi pengaling
Menanam Pohon Tanda Kawasan Wilayah Adat
Pada 13 Mei 2022, Komunitas Masyarakat Adat Pasar Seluma melakukan penanaman pohon sebagai penanda kawasan. Penanaman tersebut dilakukan di luar lokasi tambang pasir besi milik PT Faminglevto Bakti abadi, yang mana lokasi tersebut masih masuk dalam hutan adat Pengaling, Serawai Pasar Seluma. Penanaman pohon tersebut dilakukan atas dasar bahwa kawasan tersebut sudah tidak ada lagi pepohonan. Kemudian, tujuan lain dari penanaman pohon supaya tidak ada penambangan pasir di kawasan hutan adat.
Penanaman ini untuk mengembalikan hutan adat yang sudah mati atau hancur akibat dari dampak pengikisan air laut serta dampak dari bekas galian pasir besi. Dari penanaman tersebut nantinya, diharapkan dapat meredam terpahan angin, serta mengurangi dampak gelombang tinggi air laut yang akan masuk ke kawasan hutan, kemudian sebagai penanda perusahaan untuk tidak mengambil pasir besi yang ada wilayah adat tersebut.
“Saat ini tanaman pohon pinang dan kelapa di hutan adat terus kami jaga dan kami rawat. Ini adalah tanah adat yang akan kami wariskan pada anak cucu kami nanti,” tambah Zemi.
Hingga kini, Masyarakat Adat Serawai Pasar Seluma masih berjuang menolak keberadaan tambang dan mempertahankan wilayah adat. Pemerintah belum serius hadir di tengah Masyarakat Adat untuk menyelesaikan konflik yang berkepanjangan ini. Karena sejak izin dikeluarkan, Masyarakat Adat telah bersepakat menolak. Apalagi kawasan pesisir barat Bengkulu, sepanjang bibir pantai Seluma hingga ke pantai Pasar Talo merupakan daerah sabuk hijau, zona rawan bencana.
Jika perizinan terus dikeluarkan di pesisir pantai, maka sejarah hutan adat, sejarah desa, sejarah kawasan penopang hidup Masyarakat Adat setempat akan terus terkikis habis.
Desa Pasar Seluma yang memiliki sejarah masa lampau adalah tempat perdagangan dari luar maupun dalam provinsi Bengkulu. Kini, kawasan desa dan hutan adat ini nyaris habis. Ribuan hektare kawasan hutan telah dibabat habis oleh perusahaan sawit PT Agri Andalas. Ditambah lagi, pemerintah merebitkan IUP Perusahaan Tambang Pasir Besi.
Baca juga: Nelayan memang Miskin, tapi Riset Buktikan Mereka tetap Bahagia
“Sudah cukup banyak hutan adat dan tanah adat warisan nenek moyang kami serahkan ke negara. Sekarang, kami terus berjuang dan mempertahankan wilayah adat kami,” ujar Zemi.
Hutan Pengaling Masyarakat Adat Pasar Seluma
Perda Adat
Di tengah konflik pemerintah dengan Masyarakat Adat, keberadaan perda yang mengatur tentang wilayah adat di Provinsi Bengkulu diharapkan bisa jadi solusi dan dirasakan implementasinya.
Berdasarkan catatan AMAN Wilayah Bengkulu, saat ini sudah ada dua pemerintah kabupaten di Provinsi Bengkulu yang mengesahkan peraturan daerah tentang pengakuan dan perlindungan hak-hak Masyarakat Adat. Kedua kabupaten tersebut adalah Kabupaten Seluma dan Kabupaten Rejang Lebong.
Kabupaten Seluma punya Perda No.3 tahun 2022 tentang Mekanisme Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat. Sedangkan Kabupaten Rejang Lebong punya Perda No.5 tahun 2019 tentang Pangakuan Masyarakat Hukum Adat.
Ketua BPH Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Bengkulu, Deftri Hardianto mengatakan pembentukan perda itu melewati proses yang panjang dengan melibatkan tokoh adat dan komunikasi yang baik dengan Kepala Daerah maupun DPRD. Sehingga ke depannya, diharapkan perda pengakuan Masyarakat Adat ini dapat juga dikeluarkan di delapan kabupaten/kota lainnya di Provinsi Bengkulu. Ia mencontohkan Tanah Serawai saat ini masih menunggu dibentuknya panitia Masyarakat Adat turunan dari Perda No.3 tahun 2022.
Deftri menerangkan di Kabupaten Seluma, saat ini baru dalam tahap identifikasi. Pemkab Seluma melalui Rencana Aksi Nasional Hak Azasi Manusia tahun 2022, telah melakukan identifikasi terhadap lima komunitas Masyarakat Adat, yaitu Komunitas Masyarakat Adat Serawai Semidang Sakti, Serawai Pasar Seluma, Lubuk Lagan, Napal Jungur dan Arang Sapat.
Tapi, saat ini masih dibutuhkan pembentukan panitia Masyarakat Adat sebagai mandat dari Perda No.3 tahun 2022 tentang Pedoman Pengakuan Perlindungan Masyarakat Adat di Kabupaten Seluma.
Ketua PD AMAN Tanah Serawai, Hertoni menyatakan perda di Kabupaten Seluma sudah resmi diundangkan oleh pemerintah Kabupaten Seluma. Saat ini, tim identifikasi penetapan wilayah adat telah resmi dibentuk pemerintah melalui Surat Keputusan (SK) Bupati Seluma, No.900-452 tahun 2023 tentang Pembentukan Panitia Masyarakat Hukum Adat di Kabupaten Seluma.
“Setelah tim dibentuk, barulah nanti dilakukan identifikasi terhadap wilayah dan Masyarakat Adat di Kabupaten Seluma,” kata Hertoni.
Menurutnya, meski perda tersebut masih dalam tahap identifikasi, namun implementasi terhadap perda itu sudah mulai dirasakan oleh komunitas adat di wilayah AMAN Tanah Serawai. Terbukti, angka kriminalisasi terhadap Masyarakat Adat telah berkurang, apalagi setelah dilakukan penanaman pohon di kawasan hutan adat Pengaling Serawai Pasar Seluma.
Hertoni berharap pemerintah daerah segera menurunkan tim identifikasi wilayah adat di wilayah AMAN Tanah Serawai. Agar kemudian, wilayah adat di Kabupaten Seluma dapat ditetapkan oleh pemerintah dan menjadi bagian dari wilayah kelola Masyarakat Adat.
“Itu harapan kami,” ujarnya singkat.
***
Penulis: Sepriandi (Jurnalis Masyarakat Adat di Bengkulu)
Tulisan ini lebih dulu terbit di laman aman.or.id