
Kawasan pesisir Pulau Rempang-Edisi/suarakite.com
EDISI.CO, BATAM– Masyarakat Melayu di Pulau Rempang tak tenang. Mereka gundah, kalau-kalau terpisah dengan kampung halaman yang sudah turun temurun mereka diami sejak ratusan tahun lalu.
Aktivitas mereka terganggu. Jangankan untuk mencari makan di laut dari profesi mereka sebagai nelayan, menikmati istirahat dengan tenang saja sudah lama tidak mereka rasakan.
Penulis sempat berbincang dengan salah satu dari mereka.
Ia membesarkan anak-anaknya di sini. Berhasil menyekolahkan mereka sampai sarjana dari hasil keringatnya sebagai nelayan kecil di laut yang berbatasan dengan Kabupaten Bintan ini.
Sekitar pukul 12.54 WIB, kami bertemu. Ia duduk di pondok panggung berukuran dua kali dua meter. Lantai pondok terbuat dari batang Pohon Nibung, tersusun berongga, berjarak sekitar satu centimeter. Di sini kami berbincang santai.
Ia mengaku sudah dua bulan lebih dia tidak melaut. Tidak ada pemasukan dari aktivitas utama ia dan warga lain di Sembulang ini.
“Syukur masih bisa makan,” kata dia.
Dirinya resah, jangankan turun melaut, untuk duduk tenang di kampung saja tidak bisa. Makan tak lagi berselera, pikiran terganggu oleh bayangan penggusuran yang akan mereka alami.
Ia berharap itu tidak terjadi.
Baca juga: Benteng Terakhir Perlawanan Masyarakat Melayu Pulau Rempang dari Ancaman Penggusuran
Rabu (20/9/2023) kemarin, adalah tenggat terakhir yang diberikan pemerintah agar masyarakat mendaftarkan diri, kesediaan warga menyetujui penggusuran dan pindah ke tempat sementara.
Pemerintah berjanji akan membangunkan rumah tipe 45 di lahan seluas 500 meter persegi dengan sertifikat hak milik (SHM) untuk masyarakat Pulau Rempang. Juga uang makan dan ganti rugi peralatan tangkap yang mereka miliki.
Rumah yang disediakan untuk warga di lokasi yang dijanjikan belum ada. Butuh waktu sekitar tujuh bulan dari awal warga pindah, baru rumah-rumah warga akan terbangun dan bisa ditempati.
Sebelumnya, Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bahlil, Lahadalia, menuturkan alasan tetap ingin masyarakat Pulau Rempang pindah, walaupun hunian baru untuk tempat warga belum ada, karena investor tidak bisa menunggu terlalu lama. Sehingga pilihan merelokasi warga di tempat sementara adalah solusi menurutnya.
Aktivitas pemerintah melalui tim terpadu yang dikoordinir oleh Badan Pengusahaan (BP) Batam ini telah berlangsung sejak beberapa waktu lalu. Mereka memulainya dengan apel pagi di Kantor Camat Kecamatan Galang, lalu menyebar menemui warga ke kampung yang akan direlokasi.
“Ada 10 tim,” kata Kepala Biro Humas, Promosi dan Protokol BP Batam, Ariastuty Sirait.
Penulis sempat melihat rombongan tim terpadu ini di Kampung Pasir Panjang, Kelurahan Rempang Cate, Kecamatan Galang sekitar pukul 10.20 WIB. Dua minibus, tiga mobil SUV dan beberapa motor menjadi armada tim terpadu di sana.
Ia mengaku bingung dengan kondisi yang ia alami saat ini. Tidak percaya, tiba-tiba ia dan masyarakat Melayu Pulau Rempang terancam tercerabut dari peradaban yang sudah menyatu dengan mereka.
Kondisi ini tidak pernah terlintas di benaknya. Ia justru membayangkan Pulau Rempang akan maju, dan Masyarakat Melayu di ini akan menjadi bagian yang lebih berdaya oleh kemajuan Pulau Rempang itu sendiri. Bukan malah terancam relokasi seperti saat ini.

Pondok Panggung yang menaungi bincang kami siang itu berada di antara rumah-rumah warga. Di bagian belakang pondok, berjejer rumah panggung yang membingkai bibir pantai. Saat itu air tengah pasang. Tiupan Angin Selatan membuat laut di sekitar pemukiman masyarakat Melayu Pulau Rempang ini bergelombang.
Sisi kanan pondok berdiri beberapa pohon buah tahunan berukuran besar, rumah warga dengan halaman yang menghampar luas dan teduh ada di situ. Sisi kiri pondok berbatasan dengan jalan beton selebar kurang dari dua meter, penghubung jalan kampung dengan jalan utama yang berjarak sekitar 30 meter.
Beberara warga berkegiatan di sana, ada yang berkumpul di depan beranda rumah. Ada juga yang melihat aktivitas kami dari pintu belakang yang dibiarkan terbuka.
Baca juga: Perbaikan Cara Komunikasi jadi Fokus Penyelesaian Persoalan Pulau Rempang
Ia duduk dengan kaki menjuntai. Ia menghadap ke beberapa rumah warga di depannya. Dari tempatnya duduk ini, juga terlihat kendaraan lalu lalang siang itu. Rambutnya sudah banyak memutih.
Ia berharap ada keajaiban yang dapat mengubah keadaan kembali normal seperti semula. Saat ia menjalani keseharian dengan tenang dan sederhana. Walaupun dengan penghasilan tidak seberapa, ia mengaku mendapatkan kenyamanan tinggal di Kampung Sembulang Camping ini, tempat dimana ia dilahirkan.
“Bagaimanapun tetap lebih nyaman tinggal di kampung sendiri,” kata dia.
Doa dan harap agar tetap dapat menjalani kehidupan di Sembulang terus ia serukan. Ia berharap pemerintah terketuk dan mau mengerti keinginan sederhana mereka.