EDISI.CO, BATAM– Peneliti Sajogyo Institute, Eko Cahyono, mengatakan Masyarakat Melayu Pulau Rempang telah menggunakan benteng terakhir mereka untuk melakukan perlawanan atas ancaman penggusuran kampung yang telah mereka huni sejak ratusan tahun lalu. Mereka berupaya menjaga jejak peradaban, budaya dan ruang hidup atas nama Bangsa Melayu sebagai identitas.
“Bagi kami dari perspektif Sosiologi, Kalau perlawanan atas nama organisasi menunjukkan ideologi berbasis pluralisme. Tapi kalau perlawanan dengan basis identitas, itu pertahanan terakhir,” kata Eko.
Eko melanjutkan, perlawanan masyarakat dengan dasar identitas itu, mengerikan dari sisi kesatuan Republik Indonesia, dapat menciptakan disintegrasi politik. Kalau kondisi itu terjadi, akan memberi dampak traumatis pada masyarakat sebagai korban.
“Itu pemulihannya lama, karena yang dilukai itu identitasnya. Tanah Melayu yang punya sejarah panjang, kalau hilang, bukan hanya tanahnya, tapi juga sejarahnya, budayanya, identitasnya. Itu mau diganti pakai apa kalau hilang? Hubungan manusia dengan tanah tidak hanya ekonomistik,” kata Eko.
Baca juga: Tiga Alasan Negara Hadir dalam Rupa Antagonis pada Pengembangan Pulau Rempang
“Pendapat ini kami sampaikan saat menolak tambang di Pati. Kami disadarkan sama dalang (KI Mantep Sudarsono Alm) , dia bilang kalau sampai tambang semen itu merusak gunung kendeng, yang hilang bukan hanya gua kars, tetapi juga peradaban purba yang menjadi ciri khas lahirnya Jawa. lahirnya wonocoroko, cerita aji saka”.
Lebih lanjut, Eko melihat gerakan berbasis identitas Melayu Pulau Rempang ada kaitan dengan sejarah tanah Melayu di sana. Ia melihat kekhawatiran masyarakat bukan hanya kehilangan tanah, tetapi juga ada argumen historis Melayu di situ.
“Ada kampung tua yang menjadi identitas mereka. itu tidak dipahami investor. Perlawanan akan masif terus meskipun tetap dilakukan pengosongan,” kata Eko lagi.
Lebih jauh, Eko mengatakan solusi yang harusnya hadir dalam persoalan di Pulau Rempang adalah politikal will dari negara. “Kemauan untuk rendah hati mendengarkan masyarakatnya dulu, jangan-jangan mereka takut kehilangan tanah dan sejarah”.