EDISI.CO, CATATAN EDISIAN– Sejak ribuan tahun silam, bendungan menjadi infrastruktur yang bermanfaat untuk memastikan pasokan air bagi masyarakat, mengendalikan banjir, ataupun menjadi sumber pembangkitan listrik.
Namun, seiring waktu, dunia menyadari bahwa mudarat yang timbul akibat bendungan bisa jauh lebih besar dari manfaatnya.
Walhasil, beberapa negara di Amerika dan Asia kini tengah melakukan perubahan struktur dan bahkan menghancurkan bendungan.
Di Eropa, setidaknya ada 239 bendung (peninggian air sungai untuk irigasi) dan bendungan (penahan air di waduk) yang dirobohkan karena berbagai alasan. Beberapa di antaranya adalah biaya pemeliharaan yang tinggi, risiko bencana akibat kegagalan struktur, dan dorongan kuat untuk memulihkan lingkungan, terutama ekosistem sungai. Manfaat penghancuran bendungan ini bahkan turut ditonjolkan dalam produk budaya populer yakni film Frozen 2.
Di lain pihak, pemerintah Indonesia malah jor-joran membangun bendungan. Presiden Joko “Jokowi” Widodo merencanakan setidaknya sudah menuntaskan pembangunan 60 bendungan hingga tahun depan, yang tersebar dari Aceh hingga Nusa Tenggara Timur.
Sebagian di antaranya bahkan sudah memunculkan masalah seperti konflik sosial, misalnya proyek Bendungan Bener di Jawa Tengah, hingga kerusakan lingkungan dan kehidupan satwa liar seperti Bendungan Aek Batang Toru di Sumatra Utara.
Mengingat besarnya risiko dampak lingkungan yang ditimbulkan, Indonesia seharusnya berpikir dua – tiga kali sebelum merencanakan pembangunan bendungan.
Mudarat berlipat proyek bendungan
Bendungan dapat merusak aspek sosial dan lingkungan di sekitar kehidupan manusia. Ini bermula dari konflik sosial yang timbul pada awal pembangunannya.
Misalnya, paksaan migrasi bagi penduduk sekitar sungai yang terimbas proyek bendungan.
Salah satu contohnya adalah keberadaan bendungan-bendungan di Norwegia yang menghancurkan ruang hidup masyarakat adat Saami di Eropa barat laut.
Penulis India Arundhati Roy dalam bukunya, The Greater Common Good menceritakan dampak pembangunan bendungan di India, yaitu orang-orang tergusur beserta kehidupannya dihancurkan dan ditinggalkan.
Kasus pembangunan bendungan dan Waduk Jatigede, Jawa Barat, misalnya. Warga setempat pernah menggugat Peraturan Presiden No. 1 tahun 2015 Penanganan Dampak Sosial Kemasyarakatan Pembangunan Waduk Jatigede karena menganggap pemerintah melakukan diskriminasi dan mengabaikan hak asasi manusia dalam proyek ini.
Penggunaan material bendungan juga bisa bermasalah. Sebagai contoh, pembangunan Bendungan Bener di Jawa Tengah memerlukan material batuan andesit yang didapatkan dengan cara penambangan di Desa Wadas dengan cara dibor, dikeruk, dan diledakkan dengan 5.300 ton dinamit hingga kedalaman 40 meter.
Penambangan ini berisiko menyebabkan kerusakan sumber mata air yang dapat mengeringkan lahan pertanian sehingga petani berisiko kehilangan mata pencaharian. Selain itu, penambangan juga meningkatkan risiko tanah longsor.
Baca juga: Tim Solidaritas Nasional untuk Rempang Bangun Posko Kemanusiaan di Pantai Kalat
Kedua, bendungan memblokade aliran alami air. Gangguan ini dapat mengurangi populasi ikan di suatu ekosistem, bahkan menghilangkannya. Sebab, ikan tidak dapat bermigrasi dengan baik ke arah hulu. Habitat ikan dan makhluk perairannya juga dapat terganggu karena terjadi perubahan debit air dan kecepatannya di daerah sungai sekitar bendungan.
Endapan di waduk bendungan pun bisa membuat sedimen di waduk menumpuk sehingga kualitas air di sekitarnya menurun.
Kita bisa melihat contohnya di Waduk Sermo di Kulonprogo, DI Yogyakarta, yang mengganggu populasi ikan sidat di Daerah Aliran Sungai Ngrancah.
Di Amerika Serikat, bendungan di Sungai Corsica menyebabkan kawasan perairan di sekitarnya mengalami eutrofikasi alias peningkatan konsentrasi unsur hara, terutama nitrogen dan fosfor, di kawasan perairan. Eutrofikasi berisiko menyebabkan punahnya spesies akuatik, kehilangan vegetasi, penurunan kualitas air, dan peningkatan hipoksia, yakni rendahnya kandungan oksigen dalam air sehingga menyebabkan kematian massal ikan.
Bendungan juga dapat meningkatkan ketinggian muka air di hulu sungai sehingga menenggelamkan daerah vegetasi, terutama akar-akar di sekitarnya. Tanah yang tergenang air menjadi anoksik, yaitu kehabisan oksigen terlarut yang dapat merusak akar tumbuhan.
Beberapa tanaman sebenarnya dapat beradaptasi secara sementara untuk mengatasi kurangnya oksigen dalam tanah. Namun, tetap saja, dalam jangka panjang ada beberapa spesies yang akan berhenti tumbuh dan mati jika tanaman terus tergenang.
Dalam kasus lainnya, bendungan bisa berkontribusi terhadap pelepasan gas rumah kaca ke atmosfer. Contohnya proyek Bendungan Tucuruỉ di sungai Amazon, Amerika Selatan.
Bendungan Tucuruỉ merendam 20 juta kubik kayu yang membutuhkan waktu lama untuk terurai. Nah, dalam proses penguraian ini dapat melepaskan gas karbondioksida (CO2) dan metana (CH4) yang ke atmosfer. Pelapukan kayu juga dapat melepaskan metil merkuri yang beracun bagi ikan-ikan.
Proses dekomposisi material tanah yang tergenang air waduk juga melepaskan nitrogen dan fosfor. Kedua material ini menjadi nutrisi yang meningkatkan pertumbuhan tanaman terapung raksasa seperti kiambang (Salvinia molesta), enceng gondok (Eichhornia crassipes), dan selada air (Pistia stratiotes).
Pertumbuhan tanaman akuatik yang relatif cepat bisa berbahaya. Pasalnya, penumpukan tanaman ini dapat menyulitkan masyarakat mengakses air waduk, mengurangi volume waduk, dan menurunkan fungsi pompa pada intake atau saluran air masuk bendungan.
Bagaimana membuat bendungan lebih ramah lingkungan?
Usaha membuat bendungan yang ramah lingkungan merupakan hal sulit, tapi tidak mustahil.
Pemerintah juga mesti memastikan pembangun melakukan analisis dampak lingkungan secara memadai dan pemantauan dampaknya setelah bendungan beroperasi.
Sementara, pembangun bendungan dapat mengupayakan beberapa teknik rekayasa dengan memperhatikan aspek lingkungan seperti aliran sungai dan pola migrasi ikan.
Salah satu contohnya adalah pengurangan ketinggian bendungan agar ikan dari hulu bisa lewat. Sementara, untuk ikan yang bermigrasi ke hulu sungai, pembangun bisa menyiapkan infrastruktur tangga ikan.
Pembangun juga perlu mendesain turbin bendungan lebih efisien dan fleksibel. Harapannya, produksi listrik dapat dihentikan sementara, selama periode migrasi ikan berlangsung.
Untuk memantau penerapan hal ini, sistem kecerdasan buatan geospasial dapat membantu pemantauan secara akurat perubahan detail pada setiap aktivitas bendungan.
Solusi lainnya adalah pengutamaan gerakan turbin secara alami dengan memanfaatkan arus sungai tanpa harus membangun bendungan yang mengganggu arus sungai. Metode seperti ini acap dikenal sebagai tenaga mikrohidro.
Pemerintah juga dapat bercermin dari proyek bendungan yang diklaim ramah lingkungan di beberapa negara.
Bendungan Tiga Ngarai (Three Gorges Dam) di Sungai Yangtze di Cina, Bendungan Nam Theun di Laos, dan Bendungan Glen Canyon di Amerika serikat dapat menjadi contoh bagaimana pembangunan infrastruktur ini dapat dilaksanakan dengan risiko yang rendah terhadap aliran sungai dan ekosistem di sekitarnya, serta pola migrasi ikan.
Terakhir, pemerintah dan pembangun juga harus memastikan pelibatan masyarakat dalam perencanaan bendungan. Masyarakat harus mendapatkan informasi yang memadai sejak bendungan dalam tahap perencanaan lokasi, terlibat dalam berbagai keputusan, dan mendapatkan kompensasi yang memadai demi meredam risiko konflik sosial.
Penulis: Rian Mantasa Salve Prastica, PhD student studying urban stormwater management, Environmental Engineering research group, School of Civil Engineering, The University of Queensland
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.