EDISI.CO, CATATAN EDISIAN– Apakah sedang terjadi genosida di Timur Tengah?
Terhadap serangan di Israel dan di Jalur Gaza, pendukung kedua belah pihak yang terlibat menjawab “ya” dengan tegas.
Beberapa warga Israel dan pendukung Israel lainnya menuding Hamas melakukan kejahatan perang. Hamas, organisasi militer nonpemerintah asal Palestina, menewaskan 1.400 orang yang mayoritasnya adalah warga sipil dalam serangan mendadak ke Israel yang dilakukannya pada 7 Oktober 2023, melukai lebih banyak lagi, serta menyandera lebih dari 240 orang.
Serangan tersebut, menurut beberapa pendukung Israel dan pengamat politik, harus dilihat dalam perspektif para pemimpin Hamas yang berulang kali menyatakan tujuan untuk menghancurkan Israel dan komitmen mereka untuk menyerang Israel “lagi dan lagi” hingga Israel lenyap.
Di sisi lain, para pendukung Palestina juga mengatakan bahwa pengusiran massal yang dilakukan Israel terhadap warga sipil dan serangan bomnya yang bertubi-tubi selama lebih dari sebulan penuh di Gaza–termasuk pengeboman rumah sakit, kamp-kamp pengungsian, dan ambulans, yang diklaim Israel sebagai tempat pasukan Hamas bersembunyi–merupakan bukti nyata genosida.
Pada 6 November, serangan Israel telah mengakibatkan lebih dari 10.000 warga sipil di Gaza meninggal meninggal dunia, termasuk ribuan anak-anak, berdasarkan data Kementerian Kesehatan yang dikelola Hamas. Para pendukung Palestina melihat hal ini sebagai bagian dari sejarah panjang perlakuan Israel terhadap warga Palestina. Tagar seperti #StopTheGenocide (#HentikanGenosida) dan #GenocideinGaza (#GenosidadiGaza) beredar luas di media sosial.
Anggota DPR Amerika Serikat (AS) Rashida Tlaib memperkuat anggapan ini dengan mengatakan pada 4 November bahwa Presiden AS Joe Biden bersalah karena mendukung genosida di Gaza.
Terlepas dari sikap setiap individu terhadap konflik ini, hampir semua orang akan sepakat bahwa krisis ini sangat mengerikan, kejahatan perang kemungkinan besar telah terjadi, terlalu banyak warga sipil yang sangat menderita atau kehilangan nyawa mereka. Situasi seperti ini sudah bisa disebut genosida.
Saya adalah seorang ahli studi genosida. Ketika konflik Israel-Hamas terus berlanjut di tengah-tengah anggapan genosida yang terus berlarut, sangatlah penting untuk memahami apa sebenarnya arti genosida itu dan bagaimana istilah ini di masa lalu pun kerap digunakan untuk tujuan-tujuan politik.
Apa itu genosida?
Raphael Lemkin, seorang pengacara berkebangsaan Polandia dan Yahudi, pertama kali menciptakan istilah “genosida” dalam bukunya yang berjudul Axis Rule in Occupied Europe pada tahun 1944.
Lemkin mendefinisikan genosida sebagai “penghancuran suatu bangsa atau kelompok etnis.” Penghancuran tersebut, tulisnya, melibatkan “rencana terkoordinasi dari berbagai tindakan yang berbeda yang bertujuan untuk menghancurkan fondasi esensial kehidupan kelompok nasional.”
Bagi Lemkin, melakukan genosida tidak hanya melibatkan pembunuhan fisik, tetapi juga serangan terhadap semangat sekelompok orang–termasuk cara hidup sosial, ekonomi, dan politik mereka. Ini juga mencakup genosida budaya.
Pada 1948, setelah masa kekejaman Nazi selama Holocaust, Lemkin melobi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang baru saja dibentuk untuk mengesahkan perjanjian hukum, yang dikenal sebagai “konvensi”, untuk mencegah dan menghukum genosida.
Konvensi Anti-Genosida PBB tahun 1948 menetapkan bahwa genosida dapat terjadi dengan membunuh dan menghancurkan sebuah kelompok, mencegah kelahiran dan memindahkan anak-anak ke kelompok lain, dan masih banyak lagi.
Pada saat itu, beberapa negara menggunakan konvensi ini sebagai alat politik untuk mengaburkan sejarah genosida mereka sendiri. Salah satu contohnya: Uni Soviet dan yang lainnya bersikeras agar definisi tersebut mengecualikan kelompok-kelompok politik. Uni Soviet khawatir bahwa mereka dapat dituntut karena telah membunuh musuh-musuh politiknya.
AS berhasil melobi definisi genosida yang ditetapkan PBB dan memasukkan penekanan adanya niat dan pembunuhan fisik. Hal ini membuat kecil kemungkinan AS akan didakwa melakukan genosida atas kebijakan Jim Crow yang memaksakan pemisahan warga kulit hitam Amerika.
“Memanfaatkan” istilah genosida untuk kepentingan politik
Pemerintah dan pemimpin politik telah lama menggunakan klaim genosida untuk membuat ancaman terhadap negara lain atau untuk memberikan alasan bagi intervensi asing, seolah-olah untuk menangkal genosida itu.
Sepanjang sejarah, pejabat pemerintah seringkali berdebat tentang definisi genosida untuk menyangkal bahwa genosida benar-benar terjadi. Salah satu contohnya adalah ketika AS menyangkal bahwa kekerasan massal yang terjadi di Rwanda pada tahun 1994 adalah genosida, karena tidak sesuai dengan “makna hukum yang tepat” dari istilah tersebut.
AS khawatir jika menyebut kekerasan tersebut sebagai “genosida”, maka AS akan dipaksa untuk melakukan intervensi di Rwanda. Milisi bersenjata yang mewakili kelompok etnis Hutu, yang memegang kendali pemerintahan di sana, telah membunuh sekitar 800.000 orang Tutsi–etnis minoritas–selama genosida ini.
Saat ini, negara-negara seperti Rusia dan Cina terus menyangkal bahwa mereka melakukan apa yang oleh banyak ahli dianggap sebagai genosida.
Tiga cara genosida didiskusikan
Dalam penelitian saya, saya menemukan bahwa orang sering kali membahas genosida dengan tiga cara.
Pertama, para ahli hukum berpendapat bahwa sebelum suatu kekerasan dianggap sebagai genosida, perlu untuk menunjukkan bahwa apa yang terjadi sesuai dengan apa yang dijabarkan oleh Konvensi Anti-Genosida PBB.
Kedua, banyak ilmuwan sosial dan humaniora memiliki pandangan yang lebih luas tentang apa arti genosida dan berpendapat bahwa genosida dapat diterapkan pada berbagai kasus dan dinamika, termasuk kolonialisme dan perbudakan.
Banyak juga yang mengikuti definisi Lemkin dalam menekankan bahwa genosida dapat dilakukan tidak hanya dengan membunuh, tetapi melalui serangan-serangan bercabang terhadap cara hidup politik, sosial, budaya, ekonomi, agama, moral, dan ekonomi suatu kelompok.
Terakhir, dan yang paling sering terjadi, beberapa orang memiliki pandangan yang lebih konvensional yang tidak memiliki definisi yang jelas, tetapi secara umum mengasosiasikan genosida dengan upaya untuk menghancurkan sekelompok orang.
Hal ini tidak hanya berarti kematian dan kehancuran massal, tetapi juga tindakan seperti aborsi.
Genosida dan perang Israel-Hamas
Banyak orang menggunakan tiga interpretasi berbeda tentang genosida untuk menggambarkan perang Israel-Hamas. Ini karena mayoritas masyarakat secara tidak sadar “membutuhkan cara” untuk memahami dan melabeli gambar-gambar kekerasan mengerikan yang memenuhi layar kaca dan media sosial mereka.
Genosida, dengan segala keterbatasan konseptualnya bisa menjadi cara untuk memahami kekerasan di Israel dan Gaza. Maka, orang-orang menggunakan kata genosida dalam pengertian konvensionalnya, terkadang melalui tagar dan slogan-slogan yang berhubungan dengan genosida.
Namun, jauh sebelum krisis yang terjadi saat ini, para ahli telah memperdebatkan apakah Israel telah melakukan genosida di wilayah Palestina.
Sejalan dengan itu, seorang pejabat tinggi Komisi HAM PBB sekaligus pengacara bernama Craig Mokhiber mengundurkan diri dari jabatannya pada 28 Oktober 2023. Dia mengatakan bahwa, seperti di masa lalu, PBB dan negara-negara Barat enggan mencegah genosida Israel terhadap warga Palestina.
Menanggapi hal itu, Anne Bayefsky, kepala pusat HAM yang berbasis di New York, menuduh Mokhiber sebagai “antisemitisme PBB” dan ingin “MENGHAPUS ISRAEL DARI PETA!” Pernyataannya senada dengan pernyataan pihak-pihak yang menganggap bahwa warga Israel-lah yang berisiko mengalami genosida.
Perdebatan tentang genosida ini tidak akan berhenti. Namun, di tengah kematian dan penderitaan massal serta meroketnya angka antisemitisme dan Islamofobia, penting bagi kita untuk tidak tersesat dalam perang kata-kata dan mengabaikan kebutuhan yang mendesak untuk menemukan jalan menuju perdamaian jangka pendek dan jangka panjang.
Bagian dari artikel ini diadaptasi dari artikel The Conversation yang terbit pada 25 Februari 2022 berjudul “Putin’s claims that Ukraine is committing genocide are baseless but not unprecedented.”
Penulis: Alexander Hinton, Distinguished Professor of Anthropology; Director, Center for the Study of Genocide and Human Rights, Rutgers University – Newark
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.