EDISI.CO, CATATAN EDISIAN– Kurang dari seminggu setelah serangan dahsyat Hamas pada tanggal 7 Oktober, Kementerian Intelijen Israel mengeluarkan sebuah dokumen mengerikan. Mereka menganjurkan agar Israel memindahkan semua penduduk Palestina di Gaza dan secara paksa memukimkan mereka di Semenanjung Sinai, Mesir.
Pada November, sebuah poster yang mengiklankan demonstrasi sayap kanan di Tel Aviv menyandingkan gambar dua sosok seperti malaikat anak Yahudi-Israel di sebuah pantai (mungkin dalam sebuah visi masa depan Gaza) dengan formula kebijakan yang tidak menyenangkan yaitu “menduduki, mengusir, menetap”.
Yang paling mengkhawatirkan, seorang menteri kabinet menyarankan agar Israel menggunakan senjata nuklir terhadap Jalur Gaza. Apakah retorika yang kasar dan tidak berperikemanusiaan ini menunjukkan bahwa rencana jangka panjang Israel untuk Gaza adalah untuk “pembersihan etnis” di wilayah tersebut, atau bahkan melakukan genosida?
Hanya ada sedikit bukti bahwa pemerintah Israel memiliki niat atau kemampuan untuk mencapai tujuan-tujuan yang meresahkan ini. Mitra regional dan internasional Israel–Mesir dan Amerika Serikat (AS)–dengan tegas menolak pemindahan penduduk. Yordania telah melangkah lebih jauh lagi, dengan menyatakan bahwa kebijakan itu semacam sama saja dengan “deklarasi perang”.
Jumlah peserta unjuk rasa di Tel Aviv yang beraliran sayap kanan sangat kecil. Baik menteri yang mempertimbangkan “nuklir” di Gaza, maupun Kementerian Intelijen, tidak memiliki masukan yang nyata dalam pengambilan keputusan atas keamanan nasional Israel.
Yang paling mungkin terjadi adalah, Israel akan menduduki sebagian wilayah Gaza tanpa batas waktu, sambil berusaha menghindari tanggung jawab atas pemerintahan sipil di tempat lain di wilayah tersebut.
Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, menyatakan bahwa “kami tidak berusaha untuk memerintah Gaza”, tetapi ia menambahkan bahwa Pasukan Pertahanan Israel (IDF) harus memegang “tanggung jawab keamanan secara keseluruhan” di wilayah tersebut untuk “waktu yang tidak terbatas”.
Strategi ini tidak mengejutkan, mengingat bahwa Israel telah menerapkan hal serupa dalam semua pendudukannya yang beragam hingga saat ini. Pengalaman-pengalaman ini memberikan proyeksi seperti apa skenario “setelah Hamas tiada” yang direncanakan Israel di Gaza.
Sehari setelahnya
Pertama, Israel tidak mungkin menguasai wilayah perkotaan Gaza dalam waktu lama. Israel tidak memiliki kemampuan untuk mengelola pemerintahan sehari-hari di wilayah pendudukan dan tidak akan mengawasi kementerian kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan Gaza, misalnya.
Demikian pula, para perencana IDF tahu bahwa kehadiran militer yang berkepanjangan di daerah perkotaan yang padat akan menjadi mimpi buruk secara operasional.
Kedua, Israel dapat mengembalikan keterikatannya pada “strategic depth (kedalaman strategis)”, sebuah doktrin untuk berusaha merebut dan menguasai wilayah asing yang jarang penduduknya. Idenya adalah untuk menjaga agar tidak terjadi pertempuran di luar Israel. Israel adalah negara kecil yang telah berperang dengan semua negara tetangganya, sehingga mereka merasa lebih aman jika semakin banyak wilayah yang dikuasainya di luar perbatasan mereka.
Secara keseluruhan, doktrin strategic depth dan keinginan Israel untuk melepaskan diri dari pemerintahan sipil menunjukkan bahwa IDF akan berusaha untuk menduduki sebagian, tetapi tidak semua, wilayah Gaza tanpa batas waktu.
Ada semakin banyak bukti yang menunjukkan seperti apa bentuknya. Menteri Pertahanan Israel, Yoav Gallant, menyerukan pembangunan “zona penyangga” permanen di sebelah barat perbatasan Gaza-Israel. Lebih jauh di dalam Gaza, IDF telah membagi dua wilayah dan mengepung kota-kota di sana.
Masalah dengan strategi kembar ini dapat dilihat dari pengalaman Israel sebelumnya di Gaza, yang menunjukkan bahwa strategi ini jarang sekali memenuhi tujuan keamanan Israel.
Pengalaman pahit
Sebelum menarik diri pada tahun 2005, Israel menduduki sekitar 20% dari wilayah Jalur Gaza yang jarang penduduknya tapi sangat penting secara operasional, termasuk akses jalan dan posisi strategis yang dekat dengan perbatasan. Israel menyerahkan daerah perkotaan di sebagian besar wilayah yang tersisa dari 80% wilayah tersebut kepada Otoritas Palestina (PA) pada awal tahun 1990-an.
Salah satu faktor yang menyebabkan Israel pergi saat itu adalah ketidakpuasan IDF terhadap status quo. Strategic depth tidak membuat kemungkinan kekerasan menjadi lebih kecil, hanya mendorongnya menjauh dari perbatasan dan masuk ke wilayah asing.
Akibatnya, masyarakat internasional melihat Israel sebagai penjajah ilegal. Hal ini membatasi kebebasan operasional IDF, karena kecaman internasional setiap kali IDF bertindak.
Strategic depth juga gagal melindungi warga sipil Israel. Meskipun IDF telah menduduki 20% wilayah Gaza, roket-roket Hamas dengan mudah dapat terbang di atas para tentara IDF dan masuk ke wilayah Israel.
Pada saat yang sama, Israel yang menghindari tanggung jawab atas pemerintahan sipil Gaza memungkinkan Hamas mengambil alih kekuasaan. Pemerintahan Biden telah mendorong Israel untuk memberdayakan PA di wilayah perkotaan Gaza. Namun, pemerintah sayap kanan Israel akan menolak untuk menyerahkan pemerintahan kepada PA, karena hal ini akan membuat berdirinya negara Palestina lebih mungkin terjadi.
PA lebih lemah dari sebelumnya karena korupsi yang sudah berlangsung lama dan endemik serta kebijakan Israel untuk mengurangi kekuatannya, terutama di bawah Netanyahu, yang secara diam-diam mendukung Hamas di Gaza sebagai kekuatan pesaing. Dengan demikian, tidak jelas apakah PA akan memiliki kemampuan untuk memerintah seluruh Palestina yang merdeka.
Hal ini menyisakan sebuah pertanyaan terbuka yang saat ini belum dapat dijawab oleh pemerintah Israel: siapa yang akan memerintah Gaza jika IDF berhasil mengusir Hamas?
Masalah terakhir dari strategi ganda ini adalah bahwa hal itu tidak akan menjadi pendekatan baru bagi Israel, tetapi lebih merupakan kelanjutan dari kebijakan yang sama yang terbukti sangat cacat yang menyebabkan serangan pada tanggal 7 Oktober lalu. Hingga serangan Hamas pada hari itu, Israel menerima kontrol dan pemerintahan kelompok Islamis atas wilayah perkotaan Gaza.
Pada saat yang sama, Israel secara sepihak mendeklarasikan zona penyangga 400 meter di sisi Gaza di perbatasan. Sebuah jaringan sensor, drone, tembok dan menara pengawas yang rumit dipasang untuk mengawasi zona ini, dan Israel sering kali merespons setiap gerakan yang tidak sah di dalam zona itu dengan tembakan.
Bahwa strategi ini gagal mencegah serangan mematikan pada 7 Oktober seharusnya menjadi bahan pertimbangan para pengambil keputusan di Israel untuk mempertimbangkan bagaimana rezim keamanan pasca-Hamas. Akan tetapi, hanya ada sedikit bukti yang menunjukkan hal itu.
Rob Geist Pinfold, Lecturer in Peace and Security, Durham University
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.