EDISI.CO, CATATAN EDISIAN– Agama kerap dituduh menjadi biang keladi dari krisis ekologi. Tuduhan ini dilemparkan antara lain oleh Lynn White Jr., sejarawan dari Amerika, dan Arnold J. Toynbee, kritikus budaya dan sejarawan dari Inggris. Baik White maupun Toynbee menggugat kisah penciptaan dalam Kitab Kejadian 1: 26-28 yang menegaskan keistimewaan manusia dan mandat (perintah) untuk berkuasa.
Keistimewaan manusia sebagai citra atau gambaran yang menyerupai Allah dan mandat untuk menguasai bumi dengan segala isinya ditengarai sebagai akar dari krisis ekologi.
Dalam perkembangannya, kritik White dan Toynbee ini mendorong upaya penafsiran ulang tentang mandat berkuasa yang lebih ramah lingkungan di kalangan para teolog Kristiani.
Bagaimana seharusnya manusia memaknai mandat dan keistimewaannya sebagai citra Allah dalam konteks krisis ekologi?
Keistimewaan sebagai emansipasi manusia
Di dalam budaya Semit masa lampau, citra (selem) Allah adalah status eksklusif raja. Kitab Kejadian melakukan demokratisasi dengan menyetarakan semua manusia atau mengangkat status manusia layaknya seorang raja. Citra Allah bukan lagi status eksklusif yang disandang raja, tetapi status semua manusia tanpa terkecuali. Ini adalah status yang tidak dimiliki oleh ciptaan lain.
Keistimewaan manusia dalam kisah penciptaan Yudeo-Kristiani ini hendaknya dipahami sebagai gebrakan di dalam konteks budaya Semit masa lampau. Ini adalah emansipasi umat manusia dan penegasan kesetaraan semua manusia.
Kritik White dan Toynbee mencatut ayat dan melepaskannya dari konteks historis teks sehingga menyebabkan pemahaman yang salah kaprah. Melupakan konteks atau situasi yang ada hubungannya dengan suatu kejadian adalah kesalahan yang lazim dilakukan di dalam penafsiran kitab suci. Setiap penafsiran membutuhkan metodologi khusus untuk memahami teks kitab suci jika dihadapkan dengan konteks yang berbeda.
Mandat untuk berkuasa
Fokus utama kritik White dan Toynbee adalah mandat berkuasa yang melekat pada status keistimewaan manusia. Mandat ini tercantum di dalam Kitab Kejadian 1:26, yang ditegaskan dengan ungkapan “supaya mereka berkuasa (radah) atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi.”
Kata radah dalam bahasa Ibrani memiliki makna beragam, mulai dari berkuasa, memerintah, mengalahkan dan menginjak-injak. Opsi penafsiran kata radah berada di antara rentang nuansa semantik permusuhan (hostility) dan persahabatan (hospitality). Nuansa semantik ini perlu diperhatikan dalam memahami mandat berkuasa.
Secara garis besar ada dua opsi penafsiran. Pertama, relasi dominasi (dominion). Ini adalah konsekuensi dari pemahaman mandat berkuasa dengan nuansa semantik permusuhan. Relasi dominasi melekat erat pada faham antroposentrisme (berpusat kepada manusia) yang cenderung memahami keistimewaan manusia sebagai hak.
Padanan kata radah dengan nuansa semantik permusuhan adalah menginjak-injak, menjajah dan memperbudak. Berkuasa dan memerintah adalah padanan kata yang bersifat netral. Kitab Suci Yudeo-Kristiani juga memberikan batasan normatif dari radah. Di dalam Kitab Imamat, misalnya, rambu-rambu “janganlah dengan kejam” (lo bow beparek) diungkapkan secara eksplisit sebanyak tiga kali sebagai batasan normatif dari radah.
Kedua, relasi pelayanan (stewardship). Ini adalah konsekuensi dari pemahaman mandat berkuasa dengan nuansa semantik persahabatan. Dalam relasi semacam ini, sifat melindungi dan solidaritas dengan ciptaan lain melekat pada status keistimewaan manusia. Keistimewaan adalah sebuah kata kerja karena lebih menekankan unsur tanggung jawab. Terjemahan kitab suci English Common Bible menggunakan istilah bertanggung jawab (take charge of) sebagai padanan dari radah.
Padanan kata yang lebih bersahabat adalah memandu dan mendampingi. Pilihan makna ini berlatar belakang relasi gembala dan hewan ternak. Seorang gembala akan melindungi ternaknya dari hewan buas dan perampok. Di dalam tradisi agama Yudeo Kristiani, metafora gembala digunakan untuk menggambarkan kekuasaan. Seorang rajapun digambarkan sebagai sosok gembala bagi rakyatnya. Salah satu lambang kekuasaan dalam kitab suci Yudeo-Kristiani adalah tongkat yang biasa digunakan gembala untuk menghalau ternak.
Kisah Kejadian juga tidak berbicara dalam paradigma antroposentrisme (berpusat pada manusia), tetapi dalam paradigma teosentrisme (berpusat pada Allah). Asumsi dari kritik White dan Toynbee adalah bahwa antroposentrisme bersumber dari status citra Allah. Status citra Allah adalah pengungkapan bahwa manusia memiliki peran mewakili Allah. Padahal, relasi dengan Allah adalah batasan normatif dari mandat berkuasa. Peran mewakili ini adalah sebuah tindakan meneladani (mimesis) Allah. Gambaran Allah sebagai sosok gembala adalah salah satu ketentuan normatif dalam mandat berkuasa.
Hal lain yang tidak kalah penting adalah aspek intertekstualitas di dalam kitab suci. Perihal mandat berkuasa juga disinggung dalam teks-teks yang lain dalam kitab suci. Mengkaji keterkaitan dengan teks-teks yang lain adalah langkah penting dalam penafsiran. Ada beberapa teks yang menunjukkan secara eksplisit perintah persahabatan manusia dengan ciptaan lain. Salah satu contohnya adalah Kejadian 2: 15 yang menyebutkan Allah memerintahkan manusia untuk memelihara taman Eden.
Klaim tak berdasar
Baik White maupun Toynbee melakukan lompatan penafsiran yang terburu-buru. Setidaknya, ada tiga hal yang dilompati.
Baca juga: Warga Rempang Patungan Beri Sembako Keluarga Terdakwa
Pertama ketiadaan kajian filologis (bahasa asli teks). Kajian semacam ini dilakukan untuk memahami secara mendalam pilihan kata (diksi) teks Kitab Suci. Jika ditelusuri secara filologis, mandat berkuasa memiliki opsi penafsiran yang luas, dari yang bermakna persahabatan hingga permusuhan.
Kedua, kesalahpahaman asumsi. Akar dari kesalahan ini adalah pengabaian konteks historis teks kitab suci. Antroposentrisme dan krisis ekologi bukanlah konteks historis dari kisah penciptaan. Pesan dan relevansi sebuah teks ditentukan juga oleh konteks. Pengabaian konteks akan berujung pada sebuah penafsiran harfiah yang menimbulkan kesalahpahaman pesan dan relevansi teks.
Ketiga, ketiadaan kajian intertekstualitas. Memahami kitab suci tidak bisa dilakukan secara sebagian saja. Mandat berkuasa harus ditafsirkan dalam kaitannya dengan teks-teks lain di dalam kitab suci dan tidak semata-mata didasarkan pada penggalan Kitab Kejadian 1:26-28.
Bagaimana seharusnya keistimewaan manusia ini dipahami?
Keistimewaan manusia dalam faham antroposentrisme berbeda dengan keistimewaan manusia dalam kitab suci. Kitab suci tidak mengajarkan antroposentrisme, tetapi teosentrisme. Antroposentrisme menekankan superioritas manusia tanpa rambu-rambu normatif yang berujung pada arogansi.
Sebaliknya, kitab suci menegaskan kesatuan antara keistimewaan manusia dan tanggung jawab manusia sebagai ciptaan Allah. Hubungan dengan Allah adalah batasan normatif dari mandat berkuasa. Ini adalah sentilan terhadap arogansi manusia di tengah krisis ekologi.
Tom Parker dalam film Spiderman (2002) mengatakan, “With great power comes great responsibility”. Kita juga perlu memahami bahwa keistimewaan bukanlah euforia, melainkan tanggung jawab. Justru karena keistimewaannya itulah, manusia bertanggung jawab terhadap ciptaan lain. Termasuk dalam konteks mengatasi krisis ekologi.
Penulis: Martinus Ariya Seta, Dosen, Universitas Sanata Dharma
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.