EDISI.CO, CATATAN EDISIAN– Isu mengenai hilirisasi nikel Indonesia tengah panas beberapa tahun ke belakang. Ambisi Presiden Joko Widodo untuk menjadikan Indonesia sentra produksi baterai kendaraan listrik (EV) dunia membuat aktivitas seputar komoditas tambang ini jadi sorotan.
Semenjak Undang Undang Nomor 3 tahun 2020 tentang Perubahan UU Pertambangan Mineral dan Batubara disahkan, produksi dan ekspor nikel Indonesia naik tajam. Tak berhenti di situ, pemerintah menargetkan 30 smelter baru nikel beroperasi tahun ini, jauh di atas 2023 yakni 13 smelter.
Di balik itu semua, segudang kontroversi membayangi sektor nikel. Dampak lingkungan dan sosial penambangan dan hilirisasi nikel–mulai dari deforestasi, susutnya biodiversitas, pencemaran air dan udara hingga pergeseran ruang hidup masyarakat–kerap menjadi topik pemberitaan. Belum lagi gonjang-ganjing larangan ekspor nikel yang membuat Indonesia digugat ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), hingga ambruknya harga nikel karena pasokan melampaui kebutuhan.
Isu nikel bahkan sempat terpolitisasi dan jadi ajang saling serang selama Pemilu 2024. Presiden dan wakil presiden terpilih, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, jelas menunjukkan niatnya melanjutkan program nikel Jokowi.
Bagi Indonesia—negara produsen dan pemilik cadangan nikel terbesar di dunia berdasarkan data Badan Survei Geologi Amerika Serikat (USGS)—hilirisasi tampak menjadi keniscayaan. Namun, proses ekstraksi dan pemberian nilai tambah yang berkelanjutan masih menjadi pertanyaan.
Untuk menjawab hal ini, The Conversation Indonesia mewawancarai Putra Adhiguna, Managing Director Energy Shift Institute; Putra Hanif Agson Gani, kandidat doktor Minerals and Energy Resources Engineering dari UNSW Sydney; dan Krisna Gupta, senior fellow dari Center of Indonesian Policy Studies (CIPS) untuk membedah aspek-aspek apa saja yang penting untuk menjamin industri nikel yang berkelanjutan dari hulu ke hilir.
Berikut rangkuman kami.
1. Meluruskan narasi industri nikel
Putra mengatakan bahwa persoalan keberlanjutan industri nikel di Indonesia cukup rumit mengingat isu ekonomi, sosial, dan lingkungan yang berkelindan. Masalah menjadi kian kusut karena potensi konflik kepentingan akibat pejabat dan aparat tingkat nasional maupun daerah terlibat dalam pengelolaan nikel. Kepentingan kekuasaan berisiko membuat diskursus tentang nikel mudah digiring ke isu tertentu yang cenderung sempit.
Sebagai contoh, narasi hilirisasi nikel yang selama ini digaungkan Jokowi acap dikaitkan dengan ambisi Indonesia sebagai produsen baterai EV dunia. Padahal, sebanyak 70% nikel Indonesia digunakan untuk pembuatan baja antikarat (stainless steel), diikuti oleh penggunaan lainnya seperti logam campuran (8%), pelapisan logam (8%), pengecoran (8%), baterai (5%), dan lainnya (1%). Baja antikarat merupakan bahan utama berbagai jenis barang rumah tangga seperti sendok, garpu, hingga gedung pencakar langit dan kincir angin.
“Di gambaran saya, kita tidak akan pernah menjadi raksasa kendaraan listrik dunia. Itu yang menurut saya misleading,” ujar Putra. Saat ini, penelitian Putra menunjukkan bahwa Indonesia hanya menguasai 0,4% dari kue baterai listrik dunia.
Menurut Putra, kuatnya narasi industri nikel untuk pengembangan baterai EV membuat diskusi keberlanjutan ekonomi dan lingkungan industri nikel tak bisa menyeluruh. Walau begitu, hilirisasi nikel untuk bahan baku baterai tetap perlu dilakukan bersamaan dengan produk turunan lainnya, sembari pemerintah meluruskan ambisi dan narasi yang terlanjur menjadi percakapan publik.
2. Insentif untuk dekarbonisasi dan pengolahan limbah
Menurut Hanif dari UNSW Sydney, industri pertambangan dan pengolahan pada hakikatnya sulit untuk bisa benar-benar “bersih” secara lingkungan.
Di sisi hulu, selama proses penambangan, emisi muncul dari proses langsung maupun tak langsung dari peralatan tambang maupun kebutuhan energi dalam pemrosesannya. Pengerukan lahan juga turut mengubah bentang alam sehingga dapat berdampak pada kehidupan liar di dalamnya.
Sementara, di sisi hilir, proses pengolahan nikel di smelter dengan metode pirometalurgi (melalui proses pembakaran) mengeluarkan emisi tinggi dan menghasilkan gas buang yang mencemari udara. Sementara, pengolahan dengan hidrometalurgi—ekstraksi nikel dengan larutan kimia, umumnya untuk menghasilkan bahan baku baterai—menghasilkan limbah yang berisiko mengotori air dan tanah.
Menurut Hanif, untuk mengurangi dampak lingkungan dari industri nikel, perusahaan perlu memadukan sumber listriknya dengan sumber yang berasal dari energi terbarukan. Berinvestasi pada peralatan yang minim emisi) juga dapat menjadi solusi.
Tak hanya itu, perusahaan juga dapat mengelola ataupun mendaur ulang limbahnya agar bisa digunakan kembali. Contohnya dengan memproses gas buang dari smelter menjadi hidrogen yang dapat digunakan kembali sebagai sumber energi.
Namun, proses pengelolaan dampak lingkungan itu menambah biaya sehingga sebagian besar perusahaan tambang di Indonesia pun cenderung menghindarinya. Tuntutan industri tambang “hijau”, kata Hanif, hanya dipenuhi dengan penggunaan biodiesel yang diwajibkan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM)—itu pun memerlukan ongkos yang mahal.
Dalam aspek inilah industri nikel membutuhkan uluran tangan pemerintah.
Baca juga: Survei Jagokan Amsakar Achmad jadi Wali Kota Batam
“Kalau untuk dari pemerintah itu sendiri menurut saya, ya harus ada insentif untuk emission reduction (pengurangan emisi),” tukas Hanif.
3. Menciptakan tekanan dari konsumen
Putra dari Energy Shift Institute mengatakan, upaya untuk meningkatkan aspek kelestarian lingkungan industri nikel tak cukup dilakukan oleh pemerintah. Konsumen nikel Indonesia juga dapat turut serta menuntut proses penambangan dan pengolahan yang berkelanjutan.
Pengguna produk nikel Indonesia, misalnya, bisa mencontek kebijakan Uni Eropa yang mengharuskan penggunaan bioenergi dari komoditas bebas deforestasi dan dikelola secara berkelanjutan. Kebijakan tersebut memang menciptakan ketegangan dengan produsen kelapa sawit di Indonesia. Namun, pada akhirnya, aturan keras itu membuat kewalahan sehingga perusahaan harus menyesuaikan diri.
Putra mengatakan, tuntutan nikel berkelanjutan paling memungkinkan diajukan oleh produsen dan konsumen kendaraan listrik berikut komponennya—seperti baterai. Perusahaan produsen ini juga dapat mengajukan tuntutan bersama, meski pelaksanaannya tidak mudah karena ada tensi perdagangan antara Cina dan negara lainnya tengah memanas.
Cara lainnya yang dapat dilakukan, kata Putra, adalah tuntutan dari konsumen nickel pig iron (nikel hasil olahan untuk bahan baku baja tahan karat). Konsumen ini dapat menuntut pengusaha smelter untuk beroperasi lebih ramah lingkungan, termasuk mengolah bijih yang ditambang secara berkelanjutan.
“Sembari itu, tekanan juga sangat diperlukan untuk produk stainless steel dan turunannya,” ujar Putra.
4. Membatasi ekspansi
Untuk mengatasi dampak lingkungan, menjaga kelangsungan cadangan, dan memperbaiki harga nikel yang jeblok di pasaran, Putra menganggap pembatasan ekspansi industri nikel patut menjadi jalan keluar.
Putra mengatakan anjloknya harga nikel menjadi bukti yang mementahkan argumen pemerintah bahwa eksploitasi nikel bertujuan untuk memakmurkan rakyat. Penambangan nikel besar-besaran sejak 2013 justru membuat pasokan melimpah sehingga harganya tak sekinclong satu dekade silam.
Putra menambahkan, lagi-lagi, pembatasan ekspansi sebaiknya bermula dari sisi hilir alias smelter. Sebab, produksi bijih nikel turut terpengaruh dengan permintaan fasilitas pengolahan. Walhasil, pembatasan smelter, menurut dia, lambat laun akan memperbaiki harga bijih nikel.
“Semakin cepat pertumbuhan smelter, pertumbuhan ore (bijih) dan deforestasi mau gak mau harus mengikuti…Setiap kita tambah satu smelter ya itu growth rate-nya untuk deforestasi harus tambah,” ia menambahkan.
5. Memperkuat eksplorasi dan data cadangan nikel
Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) sempat menyatakan bahwa cadangan bijih nikel kadar tinggi Indonesia, umumnya untuk pembuatan baja, akan habis dalam enam tahun. Meski pernyataan APNI ditepis pemerintah, ini bisa menjadi catatan bahwa nikel Indonesia tidak abadi.
“Cek dengan benar cadangan nikel Indonesia. Apakah ada eksplorasi baru? Apakah lokasi tambang baru ada di daerah hutan lindung?,” ujar Krisna dari CIPS.
Hanif dari UNSW Sydney pun turut menggarisbawahi pengurangan dampak lingkungan penting dimulai sejak tahap pencarian sumber daya. Eksplorasi yang mempertimbangkan dampak lingkungan, menurut dia, dapat menciptakan desain tambang yang minim deforestasi dan risiko lingkungan lainnya.
6. Pasar yang berkelanjutan: evaluasi larangan ekspor dan perkuat kerja sama
Keberlanjutan ekonomi industri nikel tak semata seputar aktivitas produksi. Situasi pasar dan nilai keekonomian nikel pun harus menjadi perhatian. Tanpa keuntungan yang memadai, transisi menuju keberlanjutan besar hanya tampak seperti angan-angan.
Menurut Krisna, pemerintah perlu mengevaluasi apakah keringanan pajak (tax holiday) dan kewajiban pengusaha smelter menyerap produk lokal benar-benar mendorong keberlanjutan. Apalagi, di tengah tuntutan tersebut, pemerintah justru memberikan insentif pajak bagi kendaraan listrik berbaterai non-nikel.
“Jika memang insentif-insentif ini tidak sustainable/tidak bikin industri lebih maju dari posisi saat ini, sebaiknya dipertimbangkan untuk direvisi,” ujar dia.
Evaluasi ini, kata Krisna, juga perlu diikuti dengan kajian perbandingan menyeluruh: apakah keuntungan dari kebijakan insentif untuk smelter lebih besar dari manfaat ekspor bijih nikel.
“Bisa jadi ini malah lebih rugi daripada ekspor nikel mentah aja. Perlu dipikirkan apakah insentif-insentif ini sustainable mengingat trajectory hilirisasi menuju EV (dengan baterai nikel) sepertinya belum terlihat jelas,” tambahnya.
Krisna turut menganjurkan pemerintah memperkuat kerja sama rantai pasok nikel antarnegara alih-alih melarang ekspor yang tak selamanya menguntungkan Indonesia.
“Seharusnya investasi yang masuk ke Indonesia terkait hilirisasi nikel bisa lebih bersaing dan (nikel Indonesia) diperebutkan perusahaan-perusahaan dari berbagai negara, alih-alih cuma dari beberapa negara saja. Keinginan Indonesia tergabung dengan OECD (Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan) bisa jadi membantu, jika pemerintah Indonesia bisa merasionalisasi aturan-aturan investasi di negara-negara OECD,” tutur Krisna.
7. Menyusun peta jalan yang matang
Baik Krisna maupun Putra mempertanyakan sejauh apa sebetulnya Indonesia bisa menerapkan hilirisasi nikel. Apalagi, menurut Putra, Cina tengah mengalami kelebihan pasokan baterai listrik.
“Aku rasa pertanyaan sekarang adalah roadmap seperti apa yang sebenarnya realistis bisa Indonesia capai untuk hilirisasi nikel, itu yang belum terjawab,” ujar Putra.
Sementara, menurut Krisna, Indonesia perlu mengecek kembali sejauh mana minat investor mengembangkan hilirisasi nikel di Indonesia. “Jika tidak bisa sampai mobil, mungkin motor juga oke. Jika sampai batre, ya, sudah. Atau bahkan jika sampai stainless steel juga rasanya bukan hal buruk kok,” kata dia.
Hanif dari UNSW Syndey berpendapat sudah waktunya pemerintah mencari turunan produk nikel lainnya yang berpotensi memberikan nilai tambah—tak melulu untuk baterai. Pasalnya, nikel banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari mulai dari peralatan dapur sampai peralatan elektronik, hingga kebutuhan lain yang menyokong berbagai sektor industri.
8. Praktik pertambangan berkelanjutan
Dengan memadukan berbagai aspek di atas, menurut Hanif, sudah waktunya istilah sustainable mining practices (SMP) atau praktik tambang berkelanjutan tak hanya jadi jargon. Pengawasan dari Kementerian ESDM pun perlu diketat.
Indonesia dapat meniru negara-negara lain yang terbilang berhasil menerapkan praktik berkelanjutan. Hanif mencontohkan usaha Kanada yang melakukan elektrifikasi peralatan tambang dengan sumber energi biomassa.
Perusahaan juga bisa membeli International Renewable Energy Certificates. Sertifikat ini berguna untuk menunjukkan seberapa besar kapasitas listrik mereka berasal dari energi terbarukan.
“Selain sebagai penghasil bahan yang dapat membantu untuk memajukan renewable energy di Indonesia, ada baiknya juga industri nikel dalam proses dalam proses eksplorasi, eksploitasi serta teorisasinya juga mengacu ke sustainable mining practice,” tutup Hanif.
Penulis: Anggi M. Lubis, Business + Economy Editor, The Conversation dan Robby Irfany Maqoma, Environment Editor, The Conversation
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.