EDISI.CO, CATATAN EDISIAN– Siapakah kelas pekerja?
Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mendefinisikan pekerja/buruh sebagai “setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.” Artinya, sepanjang kita bekerja di bawah kuasa orang lain, tidak memiliki kapital, dan melakukan pekerjaan yang diberi imbalan berupa upah, maka kita termasuk kelas pekerja.
Namun, banyak dari kita yang masih tidak merasa menjadi bagian dari kelas pekerja.
Istilah yang digunakan di Indonesia untuk menyebut pekerja sendiri bermacam-macam. Orang yang bekerja sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN), misalnya, disebut “pegawai”, hingga sebagian merasa berbeda dengan pekerja pada umumnya. Apalagi, para pegawai ASN terikat dalam rezim aturan hukum yang berbeda, yakni UU ASN, alih-alih UU Ketenagakerjaan.
Ada pula istilah “karyawan” yang lazim digunakan untuk menyebut pekerja kantoran. Belum lagi pekerja dengan profesi keahlian khusus, seperti dokter atau dosen, yang kerap kesulitan mengidentifikasikan dirinya sebagai pekerja/buruh, karena terlanjur diidentikkan sebagai “profesional”.
Padahal, pekerja kerah putih seperti tenaga kesehatan dan dosen di perguruan tinggi pun tidak lepas dari isu eksploitasi kerja, khususnya terkait kesejahteraan dan beban kerja.
Di sinilah upaya mendorong solidaritas kelas pekerja menjadi krusial untuk dilakukan secara kolektif.
Ragam hubungan kerja
Selain penyebutan yang berbeda-beda, kelas pekerja juga dibedakan secara hukum melalui ragam hubungan kerja yang berbeda.
Menurut UU Ketenagakerjaan, hubungan kerja adalah “hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah”.
Perjanjian kerja ini dibagi menjadi beberapa jenis, ada Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT/Perjanjian Kerja Tetap), Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT/Perjanjian Kerja Kontrak), perjanjian kerja outsourcing (melalui pihak ketiga), ada juga perjanjian kerja harian lepas yang merupakan salah satu jenis turunan dari PKWT.
Banyak pula orang yang bekerja namun hubungan hukumnya tidak dianggap sebagai hubungan kerja. Contohnya adalah ojek online dan kurir. Hubungan hukum antara mereka dengan platform disebut sebagai hubungan kemitraan, sehingga tidak terlindungi oleh hukum ketenagakerjaan.
Ada juga freelancer yang kerap disebut sebagai pekerja mandiri yang tidak memiliki hubungan kerja dengan pemberi kerjanya.
Ragam hubungan kerja ini kerap menjadi penghalang solidaritas antara satu pekerja dengan yang lain, karena kondisi dan kesulitan yang tidak sama. Pekerja dengan perjanjian kerja tetap, misalnya, bisa jadi kesulitan memahami kekhawatiran pekerja dengan perjanjian kerja kontrak yang hubungan kerjanya punya batas waktu tertentu. Pekerja dengan hubungan kerja juga bisa jadi kesulitan memahami kondisi yang dialami oleh pekerja tanpa hubungan kerja seperti pengemudi ojek online atau para freelancer.
Padahal, di tengah pasar kerja yang kerap diskriminatif, kondisi kerja yang makin eksploitatif, dan krisis perlindungan dari negara, penting untuk mendorong solidaritas para pekerja guna meningkatkan kekuatan kelas pekerja.
Deregulasi semakin menghimpit kelas pekerja
Secara umum, hukum ketenagakerjaan di Indonesia tengah berada dalam kondisi deregulasi pasca-disahkannya Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK). Akibatnya, perlindungan yang diberikan negara terhadap pekerja semakin menipis.
Sebagai contoh, kita makin sering mendengar kasus pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak, yang merupakan implikasi tidak langsung dari UUCK, yang mengatur kemudahan pemutusan hubungan kerja melalui pemberitahuan saja.
Di banyak sektor padat karya, penggunaan kontrak PKWT dengan jangka waktu yang makin pendek makin lazim terjadi. Lagi-lagi, hal ini merupakan implikasi dari UUCK yang tidak memberi batasan berapa kali PKWT dapat diperpanjang, sehingga menyebabkan pekerja makin sulit mendapatkan keamanan kerja.
Baca juga: Cara PT Cladtek Batam dan Perkumpulan Akar Bhumi Peringati Hari Bumi
Bahkan di sektor teknologi dan digital yang disebut-sebut sebagai pekerjaan masa depan, PHK massal kian sering terjadi akibat dari tech winter (tumbangnya perusahaan startup teknologi) yang ternyata tak kunjung usai.
Di sisi lain, makin banyak pula pengusaha yang mempekerjakan pekerja menggunakan kontrak nonhubungan kerja, melainkan hubungan kemitraan, sebagai akibat dari tidak jelasnya pengaturan mengenai hubungan kemitraan dalam hukum ketenegakerjaan Indonesia.
Mendorong serikat pekerja
Meski dibalut dengan sebutan yang berbeda dan didasari oleh jenis hubungan kerja yang beragam, tidak ada pekerja yang sepenuhnya luput dari eksploitasi dan bayang-bayang kondisi kerja buruk.
Pada titik ini, penting bagi kita untuk memperkuat solidaritas sesama kelas pekerja. Hal ini bisa dilakukan salah satunya melalui serikat pekerja/serikat buruh.
UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh mendefinisikan serikat pekerja/serikat buruh sebagai organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan untuk pekerja/buruh baik di perusahaan maupun di luar perusahaan, yang bertujuan untuk guna memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya.
Serikat pekerja/buruh dapat menjadi cara untuk meningkatkan posisi tawar pekerja dalam memperjuangkan kesejahteraan dan kondisi kerjanya, mengingat pekerja secara individual memiliki relasi kuasa yang tidak berimbang dibanding pemberi kerja.
Mungkinkah kelas pekerja bersolidaritas?
Hingga saat ini, belum banyak pekerja di Indonesia yang berserikat. Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2022 menunjukkan bahwa dari 63.880.500 pekerja, hanya sebanyak 7.509.721 pekerja yang berserikat, atau sekitar 11,76%.
Minimnya pekerja yang berserikat tidak dapat dipisahkan dari sejarah panjang represi serikat buruh di masa Orde Baru. Meski semenjak masa Reformasi ruang kebebasan berserikat telah dibuka seluas-luasnya, beberapa pakar menilai bahwa serikat buruh maupun gerakan pekerja di Indonesia, belum menunjukkan kemajuan yang berarti.
Saya tidak sepenuhnya sepakat dengan pendapat tersebut.
Pada momen pengesahan UUCK lalu, gerakan buruh dengan beragam latar belakang konsisten menolak dan menyuarakannya melalui aksi turun ke jalan, hingga mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK). Salah satunya berhasil menang hingga MK menyatakan bahwa UUCK inkonstitusional bersyarat.
Belakangan ini, makin banyak pula gerakan-gerakan perlawanan dan solidaritas kelas pekerja yang dimotori oleh pekerja-pekerja muda dan diawali lewat media sosial.
Gerakan perlawanan dan penggalangan solidaritas melalui media sosial ini bahkan beberapa berhasil diwujudkan menjadi pembentukan serikat pekerja. Misalnya dalam pembentukan Serikat SINDIKASI, Serikat Merdeka Sejahtera (SEMESTA), hingga yang paling baru, Serikat Pekerja Kampus (SPK).
Artinya, mendorong solidaritas kelas pekerja bukanlah hal yang mustahil. Kita sebagai sesama pekerja hanya perlu lebih menumbuhkan sense of belonging untuk bersama-sama melawan ketidakadilan di dunia kerja.
Penulis: Nabiyla Risfa Izzati, Lecturer of Labour Law, Universitas Gadjah Mada
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.