EDISI.CO, CATATAN EDISIAN- Kompetisi menuju kursi kepresidenan telah usai. Para elite saat ini tengah sibuk bernegosiasi untuk menentukan posisinya dalam peta kekuasaan.
Partai-partai politik pendukung Presiden terpilih Prabowo Subianto tentunya akan mendominasi portofolio kabinet. Partai-partai dari koalisi lawan, seperti Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Nasdem, juga tampaknya sedang berusaha masuk ke dalam pemerintahan.
Lalu, siapa yang akan menjadi oposisi agar kekuasaan eksekutif tidak berkembang menjadi absolut?
Oposisi dan keberlangsungan demokrasi
Penguasa berhadapan dengan oposisi merupakan kondisi tak terelakkan dalam tata kelola pemerintahan. Ini karena demokrasi memang selalu memberikan ruang ketidaksepakatan.
Ketidaksepakatan lazim terjadi karena adanya perbedaan ideologi yang menyebabkan setiap aktor memiliki pendekatan berbeda dalam menyelesaikan persoalan publik.
Dalam konteks pemerintahan, oposisi selalu menjadi kritikus yang mengoreksi dan mengawasi pemerintah dalam menjalankan instrumen kekuasaan. Hal ini menjadi peringatan agar pemerintah tidak bersikap sewenang-wenang atas nama “kebaikan bersama”.
Kehadiran oposisi sangat krusial agar musyawarah publik berjalan sebagaimana mestinya. Dialektika pemerintah dan oposisi bisa menjadi sarana efektif sosialisasi politik.
Masyarakat memiliki kesempatan mengidentifikasi berbagai alternatif solusi atas tantangan-tantangan negara mengapai kesejahteraan. Kesadaran warga untuk terlibat aktif dalam masalah-masalah penyelenggaraan pemerintahan juga akan semakin meningkat. Kondisi ini tentunya menjadi sinyal positif bagi penguatan demokrasi.
Klasifikasi oposisi
Para ilmuwan mengklasifikasikan oposisi ke dalam dua kategori utama, moderat dan radikal.
Oposisi moderat memilih cara-cara demokratis dalam memperjuangkan agendanya seperti perdebatan di parlemen, pengajuan petisi, demonstrasi damai, dan mobilisasi opini publik untuk menguji rancangan kebijakan. Tujuan utamanya adalah membatasi kekuasaan eksekutif.
Strategi oposisi moderat cenderung memperkuat demokrasi, karena biasanya mereka menempuh jalan yang tidak bertentangan dengan norma hukum. Penolakan perpanjangan masa jabatan presiden dan penundaan pemilu menjadi contoh bahwa perlawanan secara damai dapat memperkuat kesadaran bersama tentang pentingnya menjaga eksistensi demokrasi.
Sementara itu, oposisi radikal lebih menghendaki pergantian pimpinan eksekutif. Pendekatan mereka dalam mencapai tujuan politiknya turut menentukan keberlangsungan demokrasi.
Pendekatan oposisi radikal bisa mengorbankan demokrasi karena menempuh langkah-langkah ekstrem untuk segera mengakhiri masa jabatan presiden. Misalnya berkomplot dengan militer untuk melancarkan kudeta, memboikot pemilu, dan melakukan demonstrasi yang lebih menonjolkan aksi-aksi kekerasan.
Turki dan Venezuela menjadi contoh bagaimana strategi oposisi justru berakibat pada kemunduran demokrasi. Ini tentunya menjadi ironi oposisi sebagai kekuatan penopang demokrasi.
Anomali oposisi di Indonesia
Kehadiran oposisi merupakan kondisi alami di negara demokrasi dengan sistem kepartaian terbatas, atau dua partai, dan garis ideologi yang jelas; liberal vs konservatif ataupun kiri vs kanan.
Umumnya, pihak yang kalah dalam pemilu secara otomatis menjadi oposisi. Namun, demokrasi di Indonesia belum memunculkan kohesi (keserasian) kekuatan oposisi, terutama sejak Reformasi 1998. Kehadiran oposisi cenderung tidak diinginkan oleh para elite politik. Bahkan, seringkali partai oposisi itu sendiri yang “tidak betah” menjadi oposisi dan pada akhirnya masuk ke kubu pemerintah.
Ada sejumlah alasan kondisi ini terjadi.
1. Garis ideologi yang kabur
Anomali ini kemungkinan besar disebabkan oleh tidak jelasnya garis ideologi partai politik.
Meskipun partai politik di Indonesia kerap dikelompokkan ke dalam dua ideologi arus utama–Islam dan nasionalis-sekuler–tidak ada perbedaan signifikan di antara mereka terkait preferensi kebijakan. Semuanya memiliki pandangan yang sama ketika berbicara tentang penanggulangan kemiskinan, pembangunan ekonomi, maupun keterwakilan perempuan.
Bahkan diskursus seputar Islam dan negara tidak terlalu signifikan untuk menempatkan partai nasionalis dan Islam pada posisi yang berseberangan. Partai-partai nasionalis juga banyak menginisiasi hadirnya sejumlah Peraturan Daerah (Perda) syariah yang beriringan dengan agenda partai Islam.
2. Feodalisme yang kuat
Kuatnya budaya feodalisme (sistem politik yang dikuasai oleh golongan bangsawan) juga turut mempersulit hadirnya oposisi. Penguasa menempati posisi tertinggi dalam struktur sosial masyarakat. Melontarkan kritik kepada penguasa tidak hanya dianggap salah tetapi juga termasuk dalam tindakan perlawanan. Tak ayal, masih banyak elite politik kita yang kurang siap menerima kritik.
Baca juga: Riset Ungkap Pari Manta Karang Raja Ampat Tergolong “Anak Rumahan” di Habitatnya
Agenda “stabilitas” dan “persatuan” sering disalahgunakan untuk menghindari musyawarah publik. Padahal ruang publik yang terbuka luas untuk memperdebatkan setiap rancangan kebijakan merupakan mekanisme konstruktif bagi pembangunan bangsa.
3. Kesadaran demokrasi
Pemahaman atas makna demokrasi juga bekontribusi pada lemahnya eksistensi oposisi. Masyarakat Indonesia tidak melihat demokrasi sebagai terjaganya ruang musyawarah publik dalam kerangka checks and balances, tetapi lebih kepada kemampuan pemerintah mengeksekusi kebijakan pembangunan ekonomi. Ini membuat masyarakat cenderung abai terhadap praktik-praktik penyalahgunaan kekuasaan selama pemerintah menunjukkan performa memuaskan di aspek tersebut.
Padahal jika ditelisik lebih dalam, efektivitas pemerintah dalam menerapkan kebijakan sebenarnya turut mengabaikan hak-hak dasar warga negara. Kasus-kasus penggusuran secara represif pada proyek strategis nasional merupakan bukti empirisnya.
Selain itu, kemunculan oposisi menjadi semakin sulit akibat dominasi jaringan patronase (pembagian keuntungan antara politikus) dan klientelisme (relasi timbal balik demi mendapatkan kekuasaan). Partai lebih memilih bergabung ke pemerintahan karena adanya sumber daya negara yang bisa dimanfaatkan untuk menghidupi organisasinya. Presiden juga berkepentingan mengundang partai-partai ke koalisi besar guna menetralisir kekuatan oposisi.
Dan Slater, profesor ilmu politik di Universitas Michigan, Amerika Serikat (AS) menyebut kartelisasi partai ala Indonesia ini sebagai mekanisme pembagian kekuasaan antarelite. Meskipun patron-klien bisa mencegah kembalinya rezim otoritarian, patron-klien juga yang membuat demokrasi Indonesia tidak akan bergerak menjadi lebih substantif.
Bagaimana nasib oposisi setelah Pemilu 2024?
Eksistensi oposisi sangat bergantung pada negosiasi dan hubungan personal antarelite.
Pasca-Pemilu 2024 ini, PDI-P menjadi partai yang paling diyakini akan menjadi oposisi. Posisi PDI-P sebagai pemenang Pemilu legislatif dan akan menguasai mayoritas kursi parlemen bisa menjadi alasan Prabowo mengajaknya masuk koalisi pemerintah.
Prabowo perlu “merangkul” sebanyak mungkin pihak demi kelancaran program-program andalan yang telah ia janjikan kepada publik.
Namun, mengingat tengah memburuknya relasi antara Presiden Joko “Jokowi” Widodo dengan Ketua Umum PDI-P Megawati Sukarnoputri karena rangkaian dugaan “intervensi” Jokowi dalam pencalonan dan [kemenangan Prabowo-Gibran], besar kemungkinan PDI-P akan konsisten di kubu oposisi.
Jika partai-partai nonpendukung Prabowo konsisten di luar pemerintahan, ini bisa menjadi titik balik dari kemunduran demokrasi yang tengah terjadi saat ini. Sayangnya, mungkin hanya PDI-P yang akan menjadi oposisi, sementara akan ada lebih dari lima partai politik pendukung pemerintah di parlemen. Jumlah kekuatannya masih sangat timpang. Kondisi ini tidak bisa secara efektif menciptakan keseimbangan atas dominasi kekuatan eksekutif.
Publik bisa memainkan peran oposisi
Publik melalui organisasi masyarakat sipil bisa memainkan peran oposisi ekstra-parlemen. Soliditas masyarakat sipil menjadi kunci utama sebagai kekuatan efektif penyeimbang pemerintah. Agenda utamanya adalah menahan laju erosi demokrasi.
Kelompok masyarakat sipil telah terbukti lebih kritis dibandingkan partai politik. Ini terjadi pada beberapa kasus seperti revisi Undang-Undang (UU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), UU Cipta Kerja, upaya perpanjangan masa jabatan presiden, isu kerusakan lingkungan hidup, dan tuntutan pemilu jujur-adil. Bahkan organisasi massa Islam yang identik dengan nonliberalisme justru memberikan resistensi terhadap erosi demokrasi Indonesia.
Meskipun kekuatan dan kewenangannya tidak sebesar partai, konsistensi kelompok masyarakat sipil sebagai penyuara kepentingan publik menjadi secercah harapan agar perusakan demokrasi tidak berlanjut ke kejatuhan demokrasi.
Baca juga: Andhik Beni Saputra, Lecturer, Universitas Andalas
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.