EDISI.CO, KEPRI- Ketua Inisiasi Masyarakat Adat (IMA) Nukila Evanty, menemukan ancaman terstruktur bagi suku laut di Kepri. Mereka berada dalam keadaan memprihatinkan, baik secara ekonomi, soial dan budaya.
Temuan itu Nukila dapatkan saat menjalankan program fellow pada International Indigenous Women’s Forum (FIMI) selama dua hari pada tanggal 16-17 Mei 2024 di Kota Batam. Setidaknya terdapat dua kampung suku laut yang menjadi lokasi penelitian yaitu di Suku Laut Air Mas, Pulau Tanjung Sauh, Nongsa Kota Batam dan Suku Laut Pulau Dare, Belakang Padang Kota Batam.
“Saya berkesempatan untuk melakukan riset dan sekaligus advokasi pada perempuan suku laut yang berada di Kepulauan Riau. Tujuan penelitian atau riset ini menyasar pengambil kebijakan dalam hal ini pemerintah memahami tantangan yang dialami suku laut tersebut terutama perempuan dan anak-anak serta melakukan intervensi program untuk membantu suku Laut tersebut,” kata Nukila dalam keterangannya pada Senin, 19 Mei 2024.
Kondisi yang ditemukan dilapangan kata Nukila, suku laut di kota industri ini bisa dikatakan tidak diperhatikan.
“Kami melihat kondisi mereka begitu miris dan menyedikan, terutama bagi perempuan dan anak-anak suku laut,” katanya.
Setidaknya terdapat beberapa catata IMA berdasarkan temuan lapangan tersebut. Diantaranya:
Suku Laut di kedua lokasi mengalami pemaksaan penyeragaman (uniformity) sehingga identitas dan kebanggaan mereka akan tradisi mereka seperti perahu atau kajang, bahasa suku laut, agama nenek moyang , cara menangkap ikan dengan serubang (tombak), mengetahui arus atau cuaca dengan bentuk bintang dilangit, semuanya mulai tergerus dan lama-lama bisa menghilang. Pola-pola seperti ini adalah merupakan pelanggaran hak budaya suku laut;
Perempuan-perempuan dan anak-anak di kedua lokasi mengalami kekerasan berbasis gender; mereka dimiskinkan secara terstruktur (systemic poverty) artinya kehidupan ekonomi suku laut dieksploitasi.
Suku laut dipaksa ke darat , diiming-imingi kehidupan yang lebih baik, diberikan bantuan rumah (dengan standar rumah yang tidak sesuai dengan standard right to adequate housing (rumah yang layak huni) dan Deklarasi Hak Asasi Manusia (UDHR -Universal Declaration of Human Rights).
Padahal standar rumah yang baik itu adalah tidak sekedar didirikan rumah tetapi dipikirkan juga kepemilikan tanah (land ownership), sanitasi, kesejahteraan keluarga dirumah itu, yang menurut kesaksian anggota keluarga suku laut yang diwawancarai; mereka menyebutkan mencari ikan saja sudah semakin sulit; makanan yang bernutrisi juga sulit karena ketidakmampuan membeli beras dan makanan bergizi lainnya; juga berkaitan dengan kurangnya klinik kesehatan, perlindungan buat penyandang disabilitas.
“Bahkan kami temukan ada beberapa anggota suku laut perempuan yang sudah lansia bersusah payah mendapatkan kursi roda untuk penyangga mereka berjalan.
Kemudian akses Pendidikan yang jauh. Anak-anak suku laut kedua tempat itu tidak memiliki akses Pendidikan yang layak. Salah satunya lokasi sekolah jauh dari kediaman mereka. Untuk sekolah mereka harus menyebrang pulau. Sehingga banyak anak-anak di suku laut telah drop out (DO) dari sekolah dan pada akhirnya menikah diusia anak-anak.
Fenomena menikah di usia anak-anak juga terjadi di suku lau tini. Umumnya mereka menikah yaitu 12-17 tahun.
Baca juga: Bakamla Batam Kumpulkan 6,8 Ton Sampah di Kegiatan Bulan Cinta Laut
Banyak dari masyarakat sukut laut ini buta huruf. Belum ada program pemerintah yang serius menangani masalah ini.
Kemudian ruang hidup nelayan suku laut laut ini juga terancam masifnya pembangunan kawasan industri di Kota Batam. Setidaknya kami menemukan ada proyek pembangunan dan industry ekstraktif masuk ke wilayah di sekitar kediaman suku laut. Berdasarkan wawancara dengan salah satu tokoh adat, disampaikan keluhan bahwa ada lima (5) perusahaan dan bisnis besar yang menyebabkan laut rusak seperti air laut keruh, tercemar, terumbu karang mati, ikan-ikan pun menjauh dan pekerjaan mereka sebagai nelayan bertambah berat, harus mencari ikan jauh.
Suku laut tidak pernah diajak bicara serta mendapakan persetujuan (consent). Jika suku Laut memprotes atau menolak , maka balasannya adalah kriminalisasi, mereka dibawa ke ranah hukum. Suku laut menjadi suku yang tak dianggap padahal lautan ini dahulunya adalah habitat tempat tinggal mereka.
Untuk itu, IMA meminta pemerintah ( pusat dan daerah ) untuk:
- Meminta pemerintah untuk mendirikan sekolah SD, SMP, SMA yang lebih dekat dari lokasi suku laut; atau pemerintah
- memperhatikan secar khusus agar anak-anak suku laut bisa sekolah seperti masyarakat kota lainnya.
- Meminta pemerintah untuk memberikan pengakuan atas suku laut sebagai masyarakat adat yang berhak diakui budaya, bahasa dan lingkungan hidupnya dengan cara diantaranya memberikan sertifikat kepemilikan tanah dengan metode jemput bola (datang langsung); melibatkan suku laut dalam proses-proses pengambilan kebijakan termasuk perempuan suku laut untuk memetakan kebutuhan hidup mereka dan anak-anaknya;
- Meminta pemerintah untuk memastikan bisnis-bisnis di Kepulauan Riau patuh pada UNGPs (United Nations Guiding Principle on Business and Human Rights) yaitu panduan berbisnis yang menghormati HAM, memastikan bahwa harus ada analisa dampak sosial, ekonomi dan lingkungan bagi masyarakat yang terkena dari suatu proyek pembangunan;
- Pemerintah harus mengedepankan kebijakan yang sensitive gender dan memiliki data berbasis gender sehingga dapat diketahui intervensi untuk perempuan -perempuan di Suku Laut.
Pada akhirnya pembiaran yang terus menerus akan menyebabkan pemerintah sendiri yang rugi dan tidak bisa memenuhi komitmennya di dunia internasional yaitu SDGs (Sustainable Development Goals)