EDISI.CO, CATATAN EDISIAN– Data statistik tahun 2024, menunjukkan bahwa generasi anak saat ini, masuk dalam generasi Alpha yang mendapatkan hiburan lebih banyak dari media sosial. Di YouTube, misalnya, anak-anak bisa menonton berbagai konten, baik yang bersifat edukasi maupun hiburan.
Sayangnya, para produsen konten anak-anak mengabaikan sejumlah elemen krusial dalam storytelling mereka. Padahal, dengan menggunakan cara penceritaan yang tepat, pesan akan lebih mudah dipahami oleh target audiens. Apalagi bagi audiens anak, yang memiliki karakter yang tidak bisa disamakan dengan audiens umum, misalnya dari sisi perkembangan kognitif, emosi dan juga moral.
YouTube memiliki platform bernama YouTube Kids yang diperuntukkan untuk audiens anak. YouTuber yang ingin memperluas audiens kontennya ke anak-anak dan masuk ke daftar kanal di YouTube Kids perlu memahami karakter audiens ini.
Konten yang terdapat di YouTube Kids juga terbagi atas berbagai kategori, salah satunya gaming. Menurut data tahun 2023, kanal gaming yang terkenal di YouTube Kids di antaranya adalah MarMar Land, Evbo, dan Lex Play. Ketiga kanal ini memproduksi konten yang berisi narasi pemilik kanal sedang bermain game dan dikemas semenarik mungkin bagi anak–anak.
Dalam proses digital storytelling, produsen konten sebaiknya tidak hanya mempertimbangkan kemenarikan konten, tapi juga penyampaian pesannya. Sebab, cara penceritaan melalui narasi konten menentukan diterima tidaknya pesan yang ingin disampaikan kepada audiens. Hal ini bisa dicapai dengan memenuhi elemen-elemen digital storytelling.
Apa saja elemen-elemen tersebut?
Audiens anak dan elemen ‘digital storytelling’ di YouTube Kids
Penelitian kami mengidentifikasi 13 elemen digital storytelling pada tiga video gaming yang diproduksi oleh kanal MarMar Land, Evbo, dan Lex Play, dan kesesuaiannya dengan karakter audiens anak–anak.
Audiens anak dalam penelitian kami merujuk pada usia audiens konten gaming di YouTube Kids, yaitu di atas tujuh tahun. Ke-13 elemen ini merupakan hasil elaborasi peneliti dari 12 elemen digital storytelling untuk khalayak umum dengan konsep perkembangan moral anak-anak, yang mencakup:
- Perspektif—sudut pandang yang dipakai dalam video,
- Intensi—tujuan dari video,
- Personal—keterhubungan cerita dengan personal narator,
- Pertanyaan dramatis—pertanyaan kunci yang menahan atensi audiens,
- Engagement—konteks emosional yang diangkat dalam cerita,
- Artikulasi—penggunaan artikulasi suara saat bercerita,
- Soundtrack musik/audio untuk mendukung cerita,
- Minimal—efektivitas penggunaan teknologi dalam video narasi,
- Tempo—pengaturan kecepatan berbicara,
- Peta cerita—struktur cerita dan logika kalimat sesuai kelompok audiens,
- Ekspresi—kesesuaian ekspresi dengan visual dan emosi,
- Konten signifikan—gabungan teknologi dan keahlian dalam berkomunikasi,
- Narasi sesuai perkembangan moral—narasi dan visual menunjukkan perbuatan benar atau salah.
Elemen ‘digital storytelling’ yang luput dari perhatian ‘YouTuber’
Hasil penelitian kami menunjukkan bahwa terdapat beberapa elemen yang luput dari perhatian YouTuber dalam konten gaming untuk audiens anak-anak, yaitu:
1. Personal
Dua dari tiga video yang kami teliti, yaitu MarMar Land dan Lex Play, tidak menunjukkan adanya keterhubungan produsen video dengan konten yang dibuat. Padahal, elemen personal ini jika diterapkan bisa menstimulasi emosi audiens anak-anak.
Sebagai contoh, video milik EVBO menunjukkan desa yang tutup di hari Minggu, yang membuat narator merasa kesal. Emosi kekesalan ini dapat disampaikan melalui narasi yang bisa ditangkap oleh audiens.
2. Pertanyaan dramatis
Video EVBO dan MarMar Land juga tidak memiliki pertanyaan yang mengunci atensi audiens. Kedua video ini hanya mengikuti alur yang ada di game sehingga hanya menempatkan audiens seperti “anak yang melihat temannya asyik bermain game sendiri”.
Jika narator menggunakan pertanyaan dramatis seperti milik Lex Play, misalnya “How do I plan out my island? (Bagaimana aku merancang pulauku?), ”How do I start terraforming?“ (Bagaimana memulai teraformasi atau membuat permukaan planet selain bumi layak dihuni makhluk hidup?), ”How do I know where I’m going to put things?“ (Bagaimana aku tahu di mana meletakkan sesuatu?), anak-anak akan fokus menonton video untuk menemukan jawaban dari pertanyaan tersebut.
3. Peta cerita
Video MarMar Land dan EVBO yang hanya mengalir mengikuti alur game membuat kedua video ini tidak memiliki peta cerita yang jelas. Kedua video ini tidak memiliki pembukaan video ataupun alur spesifik. Model peta cerita seperti ini dapat membuat audiens anak-anak kesulitan mengidentifikasi apa inti pesan yang disampaikan narator melalui videonya.
4. Ekspresi
Video EVBO dan Lex Play juga tidak menunjukkan wajah narator dalam videonya, sehingga elemen ekspresi tidak ada. Padahal, ekspresi ini menjadi elemen yang dapat membantu anak-anak menangkap pesan yang tepat. Misalnya di video milik MarMar Land, anak-anak akan jelas melihat kesesuaian antara narasi bahagia dengan ekspresi bahagia ketika narator berhasil menyelesaikan rintangan.
5. Tempo dan artikulasi
Anak-anak usia 5-7 tahun hanya bisa menangkap 128–130 kata per menit, dan meningkat sampai 135 kata di usia 10 tahun. Sayangnya, video milik MarMar Land mengabaikan ini dengan memiliki 214 kata per menit.
Baca juga: Bakamla Batam Kumpulkan 6,8 Ton Sampah di Kegiatan Bulan Cinta Laut
Selain itu, efek audio membuat artikulasi beberapa kata menjadi kurang jelas. EVBO bahkan memiliki tempo 226 kata per menit. Padahal, makin cepat narator bercerita, makin tinggi risiko ketidakjelasan artikulasinya.
6. Narasi sesuai perkembangan moral
Hanya ada satu video yang memberikan elemen ini, yaitu video MarMar Land yang memberi pesan untuk tidak membuang sampah sembarangan terutama di perairan. Padahal, elemen ini cukup penting karena bisa membantu perkembangan moral anak dari konten yang mereka tonton.
Abai kebutuhan anak
Berdasarkan temuan di atas, tampak bahwa beberapa elemen digital storytelling yang dipenuhi oleh produsen lebih banyak fokus ke elemen kemenarikan video, sementara elemen-elemen yang terkait penyampaian pesan cenderung diabaikan.
Ini menunjukkan kepentingan produsen konten yang hanya sekadar mendapatkan atensi dari audiens, bukan menyampaikan pesan tertentu. Kebutuhan akan atensi audiens yang tinggi ini berkaitan dengan monetisasi konten berdasarkan jumlah views dari audiens.
Proses digital storytelling via YouTube Kids terbukti hanyalah praktik bisnis konten semata. Produsen konten tidak benar-benar serius memasukkan semua elemen digital storytelling dan memperhatikan kebutuhan audiens anak. Artinya, bahkan dengan embel-embel kata ‘kids’ sekalipun, YouTube Kids hanya menjadikan anak-anak sebagai target bisnis yang kebutuhan hiburannya—sesuai karakter mereka—tidak diperhatikan.
Birgitta Bestari Puspita, Dosen Departemen Ilmu Komunikasi, Universitas Atma Jaya Yogyakarta dan Paulus Angre Edvra, Lecturer, Unika Soegijapranata
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.