EDISI.CO, CATATAN EDISIAN– Restorasi adalah salah satu upaya untuk mengembalikan dan menjaga keberlangsungan lahan gambut yang penting bagi kestabilan iklim Bumi dan mencegah kebakaran hutan dan lahan.
Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) memiliki target restorasi seluas 1,04 juta ha dalam periode 2022-2024 hingga mencapai 3,44 juta ha selama 2030-2034.
Kendati begitu, restorasi tak bisa hanya mengandalkan aspek ekologi seperti penanaman dan pembasahan kembali lahan gambut yang mengering. Usaha mengungkit kesejahteraan masyarakat sekitar juga penting agar secara ekonomi dan sosial, masyarakat semakin akrab dan ‘terikat’ dengan kesehatan lahan gambut.
Selama hampir dua tahun, saya bersama tim peneliti dan mitra memfasilitasi pengembangan model bisnis untuk restorasi gambut oleh masyarakat adat dan masyarakat lokal. Pengembangan model bisnis merupakan salah satu proses riset aksi partisipatif yang dilaksanakan di Desa Kayu Ara Permai dan Desa Penyengat, Kecamatan Sungai Apit, Kabupaten Siak, Provinsi Riau.
Sejauh ini, kami melihat perencanaan model bisnis berkelanjutan turut memicu minat warga untuk memulihkan lahan gambut dan mencegah kebakaran hutan.
Petani dan pelaku restorasi
Kepada kami, masyarakat di Kampung Kayu Ara Permai dan Penyengat bercerita bahwa dulu, banyak warga kampung yang menjadi nelayan dan mengambil produk hutan seperti buah-buahan, tanaman obat, dan hasil hutan bukan kayu lainnya untuk kebutuhan sehari-hari. Namun, perlahan-lahan warga setempat juga mencari penghidupan dengan menjadi petani hortikultura (tanaman kebun termasuk sayur-mayur) di lahan gambut. Banyak pula hutan-hutan di sekitar kampung yang berubah menjadi perkebunan maupun penggunaan lahan lainnya.
Maraknya aktivitas pertanian dan perkebunan di kampung dan area di sekitarnya ternyata berkontribusi mengeringkan lahan gambut. Gambut yang kering memicu kebakaran hutan dan lahan hampir setiap tahun. Bahkan, kebakaran terakhir terjadi pada 2020.
Lahan gambut yang relatif dalam, cuaca kemarau yang panjang, dan kebiasaan menggunakan api dalam membersihkan lahan menjadi pemicu kebakaran. Sebetulnya penggunaan api untuk membersihkan lahan sudah dilarang, tetapi cara itulah yang paling cepat, efektif, dan murah.
Kebakaran berulang membuat warga Kampung Kayu Ara Permai dan Kampung Penyengat jengah. Mereka, yang juga petani hortikultura, berusaha memperbaiki keadaan dengan terlibat aktif dalam kegiatan pencegahan kebakaran dan pelestarian lingkungan seperti Masyarakat Peduli Api (MPA) dan kelompok konservasi. Warga pun antusias memulihkan lahan gambut sembari mencari penghidupan dari kawasan tersebut.
Dari sinilah kami mencoba mendampingi warga untuk melakukan bisnis berkelanjutan sambil memulihkan gambut. Harapannya, mereka bisa mencari nafkah, memenuhi kebutuhan sehari-hari, sembari menjaga gambut.
Hulu-hilir restorasi gambut masyarakat
Kami mendampingi masyarakat untuk mengembangkan model bisnis di lahan gambut—mulai dari identifikasi jenis usaha, pencarian mitra, hingga pemasaran.
Ini bukanlah program top-down—ketika masyarakat hanya menjadi pelaksana. Mereka sejak 2021 terlibat aktif merumuskan bisnis berkelanjutan sejak tahap perencanaan hingga pemantauan.
Berdasarkan perencanaan, MPA, kelompok tani, kelompok konservasi, organisasi masyarakat adat, dan kelompok wanita tani di kedua kampung tertarik mengembangkan bisnis wanatani (pertanian campuran dengan tanaman hutan) dan wanamina (perikanan budi daya di lahan basah). Mereka mengelola lahan gambut milik desa yang awalnya berupa semak belukar, serta lahan pekarangan masyarakat yang belum dimanfaatkan secara optimal.
Tahap selanjutnya adalah identifikasi barang maupun jasa yang akan dikembangkan dalam model bisnis. Pemilihan barang dan/atau jasa ini mempertimbangkan permintaan pasar, kesesuaian untuk dikembangkan di lahan gambut, dan minat masyarakat.
Untuk usaha wanatani, masyarakat memilih menanam nanas, talas, dan jahe agar dapat dipanen dalam jangka pendek sehingga lebih cepat mendatangkan keuntungan. Tanaman tersebut mereka kombinasikan dengan spesies asli yang tumbuh di lahan gambut yaitu geronggang dan tanaman kayu lainnya yang ramah gambut yaitu [kopi liberika], kelengkeng, dan matoa. Selain menanam, masyarakat juga membuat kolam/embung untuk membudidayakan ikan asli rawa yakni ikan gabus.
Masyarakat kemudian menentukan mitra kunci potensial serta peran masing-masing untuk mendukung kegiatan bisnis. Umumnya, masyarakat melibatkan pemerintah daerah, mitra pembangunan, badan usaha kampung, dan perusahaan yang ada di sekitar kampung mereka.
Salah satu kontribusi, misalnya, dari perusahaan mendanai pengembangan bisnis maupun pendampingan pengolahan produk turunan bagi masyarakat. Sementara itu, badan usaha kampung berperan memasarkan produk-produk yang dihasilkan oleh masyarakat dari kegiatan bisnis.
Masyarakat juga menentukan aktivitas kunci untuk meliputi sebelum, selama, dan sesudah proses produksi. Sebelum proses produksi, masyarakat menjalani pelatihan, menyiapkan lahan tanpa membakar, membangun pembibitan, membuat embung. Masyarakat juga bersama membuat sekat kanal dengan lebar bervariasi antara 4-7 meter untuk menjaga gambut tetap basah.
Sementara, dalam proses produksi, masyarakat menanam atau menyebar bibit ikan di kolam, merawat lahan dan kolam, kemudian memanennya. Dalam aktivitas setelah proses produksi, masyarakat perlu menentukan barang dan jasa apa yang memiliki potensi nilai tambah dan pendapatan. Misalnya, penjualan ikan, penjualan buah, atau produk olahan nanas dan jahe.
Baca juga: ISSI Kepri Siap Sambut Atlet Kejurnas Road Race & MTB 2024 di Batam
Kelompok masyarakat menentukan sumber daya kunci dan struktur biaya untuk melaksanakan setiap aktivitas tersebut. Bisnis wanatani dan wanamina membutuhkan sumber daya berupa lahan, bibit pohon dan bibit ikan, sumber daya manusia, dan lainnya.
Kebutuhan sumber daya tersebut tentu membutuhkan biaya. Masyarakat kemudian menyusun struktur biaya dan mengidentifikasi dukungan pendanaan dari mitra. Selama kegiatan berlangsung, salah satu mitra yakni Center for International Forestry Research (CIFOR), menanggung biayanya. Sementara, masyarakat menjadi pelaksana setiap kegiatan di lapangan.
Setiap kelompok juga harus menentukan siapa pelanggan yang dituju, saluran apa yang digunakan untuk menjangkau pelanggan, dan strategi dalam menjaga hubungan dengan pelanggan. Berdasarkan fasilitasi, sebagian besar kelompok menyasar masyarakat lokal sebagai konsumen utama. Mereka menggunakan media sosial dan pasar sebagai saluran untuk memasarkan produknya.
Seluruh ide mereka uraikan dalam kanvas model bisnis dalam fase perencanaan untuk diterapkan di tahap aksi. Di akhir tahapan, masyarakat bersama dengan tim peneliti melakukan pemantauan untuk melihat perkembangan dan tingkat keberhasilan restorasi.
Saat ini, riset kami masih dalam tahap pemantauan oleh masyarakat. Ada juga kelompok masyarakat yang sudah memanen nanas dan menjualnya ke pasar. Target produksi masing-masing unit usaha sangat bervariasi tergantung dari komoditas yang dikembangkan, kondisi lingkungan, dan perawatan yang dilakukan oleh masyarakat.
Adapun restorasi gambut merupakan proses yang berkesinambungan dan tidak bisa dikatakan selesai dalam waktu tertentu. Jika pemulihan berjalan tanpa kendala, hasil restorasi lahan gambut baru akan terlihat sekitar 10-15 tahun ke depan.
Hikmah dari Siak
BRGM mengembangkan pendekatan 3R, yaitu pembasahan kembali, penanaman kembali, dan peningkatan kesejahteraan. Pengembangan model bisnis berkelanjutan menjadi salah satu upaya untuk mendukung aspek kesejahteraan masyarakat pada kegiatan restorasi.
Model bisnis dapat diterapkan secara partisipatif dengan melibatkan semua komponen masyarakat baik laki-laki dan perempuan untuk mengidentifikasi komponen utama bisnis dan pilihan pemasaran. Transparansi dalam pembagian biaya dan manfaat antar anggota dalam kelompok menjadi aspek penting yang harus diperhatikan dalam mengembangkan model bisnis ini.
Untuk mengefektifkan restorasi gambut, para pemangku kepentingan terkait dapat mengembangkan model bisnis berkelanjutan di setiap lokasi yang menjadi target restorasi. Pendanaan juga perlu berfokus terhadap aspek kesejahteraan, untuk mencegah kebakaran berulang di lokasi restorasi karena pembatasan dan penanaman kembali yang belum optimal.
Penulis: Lila Juniyanti, Peneliti di Pusat Riset Kependudukan, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN); Dyah Puspitaloka, Research Officer, Indonesia Lead Research Group Green Value Chains, Integrated Business Model, and Innovative Financing, Center for International Forestry Research – World Agroforestry (CIFOR-ICRAF), dan Herry Purnomo, Indonesia Country Director dan Senior Scientist, Center for International Forestry Research – World Agroforestry (CIFOR-ICRAF)
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.