EDISI.CO, BATAM– Masyarakat Rempang menggelar atraksi menyuarakan sikap mereka menolak relokasi pada Minggu (16/6/2024). Atraksi menolak rencana penggusuran kampung atas Proyek Strategis Nasional (PSN) Rempang Eco City ini, dilaksanakan dengan membuat tulisan “Tolak Relokasi” menggunakan obor.
Obor-obor ini dinyalakan di Lapangan Sepakbola Dataran Muhammad Musa di Kampung Sembulang, Kelurahan Sembulang, Kecamatan Galang sekitar pukul 20.30 WIB.
Koreografi “Tolak Relokasi” ini bersanding dengan penyampaian sikap warga yang disuarakan bersama-sama. Sikap itu mereka suarakan dengan tiga untai sumpah, yakni Sumpah Rakyat Rempang-Galang.
- Kami rakyat Rempang-Galang bersumpah, bertanah air satu, tanah air tanpa penggusuran.
- Kami rakyat Rempang-Galang bersumpah, berbangsa satu, bangsa yang gandrung akan keadilan
- Kami rakyat Rempang-Galang bersumpah, berbahasa satu, bahasa tolak prnggusuran
Dari tribun penonton, warga kemudian turun ke lapangan dengan obor. Memenuhi lapangan dengan nyala obor, kemudian bergerak melakukan pawai takbir keliling.
Rute takbir keliling ini dimulai dari Lapangan Sepakbola Dataran Muhammad Musa, Kampung Sembulang Tanjung menuju Sembulang Pasir Merah, berlanjut ke Sungai Raya.
Dari Sungai Raya, rombongan yang terdiri atas belasan pickup dan ratusan motor bergerak menuju Kampung Sungai Buluh, Tanjung Banon dan Kampung Sembulang Hulu.
Ishak, warga Rempang yang hadir dalam kegiatan ini, menuturkan koreografi “Tolak Relokasi” ini merupakan sikap tegas warga menolak penggusuran. Warga meyakini kampung-kampung mereka adalah hak yang pantas mereka pertahankan.
“Apapun bentuk iming-iming dari pemerintah, tetap kami menolak relokasi.”
Senada dengan apa yang disampaikan Siti Hawa, warga Rempang lain yang juga hadir. Ia mengatakan tidak ingin digusur dari ruang hidup yang telah mereka tinggali turun temurun sejak ratusan tahun lalu.
“Kami neloak relokasi, itu harga mati.”
Direktur LBH Pekanbaru, Andri Alatas, menuturkan kegiatan ini adalah bukti bahwa Rempang bukang tanah kosong. Sebaliknya sudah menjadi tempat tinggal, sejarah, budaya bahkan ruang hidup bagi masyarakat.
Ini juga sebagai respon dari tindakan provokatif atas pemasangan plang Rempang Eco City di tengah persoalan yang sedang dihadapi warga.
“Kami ingin menegaskan bahwa warga Rempang-Galang masih menolak direlokasi, sehingga pemerintah wajib menghormati dan melindungi hak-hak masyarakat,”
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Riau, Even Sembiring, Direktur Eksekutif Daerah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Riau, Even Sembiring, mengaku bersyukur masyarakat Pulau Rempang terus menjaga semangat mereka memperjuangkan keadilan. Pihaknya akan terus bersama masyarakat selama semangat perjuangan itu ada.
Kepada semua masyarakat, Even memgingatkan bahwa perjuangan mempertahankan ruang hidup warga di Pulau Rempang adalah perjuangan masyarakat Rempang itu sendiri. Untuk itu masyarakat harus tetap terus menjaga semangat mempertahankan apa yang masyarakat yakini sebagai hak.
Gerakan Berbasis Identitas
Sebelumnya, Peneliti Sajogyo Institute, Eko Cahyono, mengatakan Masyarakat Melayu Pulau Rempang telah menggunakan benteng terakhir mereka untuk melakukan perlawanan atas ancaman penggusuran kampung yang telah mereka huni sejak ratusan tahun lalu. Mereka berupaya menjaga jejak peradaban, budaya dan ruang hidup atas nama Bangsa Melayu sebagai identitas.
“Bagi kami dari perspektif Sosiologi, Kalau perlawanan atas nama organisasi menunjukkan ideologi berbasis pluralisme. Tapi kalau perlawanan dengan basis identitas, itu pertahanan terakhir,” kata Eko.
Eko melanjutkan, perlawanan masyarakat dengan dasar identitas itu, mengerikan dari sisi kesatuan Republik Indonesia, dapat menciptakan disintegrasi politik. Kalau kondisi itu terjadi, akan memberi dampak traumatis pada masyarakat sebagai korban.
“Itu pemulihannya lama, karena yang dilukai itu identitasnya. Tanah Melayu yang punya sejarah panjang, kalau hilang, bukan hanya tanahnya, tapi juga sejarahnya, budayanya, identitasnya. Itu mau diganti pakai apa kalau hilang? Hubungan manusia dengan tanah tidak hanya ekonomistik,” kata Eko.
Baca juga: Tiga Alasan Negara Hadir dalam Rupa Antagonis pada Pengembangan Pulau Rempang
“Pendapat ini kami sampaikan saat menolak tambang di Pati. Kami disadarkan sama dalang (KI Mantep Sudarsono Alm) , dia bilang kalau sampai tambang semen itu merusak gunung kendeng, yang hilang bukan hanya gua kars, tetapi juga peradaban purba yang menjadi ciri khas lahirnya Jawa. lahirnya wonocoroko, cerita aji saka”.
Lebih lanjut, Eko melihat gerakan berbasis identitas Melayu Pulau Rempang ada kaitan dengan sejarah tanah Melayu di sana. Ia melihat kekhawatiran masyarakat bukan hanya kehilangan tanah, tetapi juga ada argumen historis Melayu di situ.
“Ada kampung tua yang menjadi identitas mereka. itu tidak dipahami investor. Perlawanan akan masif terus meskipun tetap dilakukan pengosongan,” kata Eko lagi.
Lebih jauh, Eko mengatakan solusi yang harusnya hadir dalam persoalan di Pulau Rempang adalah politikal will dari negara. “Kemauan untuk rendah hati mendengarkan masyarakatnya dulu, jangan-jangan mereka takut kehilangan tanah dan sejarah”.