EDISI.CO, BATAM- Ketua Bidang Kajian Politik SDA, Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) PP Muhammadiyah, Wahyu A Perdana, menyampaikan kekhawatirannya atas persoalan agraria yang terjadi di Pulau Rempang, Batam. Ia menilai, tragedi penggusuran 37 desa dan 5.390 keluarga atas proyek Waduk Kedung Ombo pada masa orde baru (1981-1995), akan terulang di Rempang. Akibatnya adalah warisan kemiskinan akan kembali hadir oleh praktek penggusuran untuk pembangunan.
Wahyu menjelaskan, 30 tahun setelah penggusuran warga dari Kabupaten Sragen, Boyolali dan Grobogan untuk pembangunan Waduk Kedung Ombo, mereka menemukan data yang memilukan. Hasil riset tersebut menampakkan kondisi kemiskinan yang terjadi pada warga yang sebelumnya digusur.
“Dalam konteks relokasi, ada cerita penggusuran yang sangat fenomenal pada masa orde baru, Waduk Kedung Ombo. Dan 30 tahun kemudian, kami menyisir kembali warga yang dipindahkan. Agak ironi melihatnya, 90 persen tidak punya kulkas; 98 persen tidak punya tabungan; 98 persen tidak punya HP; 62 persen rumah keluarganya tidak laik huni; 76 persen lahan pertanian yang dikasi itu kemudian terjual, sehingga masyarakatnya menjadi tidak memiliki kehidupan.”
Baca juga: Aktivis dan Akademisi Bicara Lantang di Kasus Rempang
Untuk diketahui, riset ini dilakukan pada 200 responden dari total 5.390 warga yang terdampak pembangunan waduk senilai USD283 Juta ini. Responden berasal dari tiga daerah, diantaranya Sragen dan Boyolali di Jawa Tengah dan Mukomuko di Provinsi Bengkulu.
Dalam diskusi daring dengan tajuk Ruang Manajemen Konflik Rempang Eco City yang ditaja Magister Manajemen Kebijakan Publik (MKP) Universitas Gadjah Mada (UGM) pada 20 Juni 2024, Wahyu menyampaikan bahwa memindahkan orang bukan hanya persoalan fisiknya. Karena setiap warga bertaut dengan kebudayaan atau kultur di lingkungan yang selama ini menjadi ruang hidup mereka.
Relokasi tetap akan mempengarusi emosi individu. Kondisi tersebut akan berdampak pada potensi konflik horizontal yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.
“Ada hal yang harus dipertimbangkan. walaupun sama-sama di laut misalnya, akan menjadi konflik horizontal kalau itu wilayah tangkapnya masyarakat lain.”
Wahyu melihat ada sikap yang seakan menyederhanakan istilah relokasi, dengan cukup hanya memindahkan fisiknya. Padahal, kalau berkaca dari penggusuran untuk pembangunan Waduk Kedung Ombo yang mengakibatkan kemiskinan, seharusnya ada kajian yang mendalam agar tidak menjadi persoalan yang lebih rumit.
Baca juga: Suara Rempang di Mahkamah Rakyat Luar Biasa
Antropolog Ui, Suraya Abdulwahab Afiff, mengatakan kasus agraria yang terjadi di Pulau Rempang adalah akibat dari kebijakan ekonomi pembangunan lewat penggusuran paksa. Praktek penggusuran paksa ini terjadi juga di banyak tempat lain di Indonesia dan telah terjadi sejak zaman kolonial, orde baru, hingga saat ini.
Baca juga: Mengapa tak Banyak Mahasiswa Asing yang Mau Kuliah di Indonesia?
Dampak dari proses penggusuran paksa ini, lanjut Suraya, adalah kemiskinan.
“Belum ada kasus pemindahan dan penggantian itu mensejahterakan,” kata Suraya pada Pengadilan Rakyat yang ditaja Mahkamah Rakyat Luar Biasa di Universitas Indonesia (UI) pada Selasa (25/6/2024)
Suraya melanjutkan, pemerintah adalah pihak yang menyebabkan konflik, sehingga tidak bisa menyelesaikannya secara baik. Sehingga diperlukan membentuk lembaga penanganan konflik yang netral dan profesional. Sayangnya upaya tersebut sering kali tidak tercapai karena arogansi pemerintah itu sendiri.
“Pemerintah merasa, bahwa kalau melakukan mediasi itu, artinya pemerintah kalah. Ini yang membatasi cara menyelesaikan persoalan-persoalan ini, adalah arogansi.”