EDISI.CO, BATAM– Sekertaris Majelis Pakar Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Iwan Nurdin, menuturkan Proyek Strategis Nasional (PSN) Rempang Eco-City menjadi contoh nyata bagaimana proses perampasan tanah hanya untuk kepentingan segelintir orang. Proses itu justru mengancam eksistensi masyarakat yang telah ratusan tahun mendiami ruang hidupnya.
Meskipun PSN Rempang Eco-City menggunakan varian argumentasi, seperti untuk kepentingan umum, membawa konsep ramah lingkungan, hilirisasi dan sebagainya, hal itu tidak dapat menegasikan kenyataan perlakukan represif terhadap masyarakat Pulau Rempang dalam perjalanannya.
Nurdin dalam paparanya, menjelaskan munculnya praktek perampasan tanah di Pulau Rempang dan berbagai daerah di Indonesia atas nama PSN, lahir dari menguatnya oligarki politik dan oligarki ekonomi. Menguatnya oligarki politik dan oligarki ekonomi ini menghasilkan aturan yang akan membatasi proses demokrasi.
“Itulah makna hadirnya UUCK (Undang-undang Cipta Kerja) dan instrumen-instrumen hukum lainnya yang sebenarnya memperkuat SDA kita hanya untuk segelintir orang. Menguatnya oligarki politik dan ekonomi sehingga ruang demokrasi bagi rakyat semakin sempit,” tuturnya dalam kegiatan Peluncuran hasil kajian mereka soal kasus agraria yang terjadi di Pulau Rempang pada Senin (8/7/2024).
Proses dirasa tidak ideal ini, menempatkan masyarakat yang seharusnya menjadi penerima manfaat atas kebijakan yang mengemuka, justru merugi dan terganggu. Mereka terancam kehilangan ruang hidup, juga menjadi korban represif ketika berjuang mempertahankan hak mereka.
Jejak pelanggaran HAM yang membersamai PSN Rempang Eco-City ini, lanjut Nurdin, menjadi cela yang seharusnya dievaluasi segera. Karena produk-produk yang nantinya dihasilkan, berpotensi tidak akan diterima mekanisme pasar global.
Baca juga: Rekomendasi Walhi Riau dari Hasil Kajian Kasus Rempang
“Dalam ekonomi pasar, dimana relokasi yang sangat kasar dan merampas tanah masyarakat itu, menjadikan produk-produk itu kelak akan rentan diboikot.”
Pada proses selanjutnya, masyarakat yang terdampak akan mengalami beberapa fase dalam mempertahankan hak mereka. Kriminalisasi, konflik horizontal, politik uang, dan kebosanan.
Eksekutif Daerah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Riau, Even Sembiring, mengatakan proses advokasi kasus agraria memang memakan durasi. Butuh bertahun-tahun untuk menyelesaikannya. Meskipun demikian, proses advokasi itu dapat dilakukan dengan cara riang gembira, sehingga ia optimis masyarakat akan kuat dan terus berjuang sampai akhir.
“Pengalaman kami mendampingi masyarakat berjuang tujuh ampai 10 tahun itu biasa. Yang perlu diperhatikan masyarakat juga jangan terlalu dipikirkan konfliknya. Tetap bertanam seperti biasa, tetap menggunakan hak konstitusionalnya seperti biasa. Fase pecah belahnya dikesampingkan, tetap melakukan konsolidasi. Advokasi itu cara berjuang yang riang gembira,” kata Even.