EDISI.CO, CATATAN EDISIAN– Masyarakat Indonesia saat ini tampaknya tengah lelah menghadapi berbagai “ulah” yang dilakukan negara, mulai dari bea cukai yang menahan barang yang seharusnya bebas pajak, polemik putusan Mahkamah Agung (MA) soal syarat umur kepala daerah, hingga kontroversi Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera).
Semua itu tak lepas dari unsur politis karena terkait kekuasaan pemerintahan saat ini maupun kepentingan pemerintahan selanjutnya.
Persoalan politis ini bisa dijelaskan dengan berbagai metode, salah satunya schizoanalisis dari Gilles Deleuze, seorang filsuf Prancis dan Félix Guattari, seorang psikoanalis dan aktivis politik Prancis dalam buku Anti-Oedipus (1972).
Metode schizoanalisis melihat bagaimana keinginan manusia bukan hanya sesuatu yang pasif, tetapi bisa menjadi penggerak utama dalam menciptakan perubahan sosial.
Dalam konteks masyarakat kapitalis modern, schizoanalisis dapat digunakan untuk membongkar bagaimana kekuasaan dan kontrol bekerja, serta bagaimana keinginan manusia dapat digunakan untuk melawan dan mengubah struktur-struktur yang ada. Sementara secara politis, gerakan ini menunjukkan bagaimana keinginan manusia bisa menjadi kekuatan produktif yang menciptakan perubahan sosial yang signifikan.
Schizoanalisis untuk memahami kapitalisme
Deleuze dan Guattari berpendapat bahwa keinginan manusia memiliki potensi revolusioner yang besar. Dalam masyarakat kapitalis, keinginan sering kali dikontrol dan diarahkan untuk mendukung struktur kekuasaan yang ada. Melalui schizoanalisis, mereka mengusulkan untuk membebaskan keinginan dari kontrol ini dan mengarahkannya pada tujuan-tujuan yang lebih bebas dan kreatif.
Sebagai contoh, kapitalisme sering mengomodifikasi keinginan manusia dengan cara mengarahkannya pada konsumsi barang dan jasa. Misalnya, hasrat untuk menjadi bahagia sering kali dimanipulasi oleh industri iklan untuk membeli produk tertentu. Iklan-iklan ini menciptakan citra bahwa kebahagiaan dapat dicapai melalui pembelian produk tertentu, seperti mobil mewah, pakaian bermerek, atau gadget terbaru.
Schizoanalisis berusaha membongkar proses ini dengan menunjukkan bahwa keinginan untuk bahagia sebenarnya bisa diarahkan pada hal-hal yang lebih autentik dan tidak dimediasi oleh konsumsi barang.
Misalnya, keinginan akan kebahagiaan dapat diwujudkan melalui hubungan sosial yang lebih bermakna, kegiatan kreatif, atau keterlibatan dalam komunitas. Dengan cara ini, schizoanalisis tidak hanya mengidentifikasi manipulasi pasar terhadap keinginan individu tetapi juga menawarkan alternatif untuk mewujudkan keinginan tersebut secara lebih memuaskan.
Schizoanalisis menekankan bahwa membebaskan keinginan dari kontrol pasar bukan hanya perubahan psikologis, tetapi juga perubahan sosial dan politik yang radikal .
Artinya, schizoanalisis dapat mendorong masyarakat untuk mempertanyakan norma dan nilai yang dipaksakan oleh kapitalisme, dengan mendukung gerakan yang menolak konsumerisme berlebihan, seperti gerakan keberlanjutan, ekonomi berbasis komunitas, atau gerakan yang memprioritaskan kesejahteraan manusia dan lingkungan daripada keuntungan ekonomi.
Pendekatan schizoanalisis dalam pendidikan politik
Schizoanalisis juga dapat memberikan warna yang berbeda dalam pendidikan politik. Sebab, metode ini menekankan pentingnya memahami keinginan sebagai kekuatan kreatif dan produktif yang bisa mengubah struktur sosial.
Dalam konteks ini, pendidikan politik tidak hanya mengajarkan tentang sistem politik yang ada, tetapi juga bagaimana individu dan kelompok dapat menggunakan keinginan mereka untuk menciptakan perubahan sosial yang lebih besar.
Misalkan saja, pertama, dekonstruksi narasi yang dominan. Salah satu tugas utama schizoanalisis adalah mendekonstruksi narasi-narasi dominan yang sering kali membatasi pemahaman kita tentang realitas politik. Ini berarti memberikan edukasi kepada masyarakat untuk kritis terhadap narasi resmi dan mengeksplorasi berbagai perspektif alternatif.
Misalnya, kebijakan Tapera yang digadang gadang akan mensejahterakan rakyat, namun pada kenyataannya masih sarat kepentingan kelompok. Schizoanalisis mendorong pendekatan yang lebih inklusif dan kritis, dengan mengakomodir berbagai metode evaluasi mengenai kebijakan tersebut.
Kedua, schizoanalisis melihat keinginan sebagai kekuatan yang produktif dan bukan sekadar reaksi terhadap kekurangan. Dalam konteks pendidikan politik, ini berarti bagaimana mengedukasi masyarakat untuk melihat politik bukan hanya sebagai arena kompetisi kepentingan tetapi sebagai ruang keinginan kolektif yang dapat menghasilkan perubahan nyata.
Reformasi 1998 di Indonesia, misalnya, tidak hanya muncul sebagai reaksi terhadap pemerintahan Orde Baru yang otoriter, tetapi juga ekspresi keinginan kolektif rakyat Indonesia untuk mencapai demokrasi dan keadilan sosial.
Baca juga: BPBL Batam Gelar Pelatihan Sensitivitas Disabilitas
Ketiga, schizoanalisis menekankan pentingnya memahami investasi psikis dalam konteks sosial dan historis. Dalam pendidikan politik, ini berarti mengedukasi masyarakat untuk memahami bagaimana struktur kekuasaan dan kontrol dibentuk serta dipertahankan melalui mekanisme sosial dan historis. Contohnya adalah fenomena “Octopus Dynasty” di Indonesia.
“Octopus Dynasty” merujuk pada kekuasaan politik dan ekonomi yang terkonsentrasi di tangan beberapa keluarga besar dengan jaringan dan pengaruh luas, mirip dengan tentakel gurita yang menjangkau berbagai sektor.
Cendana di masa Orde Baru, atau pemerintahan Jokowi yang disinyalir telah memberi manfaat elektoral bagi Gibran adalah contoh dari dinasti ini.
Dengan menekankan keinginan sebagai kekuatan produktif dan melihat pendidikan politik sebagai ruang untuk eksplorasi dan perubahan, schizoanalisis dapat membantu menciptakan generasi baru yang lebih sadar secara politik dan siap untuk berpartisipasi dalam transformasi sosial yang lebih besar.
Penulis: Yogie Pranowo, Adjunct Associate Lecturer, Universitas Multimedia Nusantara
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.